Real Madrid memperkenal aroma kebahagiaan untuk Zinedine Zidane, sang pelatih paruh musim, usai Los Blancos mampu mengatasi “perang” paling brutal mereka dengan Atletico dengan keunggulan satu gol usai pertandingi itu berakhir dengan tendangan penalti.
“Sebuah drama sesungguhnya. Real lebih diuntungkan. Dan Sergio Ramos telah mengakhiri kebuntuan itu. Real juara,” tulis “marca,” Minggu, 29 Mei 2016, usai pertandingan final Liga Champions itu di Milano.
Jauh sebelum lagi Real Madrid, usai di “kudeta” Zidane dari Rafael Benitez, berada dalam situasi hancur-hancuran
Namun begitu Los Blancos justru berhasil jadi juara Liga Champions musim ini.
Kedatangan Benitez di awal musim silam membuat sejumlah pihak mengernyitkan dahi.
Pasalnya Benitez dianggap tak layak menggantikan Carlo Ancelotti yang sukses membangun suasana harmonis di ruang ganti Madrid.
Benar saja, keraguan sejumlah pihak tersebut sudah terjawab di paruh awal musim. Madrid bermain kurang meyakinkan dan suasana panas tercipta di ruang ganti lewat pertikaian Benitez dengan Ronaldo.
Buruknya performa Madrid di Liga Spanyol kemudian membuat manajemen memutuskan untuk menghentikan kerjasama dengan Benitez.
Benitez keluar, Zinedine Zidane langsung ditunjuk sebagai pelatih Madrid.
Banyak yang menganggap Zidane hanyalah pelatih sementara hingga musim ini berakhir.
Zidane ibarat jembatan penghubung yang bertugas mengantarkan Madrid hingga musim baru akan datang.
Zidane pun menyadari benar tugasnya itu. Ia tak mau bermimpi terlalu tinggi karena ia sadar statusnya di Madrid belum tentu permanen dan bertahan lama.
Kehadiran Zidane inilah yang kemudian mengubah cerita kehidupan Madrid musim ini. Zidane memang minim pengalaman dan masih hijau dalam hal taktik.
Namun Zidane punya karisma yang cukup kuat untuk ukuran pemain sepakbola.
Karisma itulah yang digunakan Zidane untuk membangkitkan Madrid dari keterpurukan.
Pertikaian di ruang ganti semakin lama tak terdengar dan Madrid mulai kembali ke rute yang benar.
Zidane membawa Madrid berlari kencang tanpa target berlebihan.
Trofi La Liga sudah jauh dari jangkauan dan trofi Liga Champions butuh perjuangan berat seiring masih banyaknya lawan-lawan kuat.
Namun ternyata Zidane sukses membawa Madrid berlari menyamai laju Barcelona dan Atletico Madrid.
Bila saja Zidane datang lebih cepat atau pekan La Liga tersisa lebih banyak, bukan tak mungkin Madrid bisa menggusur Barcelona yang tengah limbung.
Kebangkitan di La Liga turut membuat Madrid semakin percaya diri saat tampil di Liga Champions. Bila di La Liga Madrid sudah menderita kerugian dengan selisih poin yang terlalu banyak saat Zidane datang, maka posisi Madrid sama halnya dengan tim lain di Liga Champions.
Satu per satu lawan kuat dilewati Madrid di fase knock out, mulai dari AS Roma, Wolfsburg, hingga Manchester City.
Di babak final, Madrid kembali berjumpa Atletico Madrid, rival sekota yang juga mereka taklukkan dua musim sebelumnya.
Meskipun sempat tertekan di pengujung pertandingan, Zidane dan Madrid berhasil mengakhiri pertandingan dengan kemenangan di tangan.
Satu trofi Liga Champions di pengujung musim ini jelas membuat musim buruk Madrid berakhir indah. Musim yang pada awalnya ingin dilupakan oleh suporter Madrid kini berubah jadi salah satu musim yang pantas dikenang oleh mereka.
Dalam laga klub satu kota itu di final mereka Madrid sama-sama menampilkan kekuatan terbaik dalam formasi inti yang mereka pasang di babak final Liga Champions di Stadion San Siro
Madrid menurunkan empat bek andalan mereka, Daniel Carvajal, Pepe, Sergio Ramos, dan Marcelo untuk mengawal gawang yang dijaga oleh Keylor Navas.
Sementara itu di lini tengah, Zinedine Zidane memutuskan untuk menurunkan trio Luka Modric-Casemiro-Toni Kroos untuk menjaga keseimbangan permainan Los Blancos.
Di lini depan, Zidane menurunkan kekuatan terbaik yang dimiliki Madrid lewat trio Gareth Bale-Karim Benzema-Cristiano Ronaldo.
Pada bangku cadangan, Zidane masih bisa berharap pada nama James Rodriguez, Jese Rodriguez, dan Lucas Vazquez bila formasi inti miliknya mengalami kebuntuan.
Bila Madrid menggunakan formasi menyerang,, Diego Simeone lebih memilih pola untuk meredam sang rival sekota di babak final ini.
Jan Oblak akan ditemani kuartet Juanfran, Stefan Savic, Diego Godin, dan Filipe Luis di lini pertahanan.
Posisi kuartet lini tengah dipercayakan Simeone kepada Saul Niguez, Gabi Fernandez, Augusto Fernandez, dan Koke.
Di lini depan, Simeone memilih Fernando Torres-Antoine Griezmann sebagai ujung tombak kembar Atletico.
Simeone pun masih menyimpan amunisi di bangku cadangan lewat nama Yannick Ferreira Carrasco, Angel Correa, dan Tiago.
Derby Madrid ini merupakan episode kedua setelah kedua tim bertemu pada final Liga Champions musim dua tahun silam.
Di luar kekalahan itu, Atletico selalu superior di hadapan Madrid, baik di ajang La Liga, Piala Raja, maupun Piala Super Spanyol.
Pada musim ini saja, Atletico mampu unggul atas Madrid dalam dua duel di La Liga.
Superioritas Atletico atas Madrid dalam beberapa tahun baru akan terasa manis bila Antoine Griezmann dan kawan-kawan bila mampu mengakhiri penampilan antiklimaks mereka di hadapan Madrid saat bertarung di ajang Liga Champions.