Media Inggris, dua hari terakhir, “berdamai” dengan provokasi, egoisme dan kenyinyiran dendam menjelang pertandingan dua supreme team yang merupakan baron kick and rush di pentas Premier League, Liverpool dan Manchester United, sore ini atau malam pukul 19.00 WIB, di Anfield, Liverpool, dan disiarkan live oleh MNCTV.
Perdamaian yang diapungkan oleh media Inggris itu merupakan jawaban atas terdegradasinya posisi Liverpool mendekati zona bahaya dengan nilai dua angka dari empat pertandingan, dua kali kalah serta dua kali seri, di awal musim ini dan membuat nasib sang pelatih berusia muda Brendan Rodgers (39) yang didatangkan dari Swansea City tiga bulan lalu, sepertinya tinggal menunggu hari untuk terusir dari Anfield.
Jaringan Televisi BBC, Minggu subuh dalam talk show olahraganya, bahkan, menurunkan running text bernada memelas, ”The Reds butuh kemenangan.” Inilah sebuah kalimat pra-pertandingan yang di kalangan provokator media yang meliput Premier League dianggap paling lunak menjelang pertemuan kedua tim.
Tidak hanya BBC. Jaringan televisi berbayar Sky TV, yang selalu menyiramkan dendam di bara api komentar pertandingan kedua tim, juga melunak ketika melakukan wawancara langsung dengan golden boy-nya “Red Devils,” Eric Cantona. Menurunkan tensi pertanyaan, Paul Krugers, reporter Sky TV hanya meminta kepada “King Eric”, bagaimana seandainya Manchester United kalah dalam pertandingan tandangya di Anfield?
Tidak seperti biasanya, bereaksi cepat dan menatap pewawancara dengan sinis, kali ini Cantona kelihatan kalem. Padahal orang mengenal lelaki Prancis ini tempramental. Memperbaiki posisi duduknya dengan gaya yang tak pernah berubah, cuek, ia berujar dengan suara tersekat, ”Ooo… yaaa…” Baron Old Trafford itu tersenyum, mengibaskan tangan sembari melenceng jawaban ke topik lain. “Brendan sedang sakarat,” ujarnya acuh. Yang ia maksud dengan Brendan adalah pelatih Liverpool. Dan sakarat yang ia katakan adalah posisi klub Anfield di klasemen sementara liga.
Cantona sepertinya sedang mengikuti ritual komentar Sir Alex, sang mentor. Dalam pemberitaan yang memenuhi halaman media cetak, laman portal dan seliweran komentar media elektronik Fergie, begitu Alex Ferguson (70) disapa, menurunkan tensi komentarnya tentang pertandingan antara dua tim. Fergie lebih banyak berbicara tentang Brendan ketimbang strategi permainan yang akan diramunya dalam pertandingan nanti malam.
Sir Alex nampaknya sedang menjadi motivator untuk membangkit semangat Brendan dengan menularkan pengalaman awalnya, 1986, ketika datang ke Old Trafford. “Saya juga memulai kepelatihan ketika MU sedang sakarat dan saat itu saya dalam usia sekisaran Brendan,” nasihat Fergie.
“Manchester United tak menjuarai apa pun pada saat saya datang. Pada waktu itu saya hanya membawa mimpi akan membangun MU dengan pemain muda. Kemudian kami sukses setelah itu. Butuh waktu, dan saya tidak tahu bagaimana akademi Liverpool mempersiapkan diri.”
Masih dalam satu helaan nasihat, Fergie mengatakan, pada masa awalnya di Old Trafford, MU tidak memiliki daftar laga di pentas sepakbola Eropa karena hanya juara disetiap liga yang bisa bertanding di Piala Champions.
Kini situasinya sudah berubah. Peringkat empat di liga langsung mendapat tiket di Liga Champions. Dan Brendan harus menyiapkan timnya mendapat peringkat empat. Berat. Tapi harus dimulai dari sekarang. “Anda harus memenangi setiap laga. Tak peduli Anda melatih MU, City atau pun Arsenal. Dan Anda masih muda dan jangan Anda bernasib seperti Andre Villas-Boas yang hanya bertahan tujuh bulan di Chelsea.
Terlepas dari ikrar damai media Inggris, komentar Cantona dan nasihat Fergie, Anfield malam nanti tidak seperti gambaran Liverpool yang kumuh dengan genangan hooliganism. Tidak seperti sorak buruh pelabuhan yang bersorak dengan mengangkat kunci besar untuk mengikat baut di galangan kapal dan berbaju monyet dengan lepotan oli dan bekas karatan.
Liverpool juga bukan hooligans Metropolitan Merseyside yang datang ke Heysel, Belgia, dalam pertandingan Liga Champions hampir tiga puluh tahun lalu dan membunuh suporter Juventus yang menyebabkan ia dicampakkan bertahun-tahun sebagai “the killer.”
Tragedi Heysel menyebabkan 39 orang tewas, sebagian besar tifosi Juventus, dan menyebabkan seluruh klub Inggris dilarang bermain di liga Eropa dan Liverpool sendiri tidak boleh mengikutinya liga Eropa selama 10 tahun. Tragedi Heysel dikenang sebagai salah satu tragedi terburuk dalam sepakbola dunia.
“The Reds” hari ini juga bukan lagi sebuah klub yang menggenggam prestasi menjuarai Premier League selama 18 kali dan berpuluh tahun kemudian baru bisa dilampui MU dan butuh waktu puluhan tahun lagi bagi klub lain untuk menyamai rekor keduanya.
Sore ini, waktu Liverpool, atau usai maghrib bagi kita di sini, Anfield tidak lagi meniupkan nyali besar yang membuat klub sehebat apa pun di daratan Eropa ciut nyalinya. Tanyakan pada Arsenal, Chelsea, City, Tottenham Hotspur di British atau pun Milan, Madrid, Barca, Munich yang datang dari Eropa tentang Anfield. Mereka pasti akan mentaklimatkan komentar seragam, bergidik.
Tak percaya. Masuki lorong stadion itu untuk menuju pintu keluar dan baca tulisan yang mengawal lambang burung bangau viking yang hidup di pelabuhan Liverpool dan background merah darahnya khas cat menie yang anti karat dan dipoleskan di kapal-kapal, “THIS IS ANFIELD.” Ini Anfield. Ya, itulah Anfield stadion angker yang melumat banyak klub dan memiliki pemain selegendaris Bill Shankly, Bob Paisley, Joe Fagan dan Kenny Dalglish. Sebuah era pamain yang menjulangkan Liverpool ke puncak prestasi dan prestisenya. Puncak yang dicatatkan sebagai 18 kali juara Premier League, 7 kali juara FA, 5 kali juara Liga Champions. Tentu bukan prestasi ayam sayur.
Sore ini, ketika bertanding melawan MU, Liverpool bukan lagi jawara yang membuat tengkuk bergidik. Pers Inggris dengan kalem menyebut MU lebih siap dan sedang berada di puncak. “Tak perlu meramal siapa yang menang,” komentar Steven Gerrard, sang kapten dengan kalem.
Ya, tak perlu meramal siapa pemenang. Tapi laga dua barrons Premier League ini tetap menarik untuk dianalisis, ditonton dan kemudian dibaca reviewnya. Dua tim ini terlepas Liverpool menjadi underdog, tapi ia bukan sebuah skuad yang tak punya nyali. Di sana tidak hanya ada Gerrard. Masih ada Joe Cole, Luis Suarez, Oussama maupun Denny Wilson
Jangan hanya kagumi van Persie, Paul Shcoles, Giggs, Nani maupun Kagawa dan strategi Fergie. Sebab Liverpool butuh kemenangan. Dan “Setan Merah” harus tahu itu. []