Kecerdasan berpolitik. Kreatifitas inilah yang sedang menjadi “trending topic” yang mengubah wajah Partai Demokrat lebih “soft.” Wajah yang selama dua tahun tampil dengan “hart” mengisi spectrum pemberitaan media sebagai “jagoan” korupsi.
Kecerdasan berpolitik bukan hanya sebuah retorika. Ia harus dijelmakan lewat keberanian menerabas aturan baku partai. Ia jangan diperdebatkan atau dipertentangkan dengan belenggu hirarki aturan. Ia harus dihadirkan dengan niat baik, kerjaan baik dan akhir yang baik.
Itulah yang kini sedang terjadi dalam pergulatan Partai Demokrat. Pergulatan yang akhirnya dimenangkan oleh “kecerdasan.” Kecerdasan politik. Kecerdasan menghadirkan konvensi presiden. Kecerdasan untuk menyaingi pemilihan presiden yang sebenarnya di tahun 2014.
Terlepas dari bagaimana “ending” dan dinding cadas yang menghadang dikaitkan dengan elektabilitas partai dikaitkan dengan aturan perundang-undangan yang hanya meng”izin” calon bersaing bila partai haruas mendapat sekian persen suara atau kursi parlemen, langkah Demokrat harus diapresiasi.
Langkah awal yang diapresiasi adalah penetapan 17 anggota konvensi dengan sepuluh orang personal independen, dan hanya tujuh orang kalangan internal Demokrat. Dari sepuluh personal independen itu, dua yang harus kita catat punya bobot integritas tinggi dan selama ini vokal di publik.
Dua nama itu adalah Efendi Ghazali dan Sugeng Saryadi. Mereka tentang bisa memanfaatkan konvensi untuk malhirkan gagasan-gasan baru yang dipadukan dengan kemampuan mereka untuk mengawasi lembaga survei. Keduanya, Efendi dan Soegeng, sebelumnya, adalah “orang” survei sendiri.
Apakah konvensi akan berimbas pada elektabiltas partai? Itu tidak perlu dijawab. Kita lihat saja nanti. Namun banyak pihak meyakini bahwa konvensi akan berimbas pada elektabilitas. Karena itu kan sinergi. Karena kalau PD mendapat suara kecil pada pileg, maka capres-capres ini bagaimana mengusungnya? Kan berat.
Tak bisa dimungkiri, wacana konvensi yang dibangun Partai Demokrat adalah sebuah strategi politik membangun atensi publik terhadap partai tersebut. Hal ini terjadi karena tiga slogan—bersih, cerdas, santun—yang dipromosikan SBY hampir tidak berlaku lagi bagi persepsi publik saat ini.
Sulit bagi kita untuk percaya bahwa PD masih “tidak pada korupsi”, politik santun dan cerdas pun terasa kontradiktif bila melihat perseteruan dan komunikasi politik para politikus PD di media. Walhasil memang, konvensi adalah hal paling sederhana sekaligus solutif untuk memenuhi dua kebutuhan penting partai: simpati publik dan kandidat presiden penerus SBY.
Gagasan konvensi akan mengembalikan ide dasar ini. Hal itu mengubah logika kandidasi presiden selama ini: partai tak pernah melahirkan capres, melainkan capres-lah yang melahirkan dan merawat partai. Artinya, gagasan kandidasi non-patron menjadi mekanisme intra-party yang akan membalik pola kepemimpinan nasional dan logika politik kepartaian selama ini.
Selanjutnya, partai juga mempunyai kapasitas untuk melakukan injeksi ideologi, platform, dan program melalui penguasaan kursi eksekutif, karena terjadi fatsun politik terhadap presiden terpilih dengan partai pengusungnya. Bukan seperti yang selama ini terjadi: nalar politik partai, slogan organisasi, dan kerja organisasi ditentukan oleh presiden dari partai.
Jika melihat korelasi konvensi dengan elektabilitas partai, konvensi akan menciptakan dua spektrum kemungkinan elektabilitas. Pertama, elektabilitas PD akan naik ketika konvensi dengan pencangkokan popularitas figur yang mengikuti konvensi. Kedua, elektabilitas PD akan naik signifikan jika konvensi adalah bentuk promosi program dan platform partai melalui pakta kesepakatan partai dengan calon peserta konvensi sebelumnya untuk membawa misi kepartaian.
Akhirnya, ada saran penting bagi PD, yaitu preferensi elite cukup terletak di awal saat menyeleksi calon peserta konvensi, sehingga kandidat peserta konvensi adalah orang yang paling merefleksikan kepentingan elektablitas.
Namun, terlepas dari kritik mekanisme konvensi Partai Demokrat, kita harus jujur mengatakan bahwa konvensi dalam tataran ide adalah terobosan penting dalam roadmad konsolidasi demokrasi di Indonesia. Dalam sejarah politik kepartaian di Indonesia, kelahiran partai dan dinamika kepartaian selanjutnya justru disebabkan oleh presiden terpilih.