Hoaks?
Dan apakah Anda termasuk salah seorang yang senang dengan informasi ini?
Dan juga, apakah Anda pernah mendengar kabar tentang vaksin yang sebabkan autisme?
Hal ini dikemukakan seorang peneliti bernama Andrew Wakefield
Ia menyebutkan bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme.
Pada akhirnya, pernyataan Wakefield dibuktikan salah oleh berbagai penelitian setelahnya dan dinyatakan sebagai hoaks.
Namun, keresahan akibat berita tersebut masih menghantui banyak orang tua bahkan hingga sepuluh tahun setelah kemunculannya.
Itulah hoaks. Collin’s dictionary mendefinisikan berita palsu sebagai berita yang salah, sering kali sensasional yang disebarkan menggunakan sumber yang disamarkan.
Dengan kemajuan teknologi, kini hoaks makin mudah menyebar dan tengah menjadi persoalan yang cukup serius.
Pasalnya, banyak pihak yang dirugikan akibat tersebarnya berita bohong. Seperti contoh kasus vaksin dan autisme di atas. Satu saja berita hoaks dapat mengguncang banyak orang, bahkan seluruh dunia.
Sayangnya, saat ini banyak pengguna internet yang mudah percaya hoaks. Mengapa demikian? Adakah penjelasan ilmiah mengapa banyak orang menyukai berita bohong?
Setidaknya ada tiga hal yang membuat seseorang mudah percaya hoaks
Sebut saja adanya bias konfirmasi
Bias konfirmasi adalah suatu tipe bias kognitif yang membuat seseorang lebih percaya pada informasi yang sesuai dengan opini pribadi, sikap, atau keyakinan pribadinya. Bias konfirmasi menentukan cara Anda menghadapi sebuah berita.
Misalnya, Anda sangat mengidolakan seorang artis atau tokoh politik.
Ketika Anda membaca berita positif mengenai tokoh tersebut maka Anda akan mudah percaya begitu saja, tanpa mengecek ulang kebenarannya. Namun, bila ada berita negatif tentang sang idola, Anda akan mencari tahu informasi lengkapnya, atau sebaliknya, langsung menutup berita tersebut dan tetap pada keyakinan Anda.
Bias konfirmasi inilah yang sering membuat kita tidak objektif saat membaca dan menilai sebuah informasi.
Selain itu ada pengaruh dopamin.
Hal ini masih berkaitan dengan poin pertama di atas. Bila berita yang Anda baca sesuai dengan keyakinan Anda, akan muncul perasaan positif. Ini disebabkan adanya hormon dopamin yang dikeluarkan dalam tubuh.
Hormon tersebut menimbulkan perasaan nyaman dan senang. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang seakan “ketagihan” hoaks.
Lainnya kurangnya pengetahuan.
Orang yang mampu mengoperasikan gadget atau gawai belum tentu dapat menyaring dan mengevaluasi informasi yang ia terima.
Hal tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan dasar yang ia miliki sebelumnya. Mereka yang kurang banyak membaca dan tidak memiliki wawasan luas akan mudah sekali terjebak hoaks.
Agar tak terjerumus dalam jebakan hoaks kendalikan jari Anda.
Hoaks dapat menyebar dengan mudah hanya melalui ujung jari. Jangan buru-buru menyebarkan sebuah berita hanya karena judulnya terdengar meyakinkan dan sensasional. Bacalah isi berita secara keseluruhan.
Bisa juga melihat sumbernya. Berita yang menyebar di media sosial atau grup chat sering kali tanpa sumber yang jelas.
Sebelum Anda menyebarkan sebuah informasi, cari tahu sumbernya. Pastikan sumbernya dapat dipertanggungjawabkan dan berasal dari situs web resmi, misalnya situs web milik instansi pemerintah atau laman web yang terpercaya.
Lakukan cross-check. Setelah Anda membaca sebuah berita, ada baiknya Anda memastikan ulang kebenaran informasinya, sekalipun rasanya sudah sangat yakin sejak pertama kali menerima berita tersebut.
Bila perlu, baca berita dari sisi yang lain agar pandangan Anda semakin objektif. Ingat, cara jitu untuk menangkal hoaks adalah dengan fakta.
Cermati foto. Bukan hanya isi berita saja, gambar yang disertakan dalam informasi pun harus Anda periksa kebenarannya. Saat menerima gambar tertentu, manfaatkan mesin pencari Google untuk mengetahui keaslian gambar tersebut.
Membaca dan menyebarkan hoaks akan merugikan banyak pihak. Solusinya, kenali ciri-ciri berita hoaks dan cara menghindarinya, agar tidak ada lagi yang menjadi korban.