Site icon nuga.co

Artefak Investigasi

Jurnalisme investigasi akan dibungkam. Dibungkam lewat rancangan undang-undang penyiaran yang kini sedang bergulir di lembaga legislatif.  Yang salah satu pasalnya melarang liputan investigasi.

Itu yang saya dengar, baca dan simak selama dua pekan terakhir. Dua pekan yang disertai demo insan wartawan di tengah gaduhnya komentar tentang kasus vina dan dibuntutinya jampidsus kejaksaan.

Kasus vina yang viral. Kasus di delapan tahun lalu. Kasus khas remaja. Pembunuhan pasangan cinta remaja. Yang heboh karena kisahnya di adaptir menjadi sebuah film.

Yang dua pekan penayangan sudah ditonton hampir enam juta orang. Menjadikannya fi;m “box office.”  Dan menjadikan pekaranya dibuka kembali. Membuat aparat kepolisian bonyok. Di”bully.”

Selain itu ada kasus lain. Kasus korpsi timah bangka. Angka korupsi menggunung. Pekan ini angkanya di revisi dari dua ratus tujuh puluh triliun menjadi tiga ratus triliun rupiah.

Korupsi paling gila. Sudah melebar. Menyenggol selebriti hingga jenderal dengan initial b.

Akibat kasus ini heboh jurnalisme investigasi hanyut. Nelangsa. Tanpa ada yang mau mengomentari. Hang.. dan heng… Terjerembab.

Hang juga di lingkungan insan wartawan. Hing juga ditengah kesibukan mereka  mengejar berita lurus. Straight news. Yang lebih simple di banding harus ucak-ucek dengan investigasi.

Saya sendiri maklum kenapa jurnalisme investigasi itu hang…hing.. Memakluminya sejak lama. Sejak saya memilih jalan hidup menjadi jurnalis. Jurnalis yang kini berada di posisi “old never die.”

“Old never die” setelah menjalani profesi ini selama lima puluh empat tahun. Jalan panjang yang penuh dengan onak duri. Pahit senang.. dan entah apa lagi kosakata yang menyertai sentimentilnya.

Sentimentil pula ketika jurnalisme investigasi ingin dikuburkan. Di negeri ini. Negeri dimana insan jurnalisnya masih mendua untuk memberi jawaban tentang ilmunya sendiri.

Saya mengkhawatirkan jurnalis investigasi akan menjadi artefak di negeri ini.

Padahal pertanyaan tentang  apakah jurnalisme itu ilmu yang dapat diajarkan di lembaga-lembaga penddidikan belum terjawab.

Pertanyaan ini sering muncul dipikiran saya, karena dalam pergulatan di dunia media massa bahwa tidaklah mudah untuk menemukan jurnalis yang benar-benar handal.

Jurnalis dengan angka delapan ke atas. Jurnalis yang mampu menjawab kebutuhan profesinya. Yang menempat etika di atas ubun-ubun. Etika yang dinamai dengan kode etik.

Kode etik yang seperti dikatakan seorang teman sama sebangun dengan adab. Adab yang posisinya setingkat diatas iman dan ilmu.

Bahkan perusahaan-perusaaan media massa sering mengeluhkan betapa sulitnya mencari seorang untuk bidang pekerjaan sebagai jurnalis.

Masalah kesulitan mendapatkan jurnalis handal ini tentu menjadi sedikit tidak wajar mengingat di perguruan tinggi yang ada di negeri ini banyak yang membuka jurusan ilmu komunikasi.

Terlebih lagi peminat di jurusan ilmu komunikasi ini termasuk sangat diminati mahasiswa.

Seharusnya perusahan media tidak akan kesulitan mencari jurnalis jika saja lulusan dari jurusan ilmu ini memang diajarkan menjadi jurnalis handal.

Bagi saya  untuk menjadi seorang jurnalis, bukan pendidikan yang menjadi faktor utama. Kecerdasan seorang jurnalis haruslah dibarengi dengan keberanian.

Bahkankah keberanian menjadi faktor penentu jika seseorang ingin menjadi jurnalis hebat.

Ini tidak lepas kalau fakta-fakta yang akan diungkap oleh jurnalis hebat adalah sesuatu yang sedang dilindungi oleh kekuasaan dengan ancaman kekerasan bahkan pembunuhan.

Atau kalau tidak, fakta-fakta tersebut berada di wilayah-wilayah yang berbahaya.

Selain itu, jurnalis hebat tentulah harus memiliki naluri yang kuat untuk menentukan realitas manakah yang memang layak untuk diangkat menjadi berita atau tulisan.

Informasi apakah yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh publik dan informasi itu akan memberi dampak bagi kepentingan yang luas.

Naluri ini tidak bisa diajarkan di bangku kuliah melainkan diasah melalui pergulatan idealisme di dalam pikiran dan kehidupan sehari-hari.

Ini biasanya didapatkan dari proses panjang kehidupan, melalui membaca, berdiskusi, bergelut langsung dengan realitas.

Selain itu seseorang yang dapat menjadi jurnalis handal memiliki watak kritis, gelisah saat melihat realitas yang tidak sesuai harapan.

Seperti yang didemokan para insan jurnalis hari-hari kemarin tentang reportase investigasi. Reportase pemberitaan atau pelaporan.

Investigasi adalah penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta melakukan peninjauan, percobaan, dan sebagainya, dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang peristiwa

Seperti anda sudah tahu jurnalisme investigasi merupakan aktivitas mengumpulkan menulis, mengedit, dan menerbitkan berita yang bersifat invertigatif.

Atau sebuah penulusuran panjang dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan. Selain itu, investigasi merupakan penulusuran terhadap kasus yang bersifat rahasia.

Dari segala definisi tersebut, penekanannya terletak  in-depth reporting. “Mengabarkan kepada kita mengenai keseluruhan apa yang terjadi dari kisah yang terjadi.”

Namun, bukan berarti pula, bahwa pelaporan harus selalu menjadi berpanjang-panjang dengan sekian ribu kata.

Liputan jurnalisme investigasi lebih banyak muncul sebagai sesuatu yang sporadis, dilakukan hanya sewaktu-waktu, karena dipicu kemunculan sebuah peristiwa.

Tingkat kesulitan mewujudkannya terletak pada kurangnya sumber dana dari media.

Bisa juga dari ketidaktahuan mengenai pentingnya dan strategisnya jurnalisme investigasi  hingga lemahnya kemampuan teknis para awak media.

Saya tahu liputan media  sebagai karya jurnalistik masih berkutat ditataran straight news. Paling  bisa meningkat menjadi features. Feature yang idem dengan laporan khas.

Dalam setiap liputan yang baik  hasil karya jurnalistik bisa dibedakan menjadi beberapa kategori berdasarkan tujuannya Antara lain liputan investigasi dan liputan mendalam, Indepth.

Dua liputan ini biasanya akan menghasilkan berita yang cukup panjang. Jika dalam tulisan, hasil liputan investigasi dan indepth bisa berupa tulisan features panjang dan lengkap.

Walau mirip, dua jenis liputan ini memiliki perbedaan.

Bedanyanya liputan indepth berfokus untuk mencari cerita di balik sebuah peristiwa dan tidak berfokus mencari pembuktian dalam kasus yang sedang diliput.

Sedangkan liputan investigasi berfokus untuk mencari pembuktian atas sebuah peristiwa yang dirasa ada kejanggalan.

Poin inilah yang menjadi pembeda antara liputan investigasi dan liputan indepth.

Sebagai jurnalis di sebuah majalah berita dulunya saya diberitahu bahwa  liputan investigasi adalah perpanjangan tangan dari liputan indepth.

Peliputan indepth jauh lebih sederhana dibanding investigasi. Dalam liputan indepth, wartawan tidak perlu untuk menyamar untuk mencari pembuktian.

Wartawan cukup mewawancarai narasumber yang relevan dengan kasus yang diliput, dan berimbang.

Selain itu, wartawan juga bisa melakukan riset data dan dokumen, mencari tahu sebanyak mungkin informasi terkait.

Sedangkan dalam investigasi, wartawan bertindak seperti penyidik.  Dalam peliputtan investigasi jurnalis tidak hanya mewawancarai saksi mata, tapi ada upaya menggunakan tenaga informan.

Memeriksa catatan, hingga memantau aktivitas secara sembunyi-sembunyi atau menyamar.

Ini sesuai dengan artian investigasi itu sendiri. Investigasi yang berada di lingkup penyelidikan dengan mencatat, merekam fakta atau melakukan peninjauan, percobaan dan sebagainya

Tujuannya untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang peristiwa, sifat atau khasiat suatu zat, dan sebagainya.

Liputan jenis ini mirip dengan penyidikan sebuah kasus, tapi dilakukan oleh seorang jurnalis. Liputan investigasi akan menghasilkan karya yang mendalam disertai data dan bukti.

Liputan investigasi sebagai salah satu kontribusi terpenting pers terhadap kehidupan. Di situ ada logika checks and balances

Berbeda dengan liputan indepth yang tidak begitu dalam dalam pembuktian. Hasil tulisan indepth sangat umum ditemukan di liputan majalah berita seperti Tempo.

Selain itu, dalam tulisan indepth tidak diperlukan pembuktian langsung, sehingga tulisannya jauh lebih ringan dibanding tulisan hasil liputan investigasi.

media cetak yang sedang menggali lubang makamnya, pendidikan jurnalisme yang berkembang pesat, internet yang mengubah proses pencarian data, juga kemalasan wartawan di era kekinian.

Tak lupa ia membandingkannya dengan kondisi wartawan-wartawan di eranya yang memiliki ingatan bagus meski tidak menggunakan alat rekam.

Kesan yang saya tangkap, insan pers hanya bisa meratapi kekalahan sembari menunjuk perkembangan teknologi komunikasi sebagai penyebabnya.

Padahal saya selalu  membanggakan hadirnya seorang jurnalis dengan “kewibawaan intelektual melebihi doktor”.

Exit mobile version