Selain media sosial, aplikasi pengumpul berita atau news aggregator terus berkembang cukup pesat sebagai wadah masyarakat memperoleh berita. Perilaku orang memperoleh informasi pun berubah.
Menurut Reuters Institute, tiga puluh enam persen responden mengaku membaca berita karena direkomendasikan secara otomatis oleh mesin yang bekerja di belakang platform.
Shelly Tantri, Head of Business Development BaBe mengatakan cara ini menghasilkan persentase pembaca berita lebih tinggi dibanding konten-konten yang direkomendasikan oleh jurnalis atau editor.
“Sayangnya, di Indonesia dengan tingkat literasi yang masih rendah (data dari Programme for International Student Assessment peringkat literasi Indonesia plus budaya getok tular, gampangnya membagi informasi itu tidak disertai dengan budaya menelaah,” ujar Shelly dalam keterangannya
Alhasil, kabar bohong atau hoaks dengan mudah menyebar di media sosial.
“Di sinilah peran news aggregator sebagai penyaring hoaks. Ada beberapa hal yang menjadi alasan pendukung hal itu. Konten dari news aggregator dimoderasi dan berasal dari sumber tepercaya,” ucapnya menambahkan.
Selain itu, teknologi kecerdasan buatan yang ada di belakang layanan atau aplikasi news aggregator akan mengirimkan informasi berdasarkan minat warganet sendiri.
Hal tersebut dipastikan bakal memungkinkan luasnya topik dan kedalaman informasi yang dikonsumsi masyarakat luas.
Data dari Daily Social pada tahun lalu yang melibatkan responden dua ribuan pengguna smartphone di berbagai penjuru Indonesia menemukan, sebagian besar responden tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita bohong.
Selain itu teknologi kecerdasan buatan kini berperan penting di industri kesehatan.
Terbaru, kecerdasan buatan tengah diuji coba oleh perusahaan kesehatan FDNA. Kecerdasan buatan ini, dapat mendeteksi gejala penyakit genetik cuma hanya dengan memeriksa wajah manusia.
Teknologi kecerdasan buatan bernama DeepGestalt tersebut, diharapkan bisa membantu dokter untuk mengidentifikasi sejumlah penyakit yang sulit dideteksi dengan alat kesehatan.
Studi juga melaporkan kalau 8 persen populasi manusia memiliki gejala genetik yang harus diperiksa dari wajah.
Dalam hal ini, kecerdasan buatan DeepGestalt mampu mendeteksi sindrom Angelman, yakni gejala yang mempengaruhi sistem saraf manusia hanya dengan memeriksa bentuk wajah manusia, mulai dari letak gigi, letak mata, hingga posisi lidah.
“DeepGestalt mampu mendemonstrasikan bagaimana ia bekerja dengan algoritma deep learning untuk mendeteksi penyakit genetik,” kata Yaron Gruovich, Chief Technology Officer FDNA.
Gurovich dan timnya juga sudah melatih DeepGestalt untuk memeriksa tujuh belas ribu gambar wajah dari pasien yang didiagnosis memiliki penyakit genetik.
Dalam uji coba tersebut, DeepGestalt mampu bekerja lebih akurat dan cepat ketimbang ahli klinis dalam memeriksa wajah pasien.
Dalam setiap uji coba, DeepGestalt mengungkap daftar penyakit dalam tingkat akurasi sembilan puluh satu persen.
Jorge Cardoso, dosen dari sekolah biomedis King’s College London, mengakui kalau kemampuan DeepGestalt sangat menaik.
Ia pun berharap, ke depannya DeepGestalt bisa digunakan rumah sakit umum untuk membantu mendeteksi lebih banyak jenis penyakit genetik.
“Ini adalah salah satu pencapaian fantastis kecerdasan buatan yang dapat mengubah harapan hidup manusia. Ketika banyak orang memandang kecerdasan buatan dari sisi negatif, kami justru optimistis DeepGestalt dapat membawa harapan untuk kemanusiaan,” tandasnya.
Sistem kecerdasan buatan kembali menunjukkan tajinya di bidang kesehatan.
Kali ini, kecerdasan buatan asal Tiongkok yang dilaporkan berhasil mengungguli kemampuan diagnosis dokter.
Dilaporkan Xinhua, sebuah sistem kecerdasan buatan berhasil mengalahkan tim yang terdiri dari lima belas doktor kenamaan Tiongkok dalam hal mendiagnosis tumor otak dan memprediksi hematoma.
Dari uji coba yang dilakukan, kecerdasan buatan ini berhasil mengunguli kemampuan dokter saat melakukan diagnosis dua penyakit tersebut. Dikutip dari The Next Web,, kecerdasan buatan ini diberi nama BioMind.
Sistem ini dikembangkan oleh Artificial Intelligence Research Centre for Neurological Disorders dari Rumah Sakit Tiantan Beijing. Saat uji coba, kemampuan BioMind ternyata berada di atas rata-rata kemampuan para dokter.
Saat menelaah sejumlah kasus tumor otak, BioMind berhasil memprediksi benar sekitar delapan puluh tujuh persen. Sementara para dokter hanya mampu menjawab benar enam puluh enam persen dari kasus yang diberikan.
Kecerdasan buatan ini juga mampu menganalisa kasus dengan lebih cepat. Dalam lima belas menit, BioMind berhasil melakukan diagnosis dua ratusan kasus, sedangkan para dokter hanya tiga puluh kasus.
Ketika membahas soal hematoma di otak, BioMind juga berhasil menjawab dengan benar delapan puluh tiga persen kasus yang diajukan.
Adapun para dokter hanya dapat melakukan diagonsa yang benar untuk enam puluh tiga persen kasus.