Facebook dihantam badai kritik usai memberitahu pengguna bahwa mereka akan melakukan sensor terbatas salah satu foto ikonik peristiwa sejarah.
Badai kritik ini langsung ditanggapi raksasa jejaring sosial itu dengan berjanji akan mengendurkan standar kebijakan konten yang diunggah para pengguna.
Foto sejarah yang mengabadikan momen pilu seorang gadis cilik “Napalm Girl” berjalan tanpa busana saat Perang Vietnam memang sangat ikonik.
Dikenal dengan sebutan The Terror of War, foto sejarah itu beberapa waktu lalu menjadi target sensor Facebook.
Sontak aksi ini langsung mendapat kritik pedas dari berbagai kalangan, tak terkecuali tujuh puluh kelompok aktivis HAM yang menuntut Facebook untuk merevisi kebijakan sensornya.
“Di Facebook, berita tak menyebar luas, tapi justru dihancurkan,” begitu bunyi penggalan isi surat yang ditandatangani oleh tujuh puluh kelompok jurnalis dan penggiat HAM beberapa waktu lalu.
Sebagai tanggapan dari banyaknya protes, Patrick Walker selaku Direktur Kemitraan Media Facebook untuk Eropa, Timur Tengah, dan Afrika pada Senin kemarin mengatakan perusahaan sedang menggodok kriteria baru kebijakan sensor konten.
“Kami telah membuat sejumlah perubahan kebijakan setelah foto The Terror of War. Kami sudah meningkatkan proses eskalasi untuk memastikan gambar dan kisah kontroversial bisa diketahui lebih cepat,” ucap Walker.
Berdasarkan laporan kantor berita Reuters, ada lima jajaran eksekutif senior Facebook termasuk COO Sheryl Sandberg yang terlibat untuk merumuskan mengenai konten kontroversial yang bisa diakses pengguna Facebook.
Sekadar diketahui, tak lama setelah Facebook menyingkirkan foto “Napalm Girl”, sejumlah pihak dari kalangan jurnalis dan penggiat HAM telah meminta Facebook menghentikan aksi sensor sepihak yang mereka lakukan beberapa kali, termasuk pemblokiran akun milik dua jurnalis Palestina.
Mereka menuduh kebijakan Facebook terlalu mengakomodasi kepentingan pemerintah.
Menurut mereka, Facebook punya kewajiban melindungi suara masyarakat yang ingin mendokumentasikan serta menyebarkan ketidakadilan yang mereka terima.
Kumpulan eksekutif itu awalnya berdalih keputusan sensor sebelumnya dilakukan karena mereka tak bisa meloloskan konten berunsur pornografi karena tak semua negara menerima hal tersebut.
“Facebook ingin membatasi perdebatan ini hanya mengenai pornografi. Tapi ini bukan pertanyaan yang saya ajukan,” ucap Espen Egil Hansen selaku pempin redaksi surat kabar Norwegia Aftenposten yang pertama kali mengkritik keras keputusan sensor itu.
Kritik keras juga berasal dari Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg yang pada September lalu bersuara keras terkait sensor foto The Terror of War.
Selain kasus sensor konten, Facebook juga tak sungkan-sungkan mengakui telah mencontek Snapchat untuk fitur terbarunya, filter foto demi menjaring pengguna muda.
Product Chief Facebook Chris Cox ) memperagakan fitur terbarunya yang menggunakan teknologi AI dengan penambahan frame berbentuk hati, hingga animasi wajah seniman kenamaan Vincent Van Gogh.
Mengutip The Verge, selain kemunculan filter foto, Facebook juga merilis fitur bernama ‘Direct’ yang memungkinkan penggunanya mengirimkan foto dan video secara langsung ke teman atau grup.
Sama halnya dengan Snapchat, untuk setiap foto dan video yang telah diunggah akan otomatis dihapus dalam waktu dua puluh empat jam.
Juru bicara Facebook mengatakan, apabila tidak ada komentar masuk untuk setiap foto dan video maka akan otomatis menghilang dari daftar unggahan.
Dalam pembaharuan aplikasi, nantinya akan ada tombol kamera di bagian kiri atas ‘Newsfeed’ atau cukup menggeser ke kanan tampilan laman depan Facebook untuk membuka fitur kamera lengkap dengan koleksi filter foto.
Meski masih dalam tahap uji coba, fitur baru ini dipastikan sudah tersedia untuk pengguna di Irlandia.
Sebelumnya, Facebook juga secara tegas mengakui aksi plagiat terhadap fitur Stories untuk Instagram.
Banyak pihak menyebut kemunculan fitur baru ini sebagai hasil pengembangan setelah Facebook mengakuisisi startup MSQRD pada Maret lalu.
Pada bulan Maret lalu, Facebook mengumumkan telah mengakuisisi pengembang aplikasi pengganti wajah yang memungkinkan pengguna menambahkan filter seperti topeng pada wajah pengguna.
Di sana terdapat topeng dari Leonardo DiCaprio, Barrack Obama, atau binatang maupun zombie
Aktivitas di media sosial ternyata dapat menjadi penanda seseorang mengidap penyakit.
Setidaknya inilah yang baru-baru ini ditemukan dari sebuah studi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti di Cambridge dan Stanford University, Inggris.
Para peneliti menemukan bahwa mempelajari kebiasaan seseorang di media sosial lebih efektif dibanding mengikuti kebiasaannya di dunia nyata.
Itu terjadi lantaran banyak orang, terutama remaja, yang berbagi perasaannya lewat media sosial.
“Facebook sangat populer dan bisa memberikan kami banyak data untuk mengetahui gangguan kesehatan mental seseorang, seperti depresi dan schizsophrenia,” ujar Ketua tim penelitian, Dr. Becky Inkster
Inkster dan timnya meyakini bahwa pada setiap aktivitas yang dilakukan di media sosial dapat membantu mereka untuk mengetahui kebiasaan dan perilaku seseorang.
Rekan Inkster, Dr. Michal Kosinski mengatakan, informasi yang diunggah ke Facebook jauh lebih mudah untuk dianalisa. Studi sebelumnya juga telah mengungkapkan betapa kuat pengaruh media sosial pada seseorang.
Apabila hubungan pertemanan seseorang diputuskan di media sosial, itu bisa menimbulkan emosi negatif. Begitu pula dengan unggahan yang ada di linimasa, mereka bisa memengaruhi suasana hati.
Tidak hanya memberi dampak buruk, media sosial seperti Facebook juga dapat berpengaruh positif.
Dr. Inkster mengatakan, jika digunakan dengan baik, Facebook dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri seseorang dan membuat orang yang selama ini mengurung diri lebih terbuka dan bersosialisasi.
“Seperti diketahui, perasaan terasing dan sendiri akan berujung pada depresi dan pikiran untuk mengakhiri hidup, karenanya media sosial kadang juga bisa menjadi hal positif jika digunakan dengan benar,” ujarnya.