Persaingan puncak aplikasi di antara Google dengan Microsoft mencapai puncaknya di akhir bulan ini, dengan diperkenalkannya Allo dan Duo oleh Google sebagai konten
Kehadiran aplikasi Allo dan Duo–yang dibekali kecerdasan buatan–disebut makin menegaskan keseriusan perusahaan itu menggarap kecerdasan buatan.
Tidak hanya sampai di Allo dan Duo, Google juga telah menyiapkan langkah baru dengan membuat sebuah chatbot yang dapat diajak berbicara.
Dikutip dari laman The Verge, Senin, 30 Mei 2016, dalam proyek ini Google menggandeng seorang penemu kenamaan Ray Kurzweil.
Kurzweil sendiri telah bergabung dengan Google sejak empat tahun silam sebagai direktur di bidang rekayasa pengenalan bahasa.
Dalam sebuah pernyataannya beberapa waktu lalu, Kurzweil mengungkapkan dirinya dan tim Google tengah mempersiapkan beberapa chatbot yang siap dirilis pada tahun ini.
Salah satu chatbot, Kurzweil mengatakan, akan diberi nama Danielle. Nama tersebut merupakan karakter yang muncul pada novel buatan Kurzweil dengan judul sama.
Kurzweil mengatakan siapapun bisa menciptakan chatbot unik berdasarkan karakternya dengan membiarkan bot tersebut menyerap informasi dari tulisan pembuatnya, misalnya dari blog.
Proses itu dilakukan untuk memungkinkan bot mengadopsi gaya, kepribadian, dan ide dari penciptanya.
Namun, kemampuan sebuah chatbot untuk dijadikan sebagai rekan berbicara yang sebenarnya masih harus menunggu hingga tiga belas tahun kedepan.
Kurzweil memperkirakan saat itu, kecerdasan buatan sudah memiliki kemampuan berbahasa seperti manusia dan mampu melewati tes Turing.
Dengan berhasil melewati tes Turing, sebuah kecerdasan buatan sudah dapat dibedakan dari orang sebenarnya, meskipun dilakukan dalam kondisi blind test.
Google sendiri memang diketahui sangat menaruh perhatian pada pengembangan kecerdasan buatan.
Tahun lalu, raksasa mesin pencari itu memperkenalkan sebuah kecerdasan buatan yang dapat meningkatkan kemampuan sistem mesin pencarinya bernama RankBrain.
Sebelumnya, kecerdasan buatan Google Deep Deep Mind berhasil mengalahkan juara dunia Go permainan papan asal Jepang Lee Sedol.
Kemenangan itu disebut menjadi tonggak penting dalam penelitian kecerdasan buatan, sebab Go merupakan permainan sederhana yang sulit dipahami oleh komputer.
Google DeepMind, salah satu divisi milik Google, dikabarkan mencatat pencapaian luar biasa. Teknologi kecerdasan buatan atau “artificial intelligence,” besutannya berhasil mengalahkan juara Go tingkat dunia dalam lima pertandingan Go sekaligus!
Keberhasilan sistem yang bernama AlphaGo ini dinilai penting bagi Google. Diketahui, Go memiliki mekanisme permainan papan yang lebih rumit ketimbang catur.
Google menuturkan, ada lebih banyak kemungkinan gerakan di permainan Go dibanding jumlah atom di alam semesta.
Untuk itu, AlphaGo diciptakan untuk menghadapi kemungkinan permainan yang hampir tak terbatas.
Hal ini berbeda ketika komputer bermain catur. Biasanya, komputer didesain hanya untuk mencoba menentukan semua kemungkinan yang bisa terjadi dalam sebuah pertandingan.
Untuk mendukung AlphaGo, Google DeepMind telah menanam lebih dari tiga puluh juta jaringan neural dari gerakan pemain profesional.
Informasi itu kemudian akan dipelajari dan diimplementasikan dalam sebuah strategi oleh AlphaGo.
Tak hanya itu, AlphaGo juga akan menggunakan proses pembelajaran yang disebut reinforcement learning. Proses ini semacam trial and error yang dilakukan oleh AlphaGo sendiri.
Semua pelatihan yang dilakukan oleh AlphaGo jelas membutuhkan proses informasi yang cukup besar. Untuk itu, sejumlah pemrosesan besar harus diambil terlebih dahulu dari Google Cloud Platform.
Kemenangan pertama AlphaGo ini diraih setelah berhasil melawan juara Go Eropa, Fan Hui.
Setelah itu, Google berencana mengajak kecerdasan buatannya itu melawan juara dunia, Lee Sedol, di bulan Maret.
Menghadapi kecerdasan buata Google ini, Microsoft mengingatkan diinya untuk tidak gentar terhadap perkembangan yang disponsori Google itu.
Google diketahui memang tengah banyak mengembangkan produk dengan teknologi itu.
Dia meyakini bahwa kecerdasan buatan dapat meningkatkan kemampuan manusia.
Pada akhirnya, kecerdasan buatan memberikan dampak lebih baik bagi kehidupan manusia.
“Jangan takut akan kehadiran kecerdasan buatan,” ujar Philippe Courtois, dalam sebuah interview di Davos pekan lalu, seperti dikutip dari Huffington Post.
Kecerdasan buatan, lanjutnya, dapat membantu pekerjaan dan meningkatkan produktivitas manusia. Ia memberi contoh, Cortana — asisten digital Microsoft yang didukung pada beberapa perangkat — disebut sebagai ‘wanita yang baik’.
“Cortana, seorang wanita digital yang baik, di mana Anda bisa melihat dan berbicara langsung dengannya melalui Windows 10. Anda juga dapat berinteraksi langsung mengenai kehidupan, tujuan hidup, pekerjaan Anda, serta dengan Cortana bisa menambahkan nilai ke dalamnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, dengan kecerdasan buatan, banyak pekerjaan yang bisa terselesaikan dengan lebih baik.
Cortana sendiri merupakan asisten digital yang sebelumnya sudah tersedia dalam perangkat ponsel berbasis Windows.
Saat ini, Cortana sedang dikembangkan untuk menjadi sistem operasi utama perusahaan tersebut, tepat di samping menu “Start”.
Asisten digital ini pada dasarnya mampu mengerjakan beberapa hal yang dibutuhkan, misalnya Cortana mampu memandu arah, mengingatkan untuk membeli susu, memperlihatkan berita headline terbaru, dan lain-lain.
Kehadiran Cortana diharapkan oleh Microsoft bisa memenangkan kompetisi. Sebab, Cortana dirancang bisa berinteraksi seperti manusia sungguhan.
Seperti pendapat seorang tokoh Buddha, Matthieu Ricard, mengenai kecerdasan buatan, bahwa mesin dan perangkat lunak tidak dapat menggantikan keberadaan manusia, bahkan jika mesin dan perangkat lunak tersebut bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan manusia