Planet Mars, atau dikenal dengan nama lain “planet merah,” di percaya, dan tidak dipercaya, bisa menjadi pemukiman baru manusia masa depan, setelah studi tentang “iklim”nya paling mendekati dengan kesamaan Bumi.
Perdebatan panjang tentang layak huninya “planet merah” ini masih belum mendekati kata sepakat di antara para ilmuwan ruang angkasa, walau pun program dan misi untuk membongkar “rahasia” paling dalam dari struktur kehidupannya terus berlangsung.
“Mars One,” sebuah organisasi “nirlaba’ yang berdomisli di Belanda, walau pun dikecam, telah mendahului penelitian ilmuwan dengan merencanakan pendaratan manusia di Mars.
Mars One telah mencatat seratus nama dari ilmuwan, akademisi, dan segelintir masyarakat untuk diberangkatkan ke Mars untuk menjalani “bulan madu” ruang angkasa.
“Saya skeptis bahwa misi tersebut bisa tercapai sesuai rencana yang sudah mereka buat,” ujar direktur Hayden Planetarium di Museum of Natural History, Neil deGrasse Tyson.
Pernyataan lebih pedas bahkan dilontarkan oleh pakar antariksa dari George Washington University, John Logsdon. Ia menganggap misi Mars One nampak seperti penipuan terstruktur.
Tudingan itu bukan tanpa sebab, karena biaya mengirim manusia ke planet Mars tidaklah mudah dan semurah yang diklaim Mars One.
Namun soal dana Mars One memang tak sendiri. Melalui situsnya mereka menyatakan bahwa seluruh perlengkapan akan dikembangkan oleh pemasok pihak ketiga, artinya ada organisasi lain yang akan membantu misi mereka.
Pemimpin proyek Mars One, Bas Lansdrop tak terpengaruh soal hambatan dana. “Masih ada putaran investasi selanjutnya dan kami tidak khawatir mengenai aspek finansial,” ujarnya.
Tidak hanya Mars One, arsitek luar angkasa dari NASA, Brent Sherwood, sama optimisnya bahwa lima puluh tahun dari sekarang bakal tersedia jenis tawaran berbeda untuk sekadar berbulan madu ke Mars.
“Bayangkan sebuah hotel dengan pemandangan yang selalu berubah setiap saat, di mana ada delapan Matahari terbit dan terbenam, makanan melayang langsung ke mulut Anda, dan melakukan aktivitas seksual di zona nol gravitasi,” ujar Sherwoord kepada media “The Guardian.”
Sherwood melanjutkan, “siapa yang tak ingin merasakan itu semua?”
Situs “The Guardian” menyatakan, Sherwood menghabiskan dua puluh lima tahun bekerja untuk perencanaan mengenai pemukiman planet dan kota orbital.
Dari situ, ia sangat yakin bahwa hanya masalah waktu untuk akhirnya bisa menerapkan penjelajahan antariksa yang akhirnya akan menjadi opsi liburan reguler.
Hal penting tentang habitat luar angkasa adalah mengenai riset yang harus kami lakukan, peralatan apa saja yang harus dibawa, serta hal-hal yang efektif secara biaya,” katanya lagi.
Hal jauh lebih penting lain yang perlu diperhatikan bagi orang yang menjelajah luar angkasa dalam kurun waktu yang lama adalah lingkungan fisik dan efek psikologis mereka.
Rekan Neil Armstrong saat misi Apollo 11, Buzz Aldrin pun mendukung Mars sebagai destinasi antariksa berikutnya.
“Jangan tempatkan astronaut NASA di bulan. Masih banyak tempat lain yang harus mereka datangi,” tulis Aldrin di dalam buku terbarunya, “Mission to Mars.”
Selaras dengan pendapat Aldrin, presiden organisasi nirlaba Mars Society, Robert Zubrin mengatakan bahwa Mars adalah dunia baru. Ia membayangkan dunia dengan rumah kaca yang dilindungi oleh atap melengkung anti sinar ultraviolet.
Para peneliti dari National Aeronautics and Space Administration belum lama ini telah menemukan bukti baru bahwa planet Mars dulunya memiliki lautan yang bahkan lebih luas dari Samudera Arktik.
Mengutip dari laporan situs “New York Times, para peneliti meyakini air laut tersebut tersebar di sepanjang dataran rendah bagian utara Mars selama berjuta-juta tahun.
Para peneliti memaparkan, kedalaman air yang melingkupi permukaan Mars di masa lalu setidaknya mencapai seratus tiga puluh tujuh meter
“Keberadaan lautan sebelah utara telah didebatkan selama beberapa dekade, tapi ini adalah pertama kalinya kami memiliki kumpulan data yang kuat dari seluruh permukaan Mars,” ujar Michael Mumma selaku pemimpin penelitian di Goddard Center for Astrobiology NASA yang juga menulis laporan ke dalam jurnal Science.
Mumma bersama seorang peneliti planet NASA, Geronimo Villanueva mengukur dua bentuk air yang berbeda di atmosfer Mars.
Bentuk pertama mirip dengan kandungan H2O yang terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Sementara bentuk kedua memiliki kandungan yang lebih berat dari air, yakni HDO, di mana inti dari satu atom hidrogen mengandung neutron. Atom itu dinamakan deuterium.
Dua bentuk air tersebut benar ada di Bumi dan keduanya ditemukan pada batu bintang dari Mars.
Kemudian, tingkatan dari air bermuatan lebih berat kini mengindikasikan bahwa dulunya ada air versi lebih ringan yang lalu hilang seiring planet mengalami perubahan.
Para peneliti menemukan atom deuterium delapan kali lebih banyak di atomsfer Mars ketimbang pada air di Bumi.
Mereka berpendapat, temuan ini memberikan perkiraan kuat mengenai banyaknya air di Mars dulu yang bisa menentukan soal seberapa banyak air yang hilang di luar angkasa.
“Air yang lebih banyak memang dulu pernah ada, terutama jika kumpulan air tersebut bertahan dalam waktu lama, pasti kesempatan akan lebih besar untuk terciptanya kehidupan berkelanjutan,” ujar Paul Mahaffy, kepala laboratorium eksperimen atmosfer di Goddard Space Flight Center.
Sebelumnya, rover robotik Curiosity milik NASA sempat mengukur molekul air yang ringan dan berat di Kawah Gale pada Desember lalu, kemudian data tersebut juga mengindikasikan bahwa Mars dulu memiliki air berjumlah besar.
Walau jumlah air yang sempat ditemukan Curiosity tak sebesar temuan terbaru tersebut, sang planet merah juga dipercaya memiliki sebuah danau besar di atas permukaan tanah.
sumber : the guardian and the new york time