Twitter akhinya mengikuti langkah layanan media sosial lain yang sudah lebih dulu mengambil sikap terhadap akun milik Alex Jones.
Namun, langkah yang ditempuh Twitter untuk Jones sedikit berbeda.
Alih-alih memblokir akunnya, Twitter justru hanya membungkam dan menonaktifkan beberapa fitur pada akun penyedia konten media konspirasi, Infowars tersebut.
Layanan mikroblogging tersebut mengkonfirmasi sejak Selasa akun Jones masih aktif dalam mode read-only selama tujuh hari.
Dengan begitu, ia tetap bisa menelusuri cuitan di Twitter, namun tak bisa berinteraksi dengan memberikan cuitan balasan, retweet, hingga memberikan like pada cuitan orang lain.
Mengutip Cnet, Twitter juga mensyaratkan Jones untuk menghapus cuitan yang memiliki nada negatif.
Meski demikian, Twitter tidak memberikan standar cuitan mana saja dianggap bernada menyinggung.
Twitter sebelumnya berkeras tak akan memblokir akun Jones lantaran dianggap tidak menyalahi kebijakan perusahaan.
Sebaliknya, langkah untuk memblokir dan menghapus konten milik Jones yang berisi teori-teori konspirasi sudah lebih dulu ditempuh sejumlah raksasa teknologi seperti Facebook, LinkedIn, Vimeo, Pinterest, Google, YouTube, Spotify, hingga Apple.
Sejumlah perusahaan teknologi mengatakan pihaknya tidak bisa mentoleransi konten yang disebarkan Jones lantaran dianggap menebar kebencian.
Jones mendirikan Infowars hampir dua dekade yang lalu, tepatnya pada tahun 1999.
Hingga saat ini, ia memiliki sejumlah besar audiens yang membaca atau mendengarkan teori-teori konspirasinya.
Salah satu teorinya yang cukup populer adalah tentang peristiwa September tujuh belas tahun silam, ketika terjadi teror di New York dan Washington D. C., Amerika Serikat.
Ia beranggapan bahwa kejadian itu merupakan rekayasa dan direncanakan oleh pemerintah AS sendiri.
Sebelumnya Twitter juga telah menghentikan kebijakan centang biru
Twitter mengkaji ulang fitur verifikasi akun untuk profil-profil yang dianggap berpengaruh.
Fitur centang biru tersebut dianggap menimbulkan ambiguitas menyusul penyalahgunaan oleh sejumlah orang.
Umumnya, tanda centang biru kerap ditemukan di akun-akun publik figur mulai dari presiden, pejabat publik, selebriti, jurnalis, mereka yang dianggap punya pengaruh luas di publik.
Sementara waktu Twitter menghentikan pemberian centang biru kepada mereka yang menginginkannya.
Hal ini dipicu oleh insiden unjuk rasa supremasi kulit putih di Charlotesville, Amerika Serikat.
Jason Kessler adalah koordinator gerakan tersebut. Tak lama dari unjuk rasa yang berakhir dengan aksi tabrak-lari itu,
Kessler menulis cuitan yang justru mengolok-olok korban insiden, yang ternyata seorang perempuan yang menentang supremasi kulit putih dan turut serta dalam aksi protes tandingan di tempat yang sama dengan Kessler dan rombongannya.
Lalu pada 7 November yang lalu, Twitter justru memberikan tanda centang biru di akun milik Kessler.
Twitter dianggap memverifikasi keberadaan akun penyebar kebencian. Tak ayal, protes dan kekecewaan mengalir deras ke perusahaan mikroblogging itu.
Pihak Twitter mengakui centang biru yang mereka berikan kerap diartikan lebih dari proses otentifikasi. Simbol ini dianggap sebagai dukungan kepada profil terkait.
“Kami sadar bahwa kami menciptakan kerancuan ini dan harus memperbaikinya,” kata divisi support Twitter dalam sebuah cuitannya.
Hal senada keluar dari mulut sang CEO Jack Dorsey yang mengungkapkan sistem verifikasi punya celah dan mengakui ia gagal menyikapi isu ini lebih baik.
Tim kami sudah mengikuti kebijakan verifikasi dengan baik, namun kami sadar sistem ini rentan dan harus dipertimbangkan ulang. Kami gagal karena tak melakukan apa pun mengenai ini,” tulis Dorsey.
Twitter dianggap bermain tak konsisten dalam menerapkan kebijakan centang biru ini.
Akibatnya, Twitter menuai banyak desakan publik agar berbenah. Desakan itu juga datang dari karyawan mereka sendiri.
“Kami seharusnya menghentikan proses yang sedang berlangsung di awal tahun ini, kami sadar ini kacau ketika orang bingung apakah ini verifikasi ID atau bentuk dukungan,” pungkas Ed Ho, manajer produk Twitter.