Senin pagi, awal pekan ketiga Desember 2014, sebuah berita “kecil’ di kegaduhan Indonesia yang “ribet,” menjalar lewat “takziah” menyenangkan di beberapa media online.
Mereka mengabarkan, Sabang atau Weh atau pun Iboih-Gapang-Rubiah, menerima penghargaan sebagai salah satu dari tujuh “keajaiban” destinasi wisata di negeri ini.
Tidak tanggung-tanggung. Yang memberikan penghargaan itu adalah majalah “Marketter,” milik Mark Plus, yang bekerjasama dengan “Wonderful of World” dengan label nama “The Real of World.”
Kami dengan takzim men“takziah”i berita ini ke hampir semua media online lewat pencari “search google.”
Yang kami temukan, ternyata, tidak banyak tulisan yang memberi kata “amin” atas kemenangan ini. Kalau pun ada, ia hanya muncul sepotong-sepotong lewat penggalan yang tidak utuh, dan jumlahnya sangat terbatas.
Persetan, bisik hati kami tentang ketidakpedulian orang atas “comeback”nyaSabang atau Weh atau pun Iboih-Gapah-Rubiah dalam peta destinasi wisata Indonesia.
Bagi kami, yang telah menulis selama empat puluh tahun terakhir tentang Sabang, “kemenangan” ini amat melegakan setelah peta destinasi wisata negeri ini hanya diramaikan oleh Wakatobi, Raja Ampat, Bunaken dan Labuhan Bajo.
Kami iri dengan Raja Ampat atau Wakatobi atau pun Labuhan Bajo yang hadir belakangan an mengerdilkan Sabang atau Weh yang lebih dari satu abad lalu telah meng”global” ketika ia masih bernama “Sabang Maatschapaij.”
Kala itu, bukan hanya Wakatobi, Raja Ampat atau Labuhan Baju dan Bunaken, Singapura pun, yang masih bernama Tamasek dan menjadi sarang perompak Selat Malaka, belum masuk peta dunia.
Ya, saya sumringah di pagi ketika hujan pirang itgu. Sebagai penulis saya sudah terlalu sering menggiring Sabang untuk “maju.” Tapi tak pernah berhasil karena di hadang oleh “birahi” proyek yang ada dalam “otak” birokrasi di pulau itu.
Mereka lebih asik untuk mengotak-atik usulan harga “dermaga” atau berkhayal tentang pelabuhan bebas dan perdagangan bebas yang bisa mendatangkan duit dan “kecelakaan” korupsi.
Mereka tidak memiliki kegairahan untuk mengembangkan Sabang sebagai daerah wisata dengan industri kreatif “megalomania”nya yang bisa memberi kemakmuran berlimpah bagi penghuninya.
Kami tidak tahu dengan harga hitungan dermaga ketika tiap kali menulisSabang, atau Weh, atau pun Iboih-Gapang-Rubiah. Yang kami tahu Weh adalah “surga” kemakmuran “industri” wisata. Dan bukan seludupan gula atau mobil “buangan” Singapura yang berserakan di pojok kebun kelapa dari Balohan hingga sudut Pasiran.
Hari ini saya teringat lagi Sabang “Wonderful.” Teringat ketika dua bulan lalu kami “ziarah” lagi dan menikmati tepian Pantai Paradiso, mengunyah potongan semangka kuning sembari menanti senja untuk sebuah kenikmatan surgawi yang sayang ditinggalkan.
Di Pantai Paradiso kami “bersenggama” dengan laut, ombak dan matahari senja. Pantai Paradiso berada di “tengah” kota. Mudah dijangkau dengan berjalan kaki dari sejumlah penginapan Jika tidak berjalan kaki, wisatawan bisa naik becak motor.
Di pantai ini, setiap sore atau pagi hari, orangtua membawa anaknya untuk sekadar mencari hiburan.
Lokasi pantai ini berhadapan persis dengan kawasan Sabang Fair yang ditata menjadi semacam pusat hiburan.
Terdapat area permainan anak, wisata kuliner, hingga tanah lapang untuk pertunjukan atau panggung. Jalur di depan pantai pun dibuat dua jalur sebagai antisipasi jika banyak pengunjung.
Di sini, pengunjung tidak bisa berenang atau melakukan aktivitas di bibir pantai. Plengsengan penahan abrasi kokoh melindungi pengunjung dari sapuan ombak.
Namun, wisatawan akan terpuaskan hanya dengan menatap Laut Andaman, menikmati belaian bayu, sambil menyantap aneka makanan dan minuman dalam suasana kawasan yang tertata rapi.
Tentu, keindahan Sabang bukan hanya Pantai Paradiso. Masih banyak lokasi yang layak dikunjungi, seperti Pantai Sumur Tiga, Pantai Iboih, dan Kilometer Nol. Tiga lokasi ini adalah lokasi wisata unggulan di Kota Sabang.
Letak Pantai Sumur Tiga tak jauh dari Pantai Paradiso. Empat kilometer dari kota. Pantai ini menjadi favorit karena hamparan pasir putih memanjang dengan pepohonan kelapa menghijau sebagai penghias. Disebut Pantai Sumur Tiga karena di tepian pantai ada tiga sumur air tawar.
Adapun Pantai Iboih berlokasi dua puluh tiga kilometer arah barat laut Kota Sabang. Jalur ke sana searah dengan wisata Kilometer Nol Indonesia. Meski rute berkelok naik-turun dan kadang agak menyempit, jalanan beraspal mulus.
Di Pantai Iboih, wisatawan dimanjakan dengan pasir putih dan kejernihan bawah laut. Di sini, wisatawan bisa menyelam untuk menikmati keelokan bawah laut. Terdapat bungalo bagi wisatawan yang menginap.
Dari sana, wisatawan bisa melanjutkan petualangan di Pulau Rubiah. Untuk ke sana, kita harus menyewa perahu dari Pantai Iboih. Perjalanan sekitar lima belas menit.
Biaya sewa perahu sebesar seratusan ribu rupiah dan bisa menyewa peralatan selam Biaya ini termasuk murah jika dibandingkan wisata snorkeling di tempat wisata lain.
Keindahan bawah laut Aceh cukup menarik. Jadi, kita tidak hanya menikmati matahari terbit dan terbenam, tapi juga keindahan bawah laut Sabang yang tidak berada di bawah keelokan Bunaken.
Dari Pantai Iboih, wisatawan bisa singgah sebentar menikmati keelokan Kilometer Nol Indonesia.
Di sinilah tugu batas nol kilometer Indonesia berdiri. Wisatawan bebas berfoto di depan tugu, membeli aneka suvenir, meneguk kesegaran es kelapa, hingga membuat sertifikat kunjungan ke Kilometer Nol Indonesia.