Telah dua kali saya mengalami siksaan qanun. Qanun lembaga keuangan syariah. Spesifiknya lagi bank syariah.
Siksaan pertama ketika dipaksa meng”hijrah”kan tabungan dan deposito dari dua bank konvensional ke bank syariah. Saya sebut saja dari bank mandiri dan bank bni
Siksaannya berat. Dari antrian yang mengular…. panjang… berjubel ditambah, bolak balik antar bank…isi formulir ..teken sana dan teken sini.
Ujung siksaan pertama ini diminta menunggu buku dan kartu anjungan tunai mandiri yang diterbitkan dengan janji esok .. dan esok lagi…
Kartu kreditnya? Masih tunggu lagi satu bulan… dua bulan…dan bisa berbulan-bulan. Bahkan sertifikat depositonya harus di jemput enam bulan berikutnya.
Tentu bukan hanya saya yang tersiksa. Anda….. dan anda… pasti juga mengalaminya. Bahkan kita… semuanya.
Saya sengaja menegaskan ini sebagai siksaan karena menghabiskan waktu, menguras emosi dan hanya bisa didamaikan oleh kesabaran.
Siksaan yang saya alami itu dan juga Anda tentu bukan kehendak sendiri.Tapi kehendak qanun. Kehendak yang menyebabkan kita dan kita semua tak punya pilihan. Pilihan tersiksa.
Pilihan yang muasalnya dari akad atau perjanjian untuk meng”hijrah”kan tabungan dan maupun deposito yang kata qanunnya harus memenuhi kriteria syar’i. Bank berdasarkan syariat.
Bank syariat yang kemudiannya saya tahu dalam pelaksanaannya, setelah memasuki tahun kedua, hampir nggak ada bedanya dengan bank konvensional. Bank umum.
Misalnya soal meminjam uang Perjanjiannya adalah pinjam uang, untuk modal, dengan sistem bagi hasil. Kita yang berusaha. bank syariah yang membiayai.
Kalau usaha itu menghasilkan, labanya dibagi dua. Anda tidak perlu membayar bunga. Anda cukup menyisihkan sebagian laba ke bank yang memberi modal. Berapa bagian masing-masing disesuaikan dengan perjanjian.
Apakah praktiknya betul-betul demikian? Bagi hasil?
Sama sekali tidak. Lalu bagaimana kalau usaha itu rugi? Apakah ada bagi rugi? Juga tidak. Tetap saja jaminan disita bank syariah –dengan istilah apa pun.
Sebelumnya, masalah ini pernah saya diskusikan dengan seorang nara sumber yang ikut sebagai tim penyusun qanun.
Sebagai wartawan yang pernah belajar in-depth interview reporting dan nggak pernah belajar ushul fikih saya bertanya tentang dalil-dalil yang mendukung qanun lembaga keuangan syariah
Terutama tentang sumbernya. Apakah dari otak? Atau Al-Qur’an dan hadits?
Kalau dari Al-Qur’an, tafsir mana yang diikuti? Ingat! Siapa menafsirkan. Apakah hanya berdasarkan otak atau ra’yu. Kalau ini dasarnya , siapkanlah tempat duduknya di neraka.
Kalau dari hadits, derajat hadis apa? Syarah hadis ikut siapa? Apa mensyarah sendiri? Metode syarahnya apa?
Saya memilih setuju untuk mengalihkan depositi dan tabungan ke bank syariah dengan alasan menghindarkan ribawi.
Bukankah syirkah atau bagi hasil di perbolehkan dalam syar’i? Memang ada perbedaan pendapat tentang jenisnya. Tapi secara umum hukum melakukan bagi hasil adalah mubah.
Keuntungan lain saat berinvestasi deposito, saya tidak dapat mengambil dana sesuka hati. Ini artinya dana yang diinvestasikan akan tetap utuh dalam jangka waktu tertentu.
Saya sendiri dapat memilih waktu atau tenor penyimpanan sesuai kebutuhan
Lantas setelah itu saya menghitung persentase keuntungan deposito di Bank Syariah Indonesia. Mengecil dan kecil sekali…
Padahal sebelum pemindahan itu saya diberi gambaran, nisbah bagi hasil dengan jangka waktu satu bulan adalah lima puluh lima persen untuk nasabah dan empat puluh lima persen untuk bank
Selain itu, dari seorang teman orang bank, saya diberitahu secara umum persentasi pembagian itu kalau dikaitkan dengan return investasi yang dihasilkan bank syariah bisa lebih besar
Enam puluh lima persen untuk nasabah dan tiga puluh lima untuk bank
Lantas bagaimana kita tahu deposito itu untung atau tidak. Anda tahu, bank syariah tidak mengenal konsep bunga dalam sistem pembagian keuntungannya untuk nasabah.
Sebagai gantinya, bank syariah menerapkan prinsip bagi hasil atau nisbah.
Melalui nisbah atau bagi hasil, pihak bank dan nasabah akan memperoleh keuntungan yang sah secara syariah sehingga dapat terhindar dari riba.
Adapun perhitungannya sendiri telah ditentukan sejak awal melalui adanya akad. Lalu, seperti apa prinsip bagi hasil bank syariah serta bagaimana contoh perhitungannya?
Sederhananya, bagi hasil yang diberikan pada bank syariah menjadi pengganti metode bunga yang ada di bank konvensional.
Pada konsep bagi hasil, lembaga keuangan syariah dan nasabah akan membagi keuntungan maupun risiko secara bersama-sama.
Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi nasabah yang ingin terhindar dari praktik riba sebagai hal yang diharamkan dalam
Bagi bagi hasil ini juga memiliki aturan yang pasti sesuai fatwa ulama, aturan otoritas jasa keuangan, maupun ketentuan perusahaan perbankan itu sendiri.
Masih ada ketentuan lainnya. Itu sesuai dengan katanya. Kata pengelola bank syariah. Semuanya kelebihan. Tak ada kekurangannya Bisa panjang narasinya. Ya sudah …. Narasi untuk hiburan siksaan.
Lantas?
Muncul siksa kedua. Dua bulan lalu. Siksa dari down-nya jaringan sistem teknologi Bank Syariah Indonesia. Siksanya lebih berat. Heboh. Hebohnya carut marut. Anda bisa bayangkan sistem pembayaran milik bank itu ambruk.
Kehidupan Anda sendiri juga ambruk. Berhari-hari.. .Satu hari.. dua hari.. hingga hari ketiga ,,, dan seterusnya. Anjungan tunai mandiri milik bank syariah itu mati suri . Menjadi keranda dikerumunan pengunjung.
Siksa ini bagi saya pemegang tabungan tidak begitu berat. Saya jauh dari kerumunan keranda anjungan tunai mandiri bank itu. Masih bisa sedikit eksis walaupun merasakan getarnya.
Tapi saya tahu dari teman-teman disana yang membulatkan suara menuntut dikembalikannya bank konvensional sebagai pilihan agar siksa menyiksa qanun berakhir. Siksanya juga harus lewat qanun. Qanun revisi.
Heboh lagi. Hebohnya pro kontra. Pro berarti setuju dikembalikannya bank konvensional. Yang kontra kukuh dengan lanjut syariah.
Saya tak tahu bagaimana heboh pro kontra ini akan berakhir. Tak tahu juga bagaimana qanun pro kontra baru bisa menenggelamkan heboh ini.
Menenggelam semua heboh. Termasuk heboh rubuhnya “rumoh geudong”