Site icon nuga.co

Manchester United Menjadi Klub Komedi

Sejak ditunjuk sebagai caretaker, Ole Gunnar Solskjaer sukses mengembalikan karakter Manchester United (MU), bermain menyerang, menghibur dan berdeterminasi tinggi.

Memenangi delapan laga awal secara beruntun, mencetak dua puluh dua gol dan hanya kebobolan lima gol, yang di antaranya  tiga laga cleansheet.

Termasuk juga membenamkan PSG di ajang Liga Champions secara dramatis sekalipun bermain dengan second line up.

Sebagaimana Solskjaer yang dikenal sebagai super-sub, ia hadir (lagi) sebagai juru selamat dalam wujud caretaker.

Ada optimisme tinggi dan euforia serasa di era keemasan bersama Sir Alex Ferguson. Terlebih, melihat foto Solskjaer, Sir Alex dan Cantona mengepalkan tangan seusai laga melawan PSG.

Atas berbagai hasil impresif tersebut, dua laga setelahnya Solskjaer naik kelas menjadi manajer permanen. Namun tak dinyana, sejak saat itu MU kembali lagi menjadi klub komedi.

Tiada hentinya MU menjadi konten utama akun komedi bola seperti trollfootball, minangkocak hingga plesbol. Selepas melawan PSG, setan merah malah kehilangan taji.

Dari enam belas laga terakhir, hanya tiga pertandingan berakhir dengan kemenangan, tujuh kekalahan dan  empat diantaranya berakhir imbang.

Menjadi pertanyaan besar alasan di balik kembali tersungkurnya Manchester United. Solskjaer menjadi sorotan utama awak media dan tetap bergeming bahwa tim asuhannya di jalan yang benar.

Terakhir, Solskjaer’s Babes ditahan imbang Southampton. Analisa ini mencoba mengidentifikasi bagaimana proses lawan mencetak gol hingga mengapa MU masih saja menjadi klub komedi.

Tren kekalahan dimulai ketika bertandang ke Arsenal. Pasukan Solskjaer kalah dua gol tanpa balas. Dari 16 pertandingan terakhir De Gea ataupun Romero telah memungut bola dari gawangnya sebanyak dua puluh enamgol.

Tujuh gol di antaranya dicetak pemain lawan dari luar kotak penalti.

Gol Xhaka, Messi, Coutinho, Siggurdson, Digne dan Neves menjadi bukti sahih bagaimana midfielder setan merah enggan menutup ruang gerak pemain lawan atau setidaknya melakukan marking maupun blocking sedini mungkin.

Contoh sempurnanya ketika bertandang ke Camp Nou. Betapa mudahnya Messi dan Coutinho mencetak tigagol dari luar kotak penalti. Ketika Siggurdson dan Xhaka menembakkan bola, ada Matic di hadapannya.

Bukannya automatic (otomatis) memblok, ia malah diam tanpa perlawanan.

Alih-alih tampil disiplin di defensive half, pemain setan merah malah sering membuat kesalahan. Setidaknya ada 6 gol lawan hasil individual error. Fred menjadi pemain yang paling disorot mengingat ketidakmampuannya mengusai bola berujung 2 gol untuk lawan.

Menerima umpan datar De Gea di luar area penalti, ia tidak mampu mengontrol bola sehingga dengan mudah direbut pemain Wolves dan berakhir gol.

Lagi-lagi Camp Nou menjadi saksi keteledorannya dalam mengendalikan bola di area pertahanan. Melalui skema pressing, Fred kehilangan bola, disambar Messi dan gol.

De Gea pun melakukan blunder. Bola sepakan Messi terlalu licin bagi De Gea. Di laga sama, Ashey Young terlihat bingung mengoper bola hingga mudahnya Rakitic merebut bola dan diteruskan Messi menjadi gol lewat tendangan dari luar kotak penalti.

Beberapa kali kesempatan, De Gea terlibat ceroboh hingga membuahkan gol bagi lawan. Akhir musim lalu melawan Chelsea, tangkapannya tidak sempurna sehingga bola muntahan disambar Alonso untuk menyamakan skor imbang

Melawan West Ham, De Gea melempar bola ke arah Pogba namun tidak tepat sasaran.

Pogba terpeleset, bola diambil oleh pemain lawan, melalui serangan cepat, gawang De Gea bergetar hasil sepakan Filipe Anderson yang tanpa pengawalan di sisi kiri pertahanan setan merah.

Tidak perlu kaget melihat sisi kiri pertahanan MU sering terlihat kosong. Luke Shaw beberapa kali off position.

Menyoal individual ego, gol kemenangan Crystal Palace di masa injury time menjadi alasan mengapa Solksjaer perlu marah terhadap pemainnya yang gemar show off.

Alih-alih segera mengoper bola kepada kawannya ketika diapit dua pemain lawan, Pogba malah lebih suka berlama-lama menguasai bola hingga berhasil direbut pemain Palace. Tidak butuh waktu lama bagi Palace untuk mencetak gol melalui skema counter attack.

Hal paling krusial di sepak bola adalah transisi dari bertahan ke menyerang atau sebaliknya. Lawan paham betul MU tidak mampu bertahan apabila keasyikan menyerang. Diego Jota, Siggurdson, Walcott, Mbenza, dan Van Aanholt memaksa fullback setan merah lari tunggang langgang.

Terhitung sejak pemain Wolves merebut bola di area pertahanannya, Jota hanya perlu sebelas detik untuk menggetarkan jala De Gea. Kekacauan barisan pertahanan setan merah semakin nampak ketika Shaw mencoba berlari mengejar namun akhirnya kalah berduel dan terjatuh.

Mirisnya lagi, jumlah pemain lawan lebih banyak daripada pemain MU di area defensive half. Terlambat turun, miss-koordinasi dan ketidakmampuan membaca pergerakan lawan jadi alasan mengapa setan merah banyak kebobolan lewat skema counter attack.

Musim lalu Solskjaer rutin menduetkan bek berpostur tinggi seperti Lindelof, Baily, Smalling, dan Phil Jones. Musim ini MU membeli Maguire dengan memecahkan rekor transfer untuk seorang defender. Namun realitanya MU masih saja banyak kebobolan dari skema bola udara. Cukup mencengangkan namun faktanya demikian.

Di pertandingan melawan Crystal Palace, menerima bola udara dari kiper Palace, Lindelof kalah duel udara di area pertahanannya sendiri. Bola hasil unsuccessful clearance Lindelof dimanfaatkan Jordan Ayew untuk mencetak gol.

Setan Merah kalah kebobolan lewat skema sederhana; tendangan kiper, kalah duel udara, gol.

Seminggu berselang Jannik Vestergaard seakan mengejek kemampuan aerial duel benteng pertahanan setan merah. Gol sundulannya menyamakan skor. Setan merah lagi-lagi hanya mendapatkan satu poin.

Dua gol bunuh diri defender setan merah musim lalu sama-sama karena kalah duel udara. Crossing pemain Wolves ke kotak penalti gagal diantisipasi oleh Jones yang kalah berduel dengan Raul Jeminez.

Bola menjadi kemelut hingga mengenai Smalling dan masuk ke gawang De Gea. Melalui skema yang sama, Messi mengirim crossing ke kotak penalti dan bola disundul Suarez yang mengenai Shaw.

Dua hari sebelum Solskjaer resmi menjadi manajer permanen, Louis Van Gaal berbicara kepada wartawan BBC Sport. Mantan manajer setan merah itu menilai strategi Solskjaer dan Mourinho sama saja. Sama-sama parkir bus alias menumpuk pemain di garis pertahanan.

Pernyataan Van Gaal ada benarnya. Setidaknya gol Jeminez dan Abdoulaye Doucouré tercipta ketika pemain setan merah berkumpul di kotak penalti namun tidak rapat.

Bek dan midfielder setan merah hanya diam melongo seakan membiarkan keduanya melakukan akselerasi melewati banyaknya pemain di kotak penalti. Tidak ada perlawanan. Tidak ada upaya menghentikan, yang ada gawang De Gea kebobolan.

Tidak ada hasil yang paling menjengkelkan selain mendominasi pertandingan namun berakhir dengan kekalahan.

Dari  enam belas pertandingan terakhir, setan merah mendominasi permainan yang ditunjukan lewat tingginya persentase ball possession di  sebelas pertandingan.

Namun nahasnya hanya satu pertandingan berakhir menang yakni ketika melawan Watford di Old Traford.

Selebihnya yakni empat  pertandingan berakhir seri dan ironisnya enam pertandingan berakhir dengan kekalahan.

Mendominasi namun berujung kekalahan mengindikasikan ketidakefektifan permainan. Selain rapuhnya pertahanan, Solskjaer perlu peka terhadap miskinnya kreativitas anak asuhannya.

Ketergantungan terhadap Pogba sangat terasa sekali. Lawan memahami tren kemenangan Solskjaer tak lepas dari andil Pogba yang dibiarkan bebas berkreasi.

Maka benar saja ketika Pogba mendapatkan marking ketat, setan merah seperti sekumpulan bocah yang bingung menembus pertahanan rapat.

Seusai pertandingan melawan Southampton, di hadapan wartawan BT Sports, Solskjaer mengungkapkan kekecewaannya terhadap stiker setan merah yang menurutnya tidak klinikal.

Lengkapnya Solskjaer mengatakan “We weren’t clinical enough. We had loads of chances, and the last bit is missing. It’s getting there though”.

Barangkali ucapan Solksjaer merupakan titik kulminasi atas mengecewakannya performa central forward setan merah. Ucapan yang mewakili kicauan fans setan merah sejak Lukaku berulang kali gagal memanfaatkan peluang ketika melawan Arsenal dan kalah 2 gol tanpa balas.
Performa stiker andalan setan merah, Marcus Rashford cenderung menurun. Sering kehilangan bola, gagal melakukan akselerasi dan mengkonversi peluang di depan gawang menjadi gol.

Dari empat laga Premier League musim ini, conversion rate Rashford hanya sebesar tiga belas persen.

Artinya dari enam belas tendangan, hanya dua saja yang menjadi gol. Masih kalah dibandingkan Martial dan Daniel James yang masing-masing sebesar dua puluh lima persen  dan dua puluh tujuh persen

Statistik ketiganya pun masih kalah jauh dibandingkan Vardy, Aguero, Sterling dan Ayew.

Strategi dan kekuatan Manchester United sudah dipahami lawan. Semoga Solskjaer peka mengenai rapuhnya lini pertahanan dan memperbaiki strategi penyerangan. Ada banyak data dan fakta yang bisa dimaksimalkan untuk mengevaluasi permainan.

Namun tidak sebatas itu, Solskjaer perlu memperhatikan aspek kekompakan antar pemain. Menumbuhkan ulang semangat juang pemain setan merah.

Sebab Solksjaer tidak asal dipilih. Ia tumbuh dan besar di Old Traford. Solskjaer bukan keledai yang akan jatuh di lubang yang sama. Ia paham makna badge di dada untuk ratusan juta umat manusia.

Boleh jadi saat ini Manchester United menjadi klub komedi, namun dengan skuad muda saat ini, Solskjaer sedang mempersiapkan tim terbaik di era milineal ini. Ole’s at the wheel!

Exit mobile version