Lama sekali saya mengendapkan keinginan untuk membuat catatan tentang stasion pemberhentian terakhir saya sebagai “pekerja” jurnalis.
Membuat catatan yang bukan sekadar menulis. Yang pekerja jurnalis bukan berarti jurnalis.
Anda mungkin sedikit puyeng dengan pengertian catatan dengan menulis. Begitu juga dengan artian pekerja dengan jurnalis.
Saya sederhanakan sajalah.
Catatan itu bentuk dan rupanya hanya “note.” Sering juga disebut dengan “footnote,” kalau Anda ingin memberi penegasan di sebuah tulisan. Footnote yang sering diartikan catatan kaki.
Catatan kaki yang muncul di bagian bawah sebuah tulisan utama. Seperti di tiap kali saya menulis tak pernah dengan “footnote”. Footnote yang ditulis oleh seorang editor.
Footnote bla..bla..bla.. wartawan senior… Yang hanya sepenggal kalimat pendek, Tapi begitu penting. Seperti pentingnya Anda mengetahui saya. Wartawan seniooorr… Ahhh… mbong…
Kata catatan ini telah melamoui ekspetasinya di tangan seorang suhu. Suhu jurnalis,
Yang Anda tahu atau tahu persis. Catatan yang ditambah kata pinggir. Menjadi “catatan pinggir.” Catatan pinggir miliknya goenawan mohamad. Yang akrab disapa semua orang dengan akronim nama: gm.
Catatan pinggir yang menyertai eksistensi sebuah majalah berita. Majalah berita mingguan “tempo.” Yang jargonnya: “enak dibaca dan perlu.” Majalah yang investagasinya luar biasa dalamnya.
Dalam dengan sebutan depth. Depthnews yang sempat membuatnya terkapar di era orde baru karena menurunkan sebuah laporan utama tentang pembelian kapal perang bekas dari jerman.
Catatan pinggir milik gm itu sangat fenomenal. Yang dibukukan dan dibukukan lagi dalam banyak buku. Di”amin”i banyak entitas karya jurnalistik puncak di negeri ini. Dan dijadikan sebagai rujukan penulisan para jurnalis.
Termasuk saya, Saya yang pernah menjadi bagian dari komunitas si catatan pinggir. Yang tahu bagaimana ia menghadirkan catatan itu. Tahu juga makna dari catatan dan pinggir yang ia maksud,
Sudahlah…. Saya seperti memberi wejangan saja. Padahal masalahnya sederhana.
Sederhana bagaimana mencairkan endapan keinginan saya untuk menulis sebuah catatan usai turun di pemberhentian terakhir stasion pekerja jurnalistik.
Pemberhentian yang saya inginkan. Keinginan juga untuk membuat catatan. Catatan stasion terakhir saya sebagai pekerja media. Pekerja yang artian kerennya karyawan. Bisa juga diartikan pegawai.
Karyawan atau pun pegawai yang menerima gaji bulanan, dapat tunjangan kesehatan, dapat ini dan dapat itu. Itu stasion pekerja. Mungkin juga dapat amplop. Atau pun nota untuk sesuatu.
Selain tentang bicara tentang catatan saya juga ingin menegaskan stasion terakhir saya sebagai jurnalis. Yang nggak ada batasannya. Batasannya sakratul….
Sebab sebagai jurnalis saya tak memiliki stasion terakhir. “Jourmalism a never die.” Jurnalis tak pernah mati. Itu jargon milik kaum journalism. Jurnalis proletar. Bukan jurnalis elitis.
Itu jargon saya dan siapa saja yang pernah berenang di kolam jurnalis. Kolam yang banyak di antara teman-teman yang nggak bisa menuntaskannya. Tergoda dan di goda …macam-macam,,,
Saya sendiri tahan godaan. Tahan untuk menepis yang macam-macam itu. Tahan untuk bertahan sebagai insan jurnalis. Yang seperti dibisikkan seorang teman: “kita terus bertahan sampai mati ya bang.”
Entahlah….. apa iya…..
Untuk sementara saya iyakan saja. Karena saya bisa terus membuat catatan karena ada yang menyediakan kolom. Seperti “kolom bang darman.” Kolom di sebuah media online,
Yang kata pemiliknya Nasir Nurdin ada peminatnya. Yang saya tak percaya dengan kata banyak. Mungkin untuk menghibur. Iya toh…Peduli amat.
Sama dengan peduli amatnya ketika gerbong kereta media tempat saya jadi pekerja dulu memberi award untuk enam puluh orang sekali tepuk.
Enam puluh orang akan menerima award? Ahh… saya bingung aja. Sebuah media lokal meuhambo kan award sebanyak itu?
Saya nanar. Dulunya dan dulunya lagi saya hanya mengenal award semisal pulitzer untuk pekerja media. Untuk insan jurnalis. Ada lagi award oscar untuk pekerja sinema. Perfileman.
Saya tak tahu banyak dengan award meng”award” di era online. Era pasang media sosial.
Saya mencoba suuzon terhadap award itu. Suuzon dengan ada ujung ghibahnya. Ghibah kemungkinan untuk menampung iklan ucapan terima kasih. Yang di era ini iklan terima kasih menjadi kue bagi media.
Memang, kini, media kejangkitan penyakit bunyuk. Penyakit boros memberi award. Tidak hanya radio, televisi, surat kabar,,, sampai media sosial pun bersorak dengan tepuk tangan award.
Saya sering menyerampah dengan kata “antahlah” untuk peristiwa semacam ini. Antahlah untuk mengingat semasa saya menerima penghargaan yang tidak ada kata awardnya. Dulu…
Dulu sekali. Ketika ditahbiskan menjadi reporter terbaik untuk katagori penulisan feature. Penulis terbaik untuk reportase olahraga….
Kalau pun ada “award” yang pernah saya raih selama karir jurnalistik adalah seorang istri, Di tempat kerja. Di perusahaan media.
Award yang nggak ada panggung dan latar logo tulisannya. Nggak ada tepuk tangan dan acungan tangan ke atas plus kemudian di pajang untuk kemudian di makan karat lantas di buang ke tong sampah.
Award yang saya dapat ketika menjadi pekerja jurnalistik adalah “award sejati.” Award yang terus saya bawa kemana saja. Pagi-sore-siang dan malam.
Dari ruang tamu hingga ke ruang keluarga plus ke ruang tidur.
Award itu datang dari sebuah rumah tempat saya berkantor. Menyusun bata, mengaduk semen, mencor tiang sebagi kuli dan menjadikannya sebuah bangunan surat kabar. Kuli tinta.
Kuli yang kala itu masih menggunakan pena dan dawat untuk mencatat semuanya. Mencatat sembari menyalinnya ke otak. Sebuah pekerjaan yang nggak semua orang bisa melakukannya.
Walau pun koeli Anda jangan menganggap enteng profesi ini. Kala itu. Koeli yang sangat terhormat. Jangan pernah melecehkannya,
Koeli-koeli ini yang kemudian menjadi pondasi bangunan surat kabar itu menjadi prestise. Bahkan saya hingga kini masih disapa sebagai bagian dari media cetak itu.
Tapi saya hanya ketawa. Ketawa karena saya telah soh. Soh untuk menjadi old journalism. Jurnalis tua yang tetap mencatat. Mencatat apa saja untuk mengisi kolom. Kolom dimana saja.
Ketawa juga ketika mengenang rumah saya mendapatkan award sejati. Rumah yang kini telah menjadi bangunan pertokoan di gerbang kiri gampong lampriek. Di depan bangunan rumah sakit lama.
Rumah sakit zainal abidin yang kini telah bergeser ke arah kanan dari rumah tempat kami berkantor dulu. Sebuah rumah bangunan yang awalnya milik gubernur ali hasymi.
Rumah empat kamar dengan petak besar di belakangnya dan bangunan tambahan di samping kanannya.
Rumah tempat kami berkutat. Rumah yang menjadi ruang redaksi plus ruang tata usaha. Ada ruang paste up dan pembuatan film. Ada juga ruang radio. Ruang-ruang yang mengalirkan karya jurnalistik.
Ruang yang bagaikan ban berjalan. Lancar. Dari produksi otak hingga produksi potongan kertas yang difilmkan untuk dijadikan plat untuk digiling oleh mesin dipercetakan untuk menjadikannya lembaran kertas bernama surat kabar harian.
Bukan hanya saya yang mendapatkan award sejati dari ruang-ruang itu. Ada yang namanya Akmal Ibrahim dengan si ida, ada syarbaini usman dengan sri rejeki dan ada maimun dengan juhaini.
Dan ada juga teman yang saya nggak mau menyebut namanya. Teman yang saya temui dua pekan lalu. Teman yang ber-hahaha… mengenang masa indah mendapatkan award sejati itu..
Hahaha… juga ketika desakan untuk membuat catatan yang lebih utuh, Yang saya tetap bertahan dengan kata: “tidak”
Tidak juga untuk ikut bernostalgia dengan mereka yang telah soh di sebuah grup medsos. Nostalgia yang menakutkan saya. Takut adanya persambungan kembali dengan masa hura-hura ketika saya ada di sana dulunya.
Takut untuk menjadi “mbong” Karena di nanggroe saya virus “mbong” itu makin mewabah. Dan telah mewabah sampai ke “toke bangku.”