Site icon nuga.co

Naif…..

Stigma. Saya sering menuliskannya. Sering mendengar bunyinya dari jerat kata yang menjepit otak saya.

Bahkan terlalu sering  muncul  dalam bentuk tudingan dipercakapan dengan banyak teman dari banyak komunitas.

Stigma tentang negeri saya. Stigma yang sudah berselemak peak dalam kosa kata stigmanisasi.

Kosakata yang kalau di ujug-ujug menjadi sebuah tindakan memperlakukan seseorang atau sesuatu kelompok secara tidak adil dan merendahkan, sehingga menyebabkan pengucilan atau diskriminas

Saya bisa berang, diam atau cuma menekuk akal sehat untuk menanggapinya. Menjauh dari  emosional. Saya berdamai dengan akal sehat agar tidak melawan.

Anda tak perlu saya ajari tentang kata yang menekuk ini. Ia lahir dari rahim nalar negatif. Sebuah pandangan buruk terhadap seseorang atau sekelompok orang karena karakteristik tertentu.

Dalam tulisan saya ini stigma itu berupa stereotip, diskriminasi, atau pengucilan.

Saya pernah membaca sebuah esai yang sangat bagus tentang stigma ini. Dari seorang ayatollah penulis di negeri ini. Ia memberi artian lugas tentang stigma ini.

“Cap,” tulisnya.

Cap, seperti kita tahu bersama adalah stempel.

Stigma atau cap atau pun stempel inilah yang datang lagi di percakapan kami kemarin dulu di sebuah  kafe kawasan kemang. Kafe yang sepelemparan jaraknya dari “rumah” ziarah bob sadino.

Bob yang terkenal di awal tahun tujuh puluhan dengan merek dagang kem food dan kem chick.Bob yang juragan kem chick.

Juragan produk pangan dan ternak yang mengawali bisnisnya dengan membuka usaha rental mobil. Menyewakan mobil mewah miliknya bermerek mercy sekaligus merangkap jadi sopir.

Bob yang dikenal dengan trade mark celana jean pancung belel, kameja tangan pendek dengan kumis lebat dan rambut putih berserak.

Ia terlahir sebagai  anak orang kaya. Tapi ngaco. Menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia.

Dalam perjalanannya itu, ia terhempas di amsterdam. Negeri kincir angin. Menetap di sana  selama kurang lebih sembilan tahun.

Di sana, ia bekerja untuk djakarta loyd. Sebuah perusahaan perkapalan milik indonesia. Cerita bob bisa mengasikkan. Saya sendiri pernah bla-bla untuk menuliskan di sebuah rubrik ilustrasi

Rubrik ilustrasi di sebuah majalah terkenal. Rubrik ilustrasi tentang keunikan jalan hidup seseorang. Selain bob saya juga pernah menulis di rubrik ini seorang penjual majalah yang saya sapa si kelasi.

Seperti dikatakan bob ke saya, ketika pulang ke tanah air ia membawa dua mercy miliknya dan membeli tanah di kemang. Itulah cikal dari nama kem…

Maaf saya gak menulis lanjut tentang bob..

Saya udah janji  ingin menulis tentang stigmanisasi yang dilekatkan ke negeri indatu. Stigmanisasi yang terus up date dalam kasus-kasus baru.

Dan, di kafe kemang itu saya kembali mendengar tudingan “cap” untuk sebuah kebijakan terbaru yang menyangkut ajaran syariah salah kaprah nun di di negeri “hancou klaha” itu.

Untung saja di kafe kemang itu ada kupi saring di tambah martabak dengan roti cane  telur untuk mengingatkan saya agar tidak memaki dengan kata : pak….Makian khas  negeri di pucok donya itu.

Stigma atau cap itu “reborn” secara selang seling di percakapan panjang yang menjadi kebiasaan kami untuk ngumpul sekadar kangen-kangenan

Di hari itu saya bisa berdamai dengan jerat dari kata itu. Saya gak menyalahlam  mereka yang menuturkannya secara nyeleneh

Toh ia dilahirkan oleh kampanye media yang berkobar tanpa kesadaran.

Memang tak ada teror dan ketakutan. Demikianlah sepatah kata menjadi stigma.

Stigma itu adalah cap.

Kata ini berasal dari bahasa yunani untuk menyebut semacam tanda yang diterakan dengan luka bakar atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak, atau pengkhianat.

Dengan cap yang melekat di jangat itu, stigma akan menandai sesuatu yang tak diinginkan. Atau bisa saja yang diinginkan Stigmatisasi terjadi bersama penyingkiran.

Pada zaman komunikasi kata-kata ini, cap itu tak melekat. Ia hanya jadi metafor. Ia berbentuk bunyi, penanda yang dikumandangkan ke dalam bahasa.

Sebagai bagian dari bahasa, ia masuk ke kepala dan hati orang banyak, membentuk persepsi dan bahkan sikap serta laku mereka.

Kata sebagai stigma berkembang dalam pusaran kesadaran kita itu bagaikan racun. Racun ini kemudian bisa disemburkan ke tiap sosok yang jadi sasaran.

Sebagai racun, ia bergabung dengan racun jiwa yang lain: purbasangka dan paranoia. Maka dengan mudah ia bisa dipergunakan untuk menyebarkan permusuhan.

Yang menakjubkan, stigma bisa bertahan lama.

Dari dulu anak-anak negeri ini sering dihujat oleh pertanyaan tentang ganja, aceh merdeka dan hukum rajam syariah. Yang kemudian berkembang ke pernik-perniknya. Hijab, ekonomi  dan sebagainya

Stigma ini memang sudah menjadi tradisi berulang. Dulu di era saya masih pakai celana katok dan baju monyet stigma itu bisa berbunyi dari kata masyumi. Bisa juga dari kata sosialis…

Kata ini biasanya dikaitkan dengan dalang. Tuduh menuduh…

Usai era itu stigma pindah ke pe-ka-i. Anda mungkin pernah di “pe-ka-i-kan kalau udah beda aliran kepercayaan. .

Kata-kata itu membentuk endapannya sendiri. Kata-kata ikut bercampur dengan bawah-sadar, dan diubah-ubah maknanya oleh apa yang bergolak dalam percampuran itu.

Oleh hasrat dan dalam hasrat. Oleh kengerian dan dalam kengerian. Makna tak lagi jelas dan transparan. Dan tak ingin untuk demikian

Endapan kata-kata bagaikan racun itu yang berumur panjang. Tak mengherankan jika paranoia  ikut mencengkam ketika orang mendengarnya.

Seperti yang saya alami hari-hari ini, di kafe kemang ini, orang-orang terus memproduksi dan mengawetkan stigma itu.

Aceh, ganja, syariat, hijab, cambuk maupun waliyatul hisbab. Kalua udah menyangkut ini pertukaran pendapat tak bisa lagi jernih, bahkan jadi mustahil.

Hari kemarin di pekan terakhir lalu  stigmanisasi itu meningkat: orang bicara, dan racun bertaburan di antara tiap bunyi, tiap rangkaian huruf, tiap penanda.

Ya kadang orang menjepit orang lain dengan kata, menjerat diri dengan kata.

Dalam posisi itu, ia berubah jadi sasaran untuk diserang atau dalam kata yang dominan waktu itu diganyang.

Pada saat itulah bermula kecurigaan jadi rumus, kebencian jadi doktrin.

Kita hanya bisa membebaskan diri dari jerat dan jepit itu bila kita ingat bahwa pada tiap stigma ada racun yang melumpuhkan semuanya.

Substansi saya menulis tentang stigmanisasi kali erat berkaitan dengan seruan dalam bentuk instruksi tentang kewajiban salat berjamaah dengan menghentikan aktivitas saat kumandang azan.

Sebuah instruksi setengah pesong. Selain merepotkan saya menanggapnya  “tak masuk akal”.

Alih-alih mewajibkan warganya salat berjamaah dan menyetop aktivitas usaha selama azan berkumandanag, ada masalah  serius. Kemiskinan dan pengangguran.

Isu-isu seperti ini pengalihan wacana dari persoalan sebenarnya. Aceh masih menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi

Kebijakan ini bukan agenda. Bukan jadi alasan  “sesuai dengan visi dan misi” dalam pemilihan kepala daerah  lalu, seraya menekankan “agama lebih dulu, baru yang lain”.

Terlalu naif….

Setiap azan berkumandang, toko harus tutup semua dan berangkat sembahyang”.

Saya “terkejut” dan “takut” dengan instruksi itu. Setahu saya di makkah dan madinah saja gak ada instruksi itu. Semua orang memiliki kesadaran

Tentang adanya narasi kebijakan itu disambut positif  warga  saya gak tahu. Gak menanyakan secara langsung.

Dari kutipan beberapa media online saya menemukan jawaban tentang kebijakan itu sebagai setengah panik. Pengalihan wacana dari persoalan sebenarnya Gak urgen.

Beda dengan kebijakan trump yang mengenakan pajak impor terhadap barang-barang dari berbagai negara. Kalau  ini saya bisa setengah setuju.

Setengah setuju dari kebijakan sinting yang ada kalkulasi untung ruginya. Kebijakan kapitalis untuk mengibarkan bendera the number one us..

Saya tambah gak ngerti persoalan apa yang muncul di negeri ujong donya itu sehingga solusinya jamaah?

Ga ada. Gak lebih pencitraan. Peduli islam. Peduli masyarakat  saleh,  nonsen. Dan ini masalah stigmanisasi

Alih-alih membuat kebijakan yang menimbulkan masalah baru, fokus saja  isu-isu utama yang dihadapi warga

Seharusnya kan bicara tentang kemiskinan, orang tidak ada uang, pengangguran makin banyak.

Bagaimana mengentaskan kemiskinan, memperbaiki ekonomi rakyat, dan mencari solusi bagi pengangguran yang semakin meningkat.

Dan bla…blaa … lainnya. Blaa..blaa… stigmanisai hancoe klaha…

Exit mobile version