Site icon nuga.co

Pengaruh….

Tentang paus fransiscus.

Saya sebenarnya orang tak pantas untuk menulisnya. Dari sisi manapun. Sisi keyakinan, sisi kemanusiaan atau sisi pengabdian dan lain-lainnya.

Di luar sisi keyakinan saya membaca ia telah melewati sebuah fase oase kehidupan. Pergulatannya dalam satu kata : kemanusiaan…. Sulit tertandingi.

Kalau pun hari ini  saya “terpaksa” dalam tanda dua petik, untuk menulis itu karena di goda oleh sapaan seorang teman lama di perempat malam kemarin, yang kini wakil tetap negeri ini di sana

Ia sesama jurnalis. Dari dulu hingga perempat pagi itu. Godaannya didahului dengan menyebut saya seorang “humble” dalam pergaulan riel lintas agama

Itu yang  menyebabkan saya tergerak untuk mencoba dalam tulisan yang dangkal ini.

Maaf…..

Sang teman yang wakil tetap di negara  bernama tahta suci sebenarnya jauh lebih “humble” dari saya. Esainya banyak bertebaran membicarakan tentang eksistensi islam. Terutama yang berkaitan dengan tragedi gaza.

Sebulan lalu ia memforward  ke akun saya sebuah tulisan tentang “rumah” vatikan. Saat itu paus fransiscus sedang meriang.

Di tulisannya itu ia membuka dengan pertanyaan seorang tokoh komunis, stalin, tentang berapa besar kekuatan vatikan punya tentara.

Kutipannya: “berapa batalion, sih, vatikan punya?”

Saya sejak dulu sudah tahu itu pertanyaan mengejek. Tahu dari caranya bertanya. Tahu juga  di negeri itu hanya ada beberapa ratus orang tentara dinamai corpo della garda svizzera.

Jumlah ratusan itu garda itu kalua di Hiraki kekuatan tentara hanya satu batalion. Batalion yang bertugas sebagai penjaga paus.

Jumlah itu cukup untuk menjaga sebuah negara bernama vatikan yang  cuma seluas empat puluh empat hectare

Sebuah negara yang lebih sempit dibandingkan dengan kota kabupaten kampung saya.

Begitu juga dengan anggaran belanja tahunannya. Cuma segini… Itu kata teman yang lain menjentik ibu jari dan telunjuk.

Dalam dunia modern yang diramaikan oleh gempita politik, militer, dan ekonomi, tempat itu  berdiri sunyi, kecil dalam ukuran namun besar dalam pengaruh

Ia bukan sekadar pusat spiritual umat sebuah  agama tetapi juga menjadi panggung diam dari diplomasi global yang mempengaruhi arah sejarah dunia.

Di bawah bayang-bayang menara sebuah gedung tua bernama basilika santo petrus berhalaman luas, diplomasi berjalan tanpa peluru dan tanpa mikrofon dijalankan.

Negara itu bergerak dengan kekuatan moral bukan modal, bukan kekuasaan politik; dengan diplomasi rohani. Dan di balik kesunyian lorong-lorongnya, ia membentuk dunia.

Tapi tahukah anda di sana duduk seorang tua yang ketika pekan lalu wafat dan dimakamkan, sekitar puluhan kepala negara dan kepala pemerintahan di dunia datang untuk berkabung.

Bukan saja datang untuk berkabung, tapi memberi hormat. Tak terkecuali dengan si biang kerok dunia hari ini yang bernama: donald trump.

Donald yang kedatangannya di ejek oleh media besar dan berpengaruh sebagai”trump bebek” karena memakai jas berwarna biru yang gak sesuai dengan warna berkabungan.

Saya yang disuguhi banjir bandangnya berita tentang wafatnya paus fransiscus menyimpulkan ada paradoks di hari-hari ini. Paradoks abad modern

Paradoksnya datang dari tanya banyak orang. Apa sih vatikan.

Kalau dari sisi kekuatan ia  dengan gampang bisa dibinasakan oleh sembarang negeri, Bahkan oleh pasukan preman tanah abang yang kemarin heboh itu.

Gak perlu untuk mengerah pasukan berpuluh-puluh divisi. Ternyata negeri-negeri yang besar bahkan tetap perlu bermanis-manis dengan takhta yang ringkih itu.

Kini, ketika negeri besar seperti united state  lewat trump ingin mempraktekkan kembali asas hobbesian ternyata harus menundukkan kepala di halaman santo petrus untuk berkabung.

Kita tahu hobbesian adalah sebuah doktrin tentang kepatuhan. Bahwa “tiap orang diharapkan berjanji patuh dalam banyak hal ke punya kekuasaan untuk menyelamatkan atau menghancurkan”

Tapi di hari perkabungan itu symbol gedung putih itu ternyata masih merasa perlu datang ke basilika dan gak mampu berkata besar semisalnya akan bisa meruntuhkan hegemoninya.

Seorang penulis hebat pernah mengatakan: vatikan adalah sebuah interupsi.

Pada hari-hari ini telah menguap makna tentang “batalion-batalion besar” dan yang ada hanyalah hegemoni sebuah citra atau ide kehausan akan simbol-simbol “kebenaran”.

Vatikan, yang bukan pusat, adalah satu indikator kebutuhan itu, rasa kekurangan yang juga dirasakan oleh negeri mana saja yang hanya punya bujet dan bedil.

Takhta suci itu memang tak selamanya sempurna, bahkan ada yang menganggapnya tak suci benar, tapi setidaknya ia sebuah isyarat bahwa dunia tak sepenuhnya cocok dengan kehidupan.

Dalam kehidupan, yang lemah ternyata bisa punya proteksi dan kesetiaan sendiri.

Di hari ini kita sadar ketika paus dan aparatnya tak lagi menguasai tanah dan takhta seperti era abad pertengahan, ia bisa lebih meyakinkan sebagai lambang “kerajaan yang lain”.

Dari kacamata yang awam ini, saya melihat ia hadir dengan nilai lebih karena ia dianggap bukan “kerajaan dunia” yang tak henti-hentinya terpaut oleh kepentingan yang sepihak

Saya tak ingin bicara tentang sejarah panjang keagamaa. Bukan ahlinya. Tapi bisa mengambil dari makna kehidupan secara universal bahwa ia mengingatkan apa yang kurang.

Itulah sebenarnya yang dapat ditawarkan bukan saja oleh vatikan, tapi oleh tiap agama: menghadirkan imbauan dari “kerajaan yang lain”.

Saya menyadari benar semua itu sulitnya setengah mampus. Bahkan sebuah tulisan lain mengingatkan agama telah jadi kelompok, dan kelompok jadi kubu

Dari pembentukan kelompok dan kubu ini didirikanlah tembok tebal dengan pintu yang tertutup.

Tak mengherankan bila ada keraguan, di manakah yang transendental dalam peta semacam itu.

Bagaimanakah sebuah agama dapat mencerminkan apa yang agung dari langit sana, selama agama itu terlibat dalam perebutan kapling di dunia?

Pertanyaan seperti itu kian deras, sebab kian terasa pula kurangnya sumber-sumber “pembenaran” yang bisa diterima semua pihak di dunia sekarang.

Mungkin itu sebabnya, di satu sisi kita takut melihat menyempitnya pandangan agama-agama, di lain sisi kita hidup di masa ketika sumber pembenaran yang universal, dirindukan kembali

Maka dengan susah payah agama-agama pun mulai merenungkan posisi masing-masing: mungkinkah yang universal sepenuhnya diwakili hanya oleh satu sistem dan tradisi kepercayaan

Bentuk dari sistem dan tradisi kepercayaan itu bisa partikular, yang tak jarang punya sejarah yang penuh darah dan ketakaburan

Dalam perenungan kembali ini, saya akan selalu teringat akan seorang pemikir negeri ini yang pernah  berada di garis depan, tapi ia juga berada di sebuah tradisi

Saya tahu benar tentangnya. Pernah duduk sepelantaran. Mendengar ocehannya yang lamat-lamat.  Dalam hidupnya yang dimulai ketika sebagai seorang muslim pertama mendengar quran

Lantas ia diingat bahwa banyak nabi yang dikirim ke bumi, dengan aturan dan jalan masing-masing.

Ia tahu tentang dokumen revolusioner nostra aetate dari konsili yang menjadi momen penting dalam hubungan katolik dan islam.

Ketika umat muslim  diakui secara resmi sebagai “umat yang menyembah allah yang esa, pengasih dan penyayang.

Ia pernah mengingatkan dokumen bukan sekadar tulisan yang basa basi, tapi arah baru dari agama itu dalam memandang dunia.

“Ini adalah momen ketika gereja tidak hanya berdiri di menara gading, tetapi turun menatap dunia sebagai saudara” .

Saya bukan seorang peneliti, akademisi atau teolog. Manusia dengan keimanan biasa tapi saya tahu tentang bahwa nilai-nilai yang universal tak akan hadir di satu tempat.

Orang akan menemukannya di posisi di mana yang universal disuarakan.

Pekan lalu, dalam perkabungan untuk paus francicus adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang berada di posisi itu.

Ke sana datang ayatullah dari iran, ke sana datang pula trump. Dan di sebuah hari ia datang ke Lorong sempit di baghdad menjumpai ayatollah khatami.

Dan kini ketika dunia melepas kepergiannya  kita tidak hanya kehilangan seorang  gembala moral dengan suara lembut bagi kemanusiaan.

Ia adalah pewaris panjang tradisi vatikan sebagai penjaga suara hati global Dalam sunyinya negara itu  dunia mendengar suara nurani yang tetap bergema di tengah riuhnya geopolitik.

Saya mencatat dari sana damai itu memancar, tanpa teriakan, tanpa senjata hanya cinta.

Exit mobile version