Namanya si Hafas.
Ia anak lelaki dari keponakan saya.
Ayah bernama Harwinta. Bekerja sebagai aparatur sipil di sebuah pemerintahan daerah. Jebolan strata dua sebuah perguruan tinggi di Medan. Starata satunya di Undip, Semarang
Ibunya seorang dokter spesialis syaraf. Strata satunya di Syiah Kuala, Banda Aceh. Sedangkan spesialisnya di usu Medan.
Hafas ini, delapan tahun. Anak pertama dari Harwinta dan Mira. Kini di kelas dua sekolah dasar.
Si Hafas ini garis cucu saya dari trah neneknya. Yang adik saya. Ibu Harwinta.
Bukan masalah trah ini yang ingin saya tulis tentang si Hafas. Sebab kalau trah ini yang saya sodorkan untuk Anda baca jawabannya pasti mubasir.
“Untuk apa mambaca trah orang. Trah saya sendiri nggak harus jadi bacaan. Apalagi bacaan trah orang lain yang belitannya macam simpul tak ada ujung” Itu yang saya petik dari buah jawaban Anda.
Si Hafas yang saya tulis ini boleh menjadi anak dan cucu siapa saja. Bisa anak atau cucu Anda sendiri atau orang lain yang namanya tak perlu dengani ejaan si Hafas.
Bisa saja si Aan, si Dul atau si Apok maupun si Ani.
Terserah..
Namun begitu, si Hafas atau siapa pun anak yang beranjak gede di era now ini nyinyir dan pinternya nggak ketulungan. Nyinyir dengan tanya apa saja. Pinter yang bisa membuat si ayah dan ibu jutek.
Bahkan bisa membuat kakek dan si neneknya meradang karena tanya yang diajukannya menerabas etika yang terpahat di kepala mereka.
Menerabas pola hidup dan pola penyakit yang di dera si kakek atau si nenek. Pola ketika si Hafas membuka rahasia si kakek dari garis ibunya. Rahasia tentang si kakek yang pergi ngopi. Padahal ngopi ini menjadi larangan bagi si kakek yang penderita diabetes.
Rahasia ngopi yang dibuncahkan si Hafas sewaktu mereka ngumpul ngalor ngidul. Rahasia yang membuat si kakek ngacir ke kamar dan membuat semua orang menahan senyum.
Hafas ini memang tipikal anak cerdas di era now. Era ketika bangun tidur langsung menggenggam gadget milik siapa saja untuk membuncah google search dan menyalin semua info lewat jempol jemarinya untuk memindahkan ke jaringan sel otaknya.
Untuk itulah tanya ia ajukan sering membuat jengkel karena dikemas dalam bahasa ceplos. Tanpa harus menyusun dalam kalimat baku.
Satu hari saya mendapat pertanyaan dari si Hafas tentang mobil merek lexus. Ia bertanya tentang harga, pabrik dan keunggulan teknologi yang dimiliki oleh otomotif itu.
Saya sendiri pasti tak ngeh tentang mobil lexus. Saya memang pernah naik mobil super itu. Tapi hanya sekadar duduk di baris seat kedua, melonjorkan kaki dan menatap layar monitor di langit-langitnya yang menyajikan hit milik Rihanna lewat youtube.
Selebihnya, saya tak ingin mendelik semua tombol-tombol otomat yang menyembul dari mobil mewah ini. Malu ah.. Kan hanya numpang. Untuk apa sok gaya.
Untuk itu, ketika si Hafas menanyakan tentang spesifikasi lexus saya tergagap. Dan membalikkan pertanyaan ke si cucu dengan nada skala rendah. “Hafas tahu tentang lexus?”
Masya Allah… Ternyata si Hafas bisa bisa menuntun saya tentang spesifikasi mobil itu. Mobil yang di kampung si Hafas entah kapan bisa dimiliki oleh penduduknya.
Sebab negeri si Hafas adalah negeri di Naca. Negeri “ketelatan.” Di Tapaktuan yang Aceh Selatan.
Negeri yang plat mibilnya BL. Tapi si Hafas tahu plat mobil BK milik daerah mana, BB, B, D, E dan entah apalagi. Bahkan ia tahu mall hebat di Jakarta dan tahu siapa presiden Ukraina. Kalau hanya presiden Jokowi dan Joe Biden itu di luar kepalanya.
Walau pun hebat pengetahuan umumnya tapi si Hafas takut di vaksin. Ia punya alasan. Takut sakit. Deman dan puyeng usai di vaksin. Takut juga karena pengaruh hoaks. Usai di vaksin itu bisa meninggal.
Untuk itu, di suatu hari, si Hafas pernah di”kurung” ayahnya di rumah ketika ada vaksin massal di sekolahnya yang dihadiri bupati. Ayah si Hafas terpaksa merumahkan si Hafas karena bisa bikin malu dirinya kalau si anak menjerit kala di suntik.
Maklum, ayah si Hafas kan pejabat di kabupaten.
Walau pun semula ngotot tak mau vaksin si Hafas harus mengalah kala di ajak ke Medan oleh ayah dan ibunya. Ia harus mengalah untuk vaksin karena rindu ke mall bermain mandi bola dan naik kereta api toet…toet…
Selain nyinyir dan pinter si Hafas tumbuh sebagai anak yang memiliki supply and demand melihat realita kehidupan…
Supply and demand ini pasti semakin besar bersamaan dengan pertumbuhan si Hafas. Bacaannya kela pasti makin “dewasa” Makin variatif. Opininya juga bisa semakin kuat.
Sebagai anak pertama, dari dua anak Harwinta Hafas, sepertinya memang dapat turunan “penyakit penasaran.” Ia selalu ingin tahu. Tidak akan berhenti sampai dia benar-benar paham.
Ketika suka sesuatu ia terus mencarinya sampai ketemu. Walau pun hanya di gambar dan tulisan
Ketika senang mobil si Hafas minta diantar melihat apa saja isi dalamnya.
Antusiasme itu kelihatan jelas, kata ayahnya, saat ikut tur. Dia dengan semangat selalu ingin di depan. Paling depan untuk mendengarkan sebaik mungkin, dan bisa bertanya langsung.
Waktu ke mall begitu. Waktu tempat wisata juga begitu.
Kesukaan dia nonton YouTube juga punya keunikan. Bukan sekadar tontonan-tontonan “anak-anak.” Setiap hari dia mengikuti tayangan berita-berita Jadi dia lumayan update tentang situasi dunia.
Di tengah kesukaan yang sedang jadi fokus, dia selalu mencoba update tentang dunia amusement park alias taman hiburan.
Dia termasuk maniak semua yang ada di taman hiburan. Suka menonton dan nyaris hafal semua apa yang ada di dunia fantasi. Bahkan sampai tahu yang ini dibuat oleh siapa, di negara mana. Lalu desainernya siapa.
Dia punya bucket list. Kalau pandemi berakhir, dia ingin ke mana saja. Dia ikut menghitung kalau ke sini berapa, ke sana berapa, dan lain-lain.
Untuk Hafas yang nyinyir dan pinter ini perlu diberitahu pemahaman tentang hukum supply dan demand.
Harga akan naik salah satunya karena ada permintaan banyak, atau bahkan berlebih. Kenapa sesuatu menerapkan kenaikan dan penambahan biaya?
Karena yang mau membayarnya juga banyak, bahkan mungkin bertambah.
Sama dengan hiburan-hiburan rakyat pun harganya akan naik ketika ada banyak banyak yang ingin menikmati
Untuk ini juga butuh waktu untuk memproses dan memahaminya. Dan suatu saat kelak Hafas atau siapa pun anak-anak now mungkin akan berada dalam posisi ayah dan ibunya sekarang ini
Harus membuat keputusan-keputusan yang sama.
Saya yakin, Hafas sebagai anak sekarang akan banyak mencari informasi tentang realita ini. Dan itu akan membantunya berpikir lebih kritis, lebih logis, dan –semoga– lebih dewasa.