Menyalahkan itu mudah. Mengakui kesalahan itu betapa sulit. Karena manusia selalu merasa dirinya paling benar. Inilah penyakit yang sudah ada sejak dulu sampai kini.
Kita semua paham bahwa tak ada manusia yang sempurna dan luput dari kesalahan.
Meski begitu, mengakui kesalahan merupakan hal yang sulit dilakukan.
Hal ini membuat orang yang mau mengaku dianggap berjiwa besar. Chief lembaga Happiness Officer di The Happiness Institute Dr. Tim Sharp mencoba menjelaskan mengapa kesalahan yang kita buat sendiri tak mau kita akui.
Salah sama dengan tak berharga Bagi beberapa orang, mengakui kekeliruan bisa membangkitkan kecemasan secara psikologis karena dianggap sebagai kegagalan atau kekalahan.
“Alasan banyak orang sulit meminta maaf bukan karena mereka tidak suka salah. Namun, karena memandang sebuah pengakuan kekeliruan sebagai sebuah kegagalan,” kata Sharp.
Keinginan menjadi sempurna memengaruhi ego mereka dan mereka merasa sebuah kekeliruan adalah hal yang tak termaafkan.
“Kesulitan mengakui kegagalan datang dari ekspektasi berlebihan pada diri mereka bahwa mereka harus selalu benar,” katanya.
Tak mengaku salah membuat mereka tampak kuat Bagi beberapa orang, mengaku salah akan membuat mereka tampak lemah. Sharp menilai anggapan itu salah, karena seorang pemimpin yang baik justru mengakui kesalahan-kesalahan mereka.
“Ada sebuah riset menarik yang menunjukkan bahwa para pemimpin yang menunjukan kerentanannya dan tak takut keliru cenderung lebih dihormati,” ujarnya.
Menurutnya, sikap seperti itu bisa menginspirasi orang lain untuk berpikir bahwa orang tersebut bisa dipercaya dan dianggap lebih produktif dan lebih dekat dengan orang lain.
Sebab, tak ada manusia yang sempurna. Ketika ada orang yang mengatakan bahwa dirinya akan berusaha berbuat yang terbaik, tidak takut mengaku salah jika dirinya keliru dan mau memperbaiki dirinya, maka orang tersebut dianggap lebih terpercaya.
Tidak menghargai kebenaran Beberapa orang beranggapan mereka tak perlu menghargai kebenaran dan kejujuran.
Padahal, kata Sharp, tak semua orang memiliki nilai-nilai tersebut dalam jumlah yang sama.
Misalnya, dalam hal berdiskusi politik. Para pakar mengatakan bahwa mereka yang menelan propaganda berita bohong secara mentah-mentah mungkin saja tidak menghargai kebenaran.
Mereka cenderung tidak peduli.
“Hal itu karena mereka menghargai aspek lain yang lebih mereka rasakan,” kata Sharp.
Pendekatan seseorang terhadap situasi tersebut seringkali dapat mengungkapkan nilai mana yang lebih bisa memengaruhi mereka.
Apakah fakta atau perasaan. Menurutnya, orang-orang yang logis akan lebih mementingkan fakta, informasi dan data untuk kemudian mengambil keputusan.
Sementara lainnya mengambil keputusan berdasarkan emosi.
Masalahnya, ketika seseorang yang logis mencoba bicara pada orang yang emosional dengan menekankan nilai-nilai logis, mereka sama seperti bicara dengan bahasa yang berbeda. “Inilah mengapa dua sisi seringkali sulit berkomunikasi atau menemukan kesamaan,” katanya.