Laman situs kesehatan dunia terkenal,”menshealt,” hari ini, Rabu, 17 Mei, memberitahukan kepada mereka yang terkena “penyakit” stress untuk mengingat kembali pengalaman yang menyenangkan.
“Pengalaman yang menyenangkan adalah obat stress nomor satu,” tulis “menshealth.”
Ya, saran itu memang sederhana, namun menurut ilmu pengetahuan, anjuran itu ternyata ada benarnya.
Penelitian terbaru dari Rutgers University menemukan bahwa mengenang peristiwa-peristiwa yang menyenangkan bisa mengurangi respon tubuh terhadap stres.
Kesimpulan yang dipublikasikan di Nature Human Behavior ini diperoleh setelah peneliti Mauricio Delgado dan Megan Speer memberi ujian yang membuat seratusan relawan tertekan dengan memasukkan tangan ke air yang sangat dingin.
Sebagian orang diminta memikirkan peristiwa gembira yang pernah mereka alami seperti berlibur bersama keluarganya, sedangkan yang lain diminta memikirkan pengalaman biasa seperti berangkat kerja atau menunggu kereta.
Kelompok yang diminta mengingat pengalaman gembira ternyata merasa lebih baik dan hormon kortisol yang mempengaruhi stres di tubuhnya hanya lima belas persen dibanding mereka yang memikirkan kejadian-kejadian biasa.
Para peneliti kemudian melakukan percobaan yang serupa namun sekaligus memindai otak para relawan menggunakan fMRI.
Mereka yang memikirkan pengalaman bahagia mengalami peningkatan aktivitas di bagian otak yang berkaitan dengan pengaturan emosi dan kesadaran.
“Penemuan ini membuktikan bahwa mengingat kembali atau memikirkan peristiwa gembira bisa mengurangi stres,” ujar Delgado.
“Kita jadi tahu bahwa berpikir positif dan gembira memberi dampak yang baik dan bukan sekedar ucapan klise belaka.”
Selain pengalaman yang menyenangkan, kecerdasan emosional juga menjadi “obat” dari tekanan atau stress.
Orang yang sering menghadapi stres namun terlihat damai, mungkin saja karena ia memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Pasalnya, kecerdasan inilah yang dibutuhkan bagi penduduk urban yang tingkat stresnya tinggi.
Tingkat penerimaan setiap orang terhadap stres berbeda-beda, ini sangat dipengaruhi oleh kecerdasan emosionalnya.
Orang yang punya kecerdasan emosional cenderung akan lebih fleksibel dengan setiap kondisi yang dihadapinya.
Ada banyak komponen kecerdasan emosional, antara lain memahami emosi yang dialaminya dan mencari cara meluapkannya.
Mereka juga lebih mudah berempati pada orang lain. Jadi tidak terlalu perfeksionis. Orang yang perfeksionis itu tuntutan terhadap dirinya juga tinggi sehingga gampang stres.
Kecerdasan emosional bisa dilatih sejak kecil.
Karena kecerdasan ini belum masuk dalam kurikulum sekolah, seharusnya orangtua mulai mengajarkannya pada anak-anak sedini mungkin.
Ajarkan dulu hal-hal sederhana seperti empati, jujur, mau berbagi, dan saling membantu
Sementara pada orang dewasa, dibutuhkan kemauan dan motivasi diri untuk berubah.
Mempelajari manajemen stres kepada psikolog juga membantu mengurangi stres jika efek stres dirasa sudah sangat mengganggu.
Sebuah studi terbaru lainnya mengungkapkan wanita jauh lebih mudah mengalami stress dibanding dengan pria.
American Psychological Association, menyebutkan, sepertiga pekerja mengalami stres kronis terkait dengan pekerjaan mereka.
Namun, studi mengungkapkan stres kerja lebih rentan terjadi pada karyawan wanita. Mengapa?
Survei, yang dilakukan padaseribuan responden karyawan tetap menunjukkan bahwa kecil kemungkinan bagi wanita untuk meningkatkan pencapaian karier mereka.
Pasalnya, kebanyakan wanita masih merasa kurang diapresiasi oleh perusahaan. Selain itu, penghasilan yang diberikan pada karyawan wanita masih ada yang tidak sejajar dengan karyawan pria.
Kemudian, kondisi kantor yang tidak kondusif membuat wanita juga kerap mengalami ketegangan di tempat kerja, sedangkan pria tidak benar-benar mengalami masalah ini dalam skala besar.
Hasil studi ini juga mengungkapkan bahwa banyak karyawan pria yang merasa cemburu dengan fasilitas cuti hamil yang eksklusif untuk karyawan wanita.
Studi menegaskan, karyawan wanita mengalami stres lebih berat saat mereka sedang bekerja dibandingkan para pria.
Alasannya, banyak karyawan wanita memiliki perasaan was-was bahwa posisi yang ditinggalkan karena cuti melahirkan akan digantikan orang lain.
Stres utama, menurut peneliti, berasal dari mengetahui bahwa rekan kerja pria dibayar lebih tinggi daripada kita.