Hindarilah perceraian, rilis sebuah jurnal dari studi terbaru yang dipimpin dokter David Sbarra dari Universitas Arizona di Amerika Serikat. Ia mengatakan, dampak langsung dari perceraian, di awalnya, adalah masalah tidur.
Dampak itu, menurutnya, merupakan bagian dari proses penyesuaian diri ketika terjadi masalah dengan perceraian
Perceraian, seperti dikutip dari hasil penelitian itu oleh “daily Mail,” adalah hal yang paling dihindari setiap pasangan suami istri.
Retaknya perkawinan ini ternyata juga dapat berdampak buruk bagi kesehatan.
Berdasarkan penelitian, kurang tidur selama lebih dari sepuluh minggu setelah perceraian dapat meningkatkan tekanan darah.
Dampak buruknya bagi kesehatan juga bisa membuat depresi.
Dokter David Sbarra dari Universitas Arizona di Amerika Serikat mengatakan, wajar saja jika terjadi masalah tidur terjadi pada awal bulan setelah perceraian. Ini merupakan bagian dari proses penyesuaikan diri ketika terjadi masalah.
Namun, jika mengalami kesulitan tidur dalam jangka panjang, Anda mungkin termasuk orang yang mudah merasa tertekan. Masalah kesehatan pun mengintai Anda kemudian hari.
Penelitian ini melibatkan ratusan orang yang telah pisah ranjang maupun bercerai dari pasangannya. Dilaporkan kualitas tidur mereka diteliti secara berkala. Saat mengunjungi laboratorium penelitian, peserta juga selalu diukur tekanan darahnya.
Hasilnya, para peserta mengalami peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik karena masalah tidur.
“Kami melihat perubahan tekanan darah yang berkaitan dengan masalah tidur tiga bulan sebelumnya,” ujar Sbarra.
Menurut peneliti, jika sulit tidur terjadi secara terus menerus lebih dari 10 minggu, efeknya pada kesehatan pun lebih buruk. Untuk itu, gangguan tidur tidak bisa dianggap remeh.
Penulis utama studi ini, Kendra Krietsh menyarankan orang-orang yang mengalami kesulitan tidur dalam jangka panjang setelah bercerai sebaiknya mencari terapi perilaku kognitif. Mereka juga harus melakukan penyesuaian jadwal sehari-hari untuk mendapat cukup tidur dan mencari cara untuk bisa lebih rileks.
“Jika seseorang akan mengalami perceraian dan tidak bisa tidur, mereka benar perlu mendapatkan bantuan. Jika tidak akan menimbulkan masalah,” ujar Krietsh.
Temuan ini pun mendukung penelitian sebelumnya tentang efek negatif perceraian bagi kesehatan dan hidup manusia.
Sebuah penelitian yang pernah dipublikasikan tahun 2013 juga menemukan pasangan yang mengalami perceraian usia hidupnya tidak panjang, rentan melakukan penyalahgunaan zat, depresi dan kurang mendapat dukungan sosial.
Peneliti Amerika mengatakan bahwa pria yang bercerai dan single memiliki tingkat bunuh diri empat puluh persen lebih tinggi daripada rekan-rekan mereka yang sudah menikah.
Perceraian tentu saja tak hanya berefek buruk bagi kesehatan mental dan emosi, tapi juga fisik seseorang. Kondisi ini tidak cuma rentan dialami wanita, tapi juga pria.
Sebuah riset di Amerika mengatakan, pria yang hidup single atau mengalami perceraian, berpeluang tiga puluh sembilan persen lebih tinggi mengalami kematian dini.
Angka ini dibandingkan dengan pria yang ada dalam ikatan pernikahan.
Kondisi ini mungkin disebabkan pria yang hidup single lebih berpeluang menjalankan gaya hidup atau perilaku seks berisiko. Perilaku ini lambat laun mengancam kesehatan fisik dan mentalnya.
Sebuah studi kasus oleh Dr. Daniel Felix dari University of Nebraska dan dimuat dalam Journal of Men’s Health mengungkapkan pentingnya para dokter untuk mengenali problem kesehatan kaum pria yang dipicu oleh perceraian.
Riset ini merupakan kajian terhadap kasus yang dialami seorang responden pria berkulit putih usia 45 tahun yang bertahan dari perceraian.
Setelah perceraian, pria ini mengunjungi dokter keluarga setelah sepuluh tahun tidak memeriksakan diri. Ia datang dengan keluhan pola tidur buruk, dan masalah perut yang tidak kunjung tuntas.
Pria ini juga melaporkan keranjingan minum bir dan mulai membenci pekerjaannya. Sebagai karyawan level menengah di sebuah bank lokal, pria ini mulai terganggu dengan atasan dan teman-temannya.
Sehubungan dengan perceraian yang dialami, pria ini juga melaporkan keterbatasan akses yang dialami dalam menemui anak-anaknya. Padahal, ia sangat membutuhkan dukungan anak-anaknya. Pria ini juga mengeluhkan mantan istrinya yang seolah menjauhkan ia dari semua teman-teman yang dimiliki saat masih menjadi pasangan.
Peneliti melaporkan, kondisi fisik pria ini tampak biasa saja meski pun ia mengalami sedikit pembengkakan pada liver dan tubuhnya yang kegemukan. Namun sebaliknya, peneliti mengaitkan kondisi penyakit yang dialami pria ini dengan gejala depresi yang berlanjut dengan kecemasan dan stres akibat perceraian.
Peneliti menyarankan para dokter untuk melakukan pengobatan pada gejala-gejala psikologis akibat perceraian, dan bukannya merekomendasikan perbaikan nutrisi, olahraga, dan pola tidur.
Para pria korban perceraian juga wajib mengikuti program terapi kecanduan alkohol dan zat terlarang. Selain itu, mereka juga harus mendapat rujukan dari tenaga medis untuk berobat para konselor, profesional kesehatan jiwa, atau kelompok dukungan perceraian.