Menjelang zuhur Sabtu kemarin saya kembali menyapa si Zimi.
Menyapa ulang. Setelah tiga hari sebelumnya ber”hello” ria di hape pinjaman si Indra anak Kualo Busuk, Kadai Pauh. Kampuang Jaruju.
“Hello” ria dengan si Zimi ini datangnya datang dari petunjuk “langit.” Petunjuk “langit” yang sering kita ucapkan dengan kata “kebetulan.”
Kan dikalangan tasawuf tak ada kata “kebetulan” Di tasawuf kata “kebetulan” dipersonafikasikan sebagai kesombongan. Kesombongan insani terhadap dirinya
Dunsanak jangan manuduh ambo sok sufi. Ndak lah. Ambo hanya mengingatkan semua kejadian itu adalah “jalan Tuhan.”
Jalan Tuhan juga yang menghubungkan saya dengan si Zimi. Si Zimi yang berakte kelahiran Azmi.
Anak…
Maaf yo Mi. Sebab tak banyak yang tahu ayah dunsanak banamo Zakaria.
Ingek Mi ada adat pituah di nagari kito, “ketek banamo gadang bagala.” Dan Zakaria itu bagala dengan sapaan Ustaz Kacang.
Ustaz Kacang pemilik Toko Dahlia. Ustaz Kacang ayah Zairul. Mintuo Azhari. Dan ayah si Dara, si Upiak yang selalu kami tambah namanya dengan anak Ustaz Kacang.
Mi jangan ibo hati ang yo. Kalau hanyo ayah Anda bagala si Kacang itu masih bisa ditarimo dengan hati lapang. Ba a pulo dengan banyak dusanak lain yang ayahnya disapa dengan si Kucing, Rimau, Singa, Kudo, Musang ….
Antah lah Mi.
Semua itu adalah piasan Taluak.
Taluak yang punya nama lain. Tapaktuan dan Kota Naga
Kembali ke hari saya ber”hello” dengan si Zimi.
Seperti biasa hari saya hanya menyapa si In yang urang kampuang Hilia memanggul si Buyung. Sapa biasa. Sapa menanyakan banyak dunsanak di Banda Aceh. sembari nyinyir dengan ba a kaba dari Taluak.
Disaat sapa saya meuhambo si Indra bergegas memotongnya dengan kalimat pendek. “Bang ado dusanak kito di samping mbo.” Si In menyerahkan hapenya kepada dunsanak itu.
Saya gelagapan ingin cepat tahu siapa yang di samping si Indra. Ia menarik tabir dengan berkata. “Sia yang Darman tahu di Yogya.”
Tutur jamee agak tergagap. Aksen taluaknya sudah bakuah dengan kesantunan nagari sulthan. Aksen kaki lima Malioboro.
Pertanyaan itu saya tampa dengan sekali sergap. Si Zimi. Tampa yang kemudian pudar lagi lewat pengulangan panggilan akibat kepercayaan diri saya bergoyang.
Bergoyang karena berpuluh tahun jarak antara saya dengan si Zimi.
Entahlah. Mungkin sudah lima puluh tahun lebih. Sejak kami dipisahkan oleh parasaian. Parasaian rantau.
Untuk jarak yang panjang ini saya kembali bergumam. Bergumam karena si Zimi mengatakan ia akan pulang ke Taluak. Pulang taziah. Pulang ziarah.
Takziah dan ziarah semuanya.
Ziarah yang bukan sebagai “peziarah” Ziarah “epik” ke Taluak yang muatan “legenda”nya melingkup latar sejarah
Tapaktuan, bukan hanya teluk yo Mi.
Kitaran bukit dan lembah sempit menjejerkan pemukiman di sepanjang telapaknya.
Taluak adalah perpaduan mosaik keindahan yang dipahatkan Sang Pencipta lewat perpaduan bukit-bukit yang membentuk tanjung dan menusuk bak busur panah ke tubir laut laut.
Tanjung ini pula yang memeluk Tapaktuan dengan membentangkan pantai karangnya berhamparan pasir yang menakjubkan.
Tapaktuan, kalau kita mau jujur, kota ini secara postur mirip Sabang di Weh sana, atau Jayapura di Papua, tapi berpanorama “surga.”
Taluak , ya Tapaktuan sebuah kota berpagar bukit, berlembah sempit serta dibatasi garis laut yang membentuk teluk bak belanga besar dari ujung Gunung Raban di timurnya hingga ke Gunung Lampu di ceruk baratnya.
Di kedua ujung atau tanjung ini, di pagi hari kita bisa menyaksikan jejak matahari timur yang merangkak naik dan kalau di ujung senja aka nada “sunside” yang menamparkan cahaya emasnya di riak laut
Dan di ufuknya bermetamorfosa warna kuning, jingga dan kelabu hingga sang surya tenggelam.
Saya selalu menggoda banyak orang untuk takziah ke sana.
Keberadaan pusat kotanya di antara dua telapak gunung yang menusuk laut.
Disitulah Tapaktuan “mini” berada yang terjepit di antara dua “ujong” gunung yang membentuk teluk dan ditandai dengan sebuah cerocok kayu, yang kini sudah dipermak menjadi dermaga.
Cerocok yang dulunya berlantai papan “tin” bertonggak besi dengan kolom bersilang diselangkangnya.
Tapaktuan “mini” ini memanjang menyusur lekuk laut dan membanjarkan pertokoan, perkampungan dan jalan-jalan yang membelah pemukiman di sejumput tanah sempit .
Yang menjadi tempat berhimpitannya semua fasilitas sebuah kota pusat pemerintahan kabupaten.
Tapaktuan memang mini yo Mi.
Tak ada restoran yang memiliki menu “breakfast” atau “launch.” Tapi jangan tanya tentang kulinernya yang “nyam..nyam.. bak rasa maknyuss…
Mi, di Taluak masih ada mie abuih Mak Ali di Desa Genting. Mie yang nikmatnya mencecah lidah. Mie abuih yang tidak berformalin dan non penyedap, tapi disiram kuah ayam “cincang” dan di makan dengan cabe rawit.
Tapi tak ada lagi es kacang si Ciu ayah si Apok. Ia sudah bersalin rasa ke es kacang si Awon bersama lontong pecal
Juga telah lama raib gado-gado Gaseh Umat anduang Gaboyo.
Dan nggak ada juga cendol di Taluak Maimbau dan cendol Kusami yang dulu kita hirup sirupnya berbau pandan dengan campuran “tapai” yang aroma ketan hitamnya menampar langit-langit.
Taluak memang bukan sebuah kota untuk taziah panjang Mi. Taluak adalah sebuah kota nostalgia kita untuk “cuci” hati
Kota yang kau lintasi Mi. Untuk kemudian ditinggal pergi yang kemudiannya meninggalkan sengkarut rindu di sudut memori
Sulit untuk dilupakan yo Mi