Dendam dan permusuhan antara tentara dengan Ikhwanul Muslimin belum juga padam di Mesir. Minggu, 06 Oktober 2013, malam waktu Kairo, api dendam itu kembali membakar lewat aksi kerusuhan berdarah yang menyebabkan 50 orang tewas.
Kota Kairo kembali menjadi “ladang pembantaian” ketika tentara dengan brutal menembak para demonstran atas nama keamanan. Mereka tak peduli dengan aksi damai para demonstran yang menuntut diakhirinya
pemerintahan otoriter dan mengembalikannya ke demokrasi dengan mendudukkan Mohamad Morsi sebagai Presiden.
Kerusuhan berdarah yang dimotori Ikhwanul Muslimin mendapat hadangan dari tentara yang sedang merayakan kejayaan militer untuk memperingati 40 tahun Perang Yom Kippur.
Setidaknya 50 orang tewas dalam bentrokan. Petugas menangkap sekira 200 pendukung Ikhwanul Muslimin untuk mengendalikan situasi.
Kerusuhan dimulai ketika warga bekumpul di Lapangan Tahrir untuk mengikuti perayaan 40 tahun Perang Yom Kippur. Perayaan diikuti baik warga pendukung militer maupun pendukung Ikhwanul Muslimin.
Kondisi memanas ketika pendukung Ikhwanul Muslimin menyebut pemimpin militer Mesir, Jenderal Abdel Fatah al Sisi, sebagai pembunuh berdarah dingin. Aksi mereka langsung direspons dengan kekerasan.
“Para demonstran diserang polisi, tentara dan warga yang mendukung mereka. Padahal para demonstran tidak memulai kekerasan,” ujar seorang fotografer, Mosa’ab Elshamy, seperti dikutip Guardian, Senin, 07 Oktober 2013.
Jenderal Sisi dianggap sebagai dalang atas pembantaian ratusan pendukung Ikhwanul Muslimin pada Agustus. Dia menjadi tokoh paling penting di Mesir setelah mengudeta Presiden Mohamed Morsi.
Kondisi Ikhwanul Muslimin memang makin terjepit di Mesir. Pengadilan Mesir telah mengeluarkan perintah untuk membekukan aset dan melarang aktivitas organisasi tersebut.