Panca.
Panca Kubu.
Lima puluh satu tahun nama gampong itu melayang dari memori saya. Melayang usai takziah pertama dan terakhir saya sebagai seorang jurnalis di sebuah surat kabar regional.
Bukan lokal.
Gampong di kemukiman Biram, kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar
Dan gampong yang saya tulis waktu itu dalam gaya reportase yang bervisi repertoar.
Tulisan bak sebuah orkestra. Menyatukan suara tambur, cello, guitar akuistik maupun biola serta seruling yang dipandu oleh seorang derigen.
Tulisan reportase yang bernarasi. Saya tulis usai bertakziah ke Panca Kubu dengan anak aristokratnya yang berlevel tinggi., Bachtiar Panglima Polem SH.
Bachtiar yang anak Teuku Ali dan cucu Panglima Polem, sang pahlawan, yang namanya diabadikan di sebuah nama jalan prestise Jakarta.
Tulisan yang menyatukan kesunyian hutan, jalan berlumpur, anak kampung bertelanjang dada dan petani tua dengan jalan terseok menyandang cangkul di pundaknya
Ada juga rumah papan lapuk yang doyong dengan mak-mak berkutang butut sedang mengaduk kuah pliek di belanga tanah di dapur beratap rumbia.
Wuih… Itu kata yang terciut kala saya mengulik memori dan mengembalikannya ke sebuah kenangan.
Kenangan tentang pesona keindahan gampong di kaki Seulawah yang asri itu .
Gampong yang tak bermuslihat mengecoh tentang potret keindahan yang ia miliki.
Masya Allah indah negeri kemiskinan itu.
Negeri yang dijalani penduduk dengan keikhlasan paripurna. Potret yang jauh dari keringkihan.
Panca Kubu memang sebuah gampong orkestrasi.
Dulu dan kini.
Ketika saya besilancar kembali lewat media sosial dan menemukan banyak hingar bingar tentang eksistensinya.
Hingar bingar tentang keterpilihan seorang gadis pemberani yang memilih kembali ke desanya sembari membawa jargon yang pernah ditulis Bung Karno pada sebuah pahatan batu di kampus ternama negeri ini.
“Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata…..” dan “Panca Kubu menuju pelaksanaan cita-cita.”
Saya sengaja memberi titik titik pada bagian tengah tulisan di atas karena tak ingin mengusik sejarah kelahirannya dan mempelesetkan dua kata yang Anda sudah tahu.
Selain hingar bingar sang gadis cantik beruniform putih itu masih ada sisa keriuhan berita tentang sebuah jembatan putus….karena amblasnya sebuah janji anggaran untuk menyambungnya.
Janji anggaran dua gubernur yang datang untuk mencari publisitas.
Publisitas media agar bisa mengendapkan retorikanya tentang kemiskinan.
“Ancuak.”
Itu teriak jijik saya tentang gaya bicara sang pejabat untuk sebuah janji yang belum ada ujungnya.
Janji dari ketidak peduliannya terhadap nasib anak-anak balita yang dipanggul ayahnya untuk menyebarang arus deras sungai pulang pergi sekadar bisa meraih ijazah sekolah dasar.
Sekolah yang hanya bisa berakhir dengan taklimat berhitung lancar dan membaca tidak mengeja, seperti dikatakan si Ainun murid kelas lima Panca Kubu.
Atau seperti kata pak Abdullah, lima puluh tahun, tentang Panca Kubu yang ditinggalkan oleh janji yang tinggal janji.
Janji untuk “merdeka.” Janji untuk menjadi negeri terbuka yang berpijak di bumi. Bukan negeri di naca yang ada di awang-awang.
Janji seperti yang diikrarkan Mayasari, gadis cantik dua puluh tujuh tahun, usai dilantik sebagai keuchik gampong Panca Kubu, Gadis anak ketiga Basri dan Faridun.
Gadis anak petani yang memenangkan pilchiksung di Oktober lalu dengan raihan lima puluh tujuh suara dibanding lawannya tiga puluh tujuh suara
Mayasari mengaku niatnya maju sebagai keuchik untuk membangun gampongnya lebih maju, makmur, dan indah. Seindah jenjang pendidikannya di universitas iskandarmuda dan mengantongi ijazah sarjana perbankan.
Seindah ia melewati jenjang pendidikan sekolah dasar di lambirah. Sekolah lanjutan pertama dan atas di sibreh.
Janji memanfaatkan potensi alam yang ada,di desa bertanah subur itu. Jani lebih fokus memajukan pendidikan juga masih sangat tertinggal. Misalnya melalui les tambahan sore hari.
Juga janji menggunakan dana desa untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Janji tentang uang satu milyar setiap tahun anggaran. Janji untuk mengakhiri anak-anak tidak lagi menyeberangi sungai untuk pergi dan pulang bersekolah.
Janji ketika ada warga yang sakit juga harus diseberangkan
Dan janji yang harus kau nyatakan Maya untuk tidak ikut-ikutan membancak dana desa yang amat menggoda. Dana jang jumlahnya untuk provinsi ini enam triliun empat ratus sembilan puluh tujuh milyar rupiah setahunnya.
Dana yang duitnya bergoni-goni. Dana yang tak mampu mengangkat kemiskinan akut. Dana yang berkutat membangun infrastruktur desa untuk mendapatkan fee yang kemudiannya memborgol para keuchiknya ke rumah prodeo.
Apakah engkau akan menjalani ritual serupa Maya?
Saya yakin kamu tidak tergoda untuk membancah duit milik ayah, ibu, adik dan saudaramu itu. Masih ada jalan panjang yang terentang untuk menjadi manusia elegant Maya.
Manusia paripurna yang mudah untuk diucapkan tapi gampang bikin terpeleset