Jangan percaya dengan rokok nikotin rendah. Paling tidak itu yang diserukan oleh “Daily Mail,” dalam rubrik kesehatan terbarunya tentang “kenikmatan” yang ditawarkan produsen rokok tentang “tidak berbahayanya” mengisap rokok dengan kadar nikotin rendah.
“Daily Mail,” surat kabar Inggris terkenal itu, dalam tulisan ekslusifnya Senin, 25 Agustus 2014, merilis sebuah penelitian tentang rokok dengan nikotin yang rendah, dan disebutkan membuat frekuensi merokok lebih sering karena perokok berusaha mencapai tingkat ‘kenikmatan’ yang sama dari rokok biasa.
Padahal, hal itu sama saja dengan meningkatkan tingginya jumlah racun yang masuk ke tubuh perokok.
Rilis penelitian yang dimuat “Daily Mail,” mengutip sudi sebelumnya memang menemukan kaitan antara rokok rendah nikotin dengan peningkatan frekuensi merokok.
Studi terbaru yang dilakukan oleh tim dari Universitas Waterloo, Kanada, meneliti tujuh puluh dua perokok. Para perokok ini disurvei tentang kebiasaan merokoknya. Lalu mereka diperbolehkan merokok dengan rokok yang biasa mereka hisap selama seminggu.
Pada tiga minggu berikutnya, kadar nikotin dalam rokok mereka diturunkan secara bertahap. Selama dua minggu kadar nikotin rokok dikurangi. Kemudian di minggu keempat, kadar nikotinnya hanya tinggal sedikit sekali. Kadar ini sangat rendah bila dibanding dengan rokok biasa yang level nikotinnya berbahaya.
Peneliti menemukan bahwa tujuh puluh dua perokok tersebut tidak menambah jumlah rokok yang dihisapnya selama empat minggu itu.
“Studi kami menemukan sedikit sekali bukti bahwa rokok rendah nikotin menambah intensitas merokok. Tidak ada perbedaan signifikan,” kata peneliti.
David Hammond, salah satu tim peneliti, mengatakan bahwa hasil penelitian ini bisa jadi bukti bahwa tak ada alasan bagi pembuat kebijakan untuk takut mengurangi kadar nikotin sebanyak mungkin dalam rokok.
Nikotin, zat adiktif dalam rokok, diketahui bisa meningkatkan risiko penyakit jantung. Karena itu belakangan ini semakin banyak produsen rokok yang memproduksi rokok dengan kadar nikotin rendah. Tetapi, rokok rendah nikotin ini ditakutkan justru membuat orang merokok lebih sering.
Sementara itu penelitian lainnya dari Selandia Baru menemukan, nikotin memang bukan satu-satunya penyebab adiksi dari rokok. Percobaan pada tikus membuktikan hasil temuan ini.
Penelope Truman, salah satu peneliti dari Institute of Environmental Science and Research, mengatakan, studi ini menunjukkan bahwa tikus lebih tertarik untuk mengonsumsi tembakau tanpa nikotin dibandingkan dengan tembakau dari rokok buatan pabrik pada umumnya yang mengandung nikotin.
Truman bersama peneliti lain dari Victoria University mengukur bagaimana tikus mau menekan tuas untuk sejumlah garam yang sudah dicampur dengan tembakau tanpa dan dengan nikotin. Hasilnya, tikus lebih tertarik untuk menekan tuas tanpa nikotin.
Hal ini membuat para peneliti berpendapat, ada substansi di luar nikotin yang membuat tikus ketagihan mengonsumsi tembakau.
“Komponen non-nikotin berperan dalam adiksi tembakau. Bahkan mungkin beberapa produk tembakau dapat disalahgunakan lebih parah, terlepas dari kadar nikotinnya,” ujar Truman.
Senyawa kimia lainnya dalam tembakau, imbuh dia, membuat lebih sulit untuk lepas dari adiksi tembakau. Hal ini bisa menjadi bukti bahwa senyawa tersebut bahkan lebih adiktif daripada nikotin itu sendiri.
Sementara itu, Direktur Auckland Univerity’s National Institute of Health Innovation, Chris Bullen, berpendapat, keberadaan senyawa selain nikotin mungkin dapat meningkatkan adiksi terhadap tembakau. Namun, bukan berarti tanpa nikotin, konsumsi tembakau bisa membuat ketagihan.
Hal ini dapat menjelaskan kenapa terapi penggantian nikotin bisa tidak seefektif yang diduga. Contohnya, sebuah studi pernah menyimpulkan, hasil terapi penggantian nikotin untuk menghentikan merokok tidak berbeda signifikan dengan hasil terapi berhenti merokok lainnya.
Para peneliti menyimpulkan, studi baru tersebut mungkin dapat menjadi dasar perbaikan efisiensi terapi berhenti merokok.
sumber : www.medicaldaily.com dan daily mail co.uk