Laman media “the independent,” hari ini, Sabtu 23 September mengingatkan tentang bahaya kegemukan dikaitkan dengan peluang memiliki anak.
Menurut sebuah studi terbaru seperti dimuat laman media terkenal Inggris itu, kesehatan pria bisa memiliki efek luar biasa pada peluang satu pasangan memiliki keturunan, teori yang berbeda dari pemikiran sebelumnya.
Para peneliti menemukan bahwa obesitas atau kegemukan bisa memengaruhi secara buruk kualitas sperma.
Laporan penelitian yang dipublikasikan di jurnal Andologia, merupakan penelitian pertama yang meneliti parameter sperma abnormal pada pria obesitas.
Penelitian ini didasarkan pada analisis sperma yang dibantu komputer, dan temuannya menyatakan bahwa ahli klinis harus mempertimbangkan faktor obesitas paternal sebelum memberikan panduan reproduksi.
Untuk mendapatkan kesimpulan ini, para peneliti melakukan pengamatan pada seribuan pria.
Mereka menemukan bahwa obesitas terkait dengan volume sperma, jumlah, konsentrasi, dan motilitas yang lebih rendah, begitu juga jumlah sperma cacat yang lebih besar.
“Kesehatan dan kinerja reproduksi spermatozoa pada pria obesitas kemungkinan besar membahayakan baik secara kualitatif dan kuantitatif,” ujar Dr. Gottumukkala Ramaraju, pemimpin penelitian.
Ramaraju melanjutkan, hasil dari data yang didapatkannya menganjurkan bahwa upaya yang memfokuskan pada penurunan berat badan sebelum konsepsi diwajibkan pada pasangan yang menjalani program fertilisasi.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa berat badan yang sangat berlebih bisa sangat memengaruhi kesuburan wanita karena dapat mengganggu keseimbangan hormon yang memengaruhi ovulasi dan fertilisasi.
Terlebih, wanita kelebihan berat badan memiliki insiden yang tinggi disfungsi menstruasi dan anovulasi
Jadi, jika Anda dan pasangan ingin segera memiliki anak, pertimbangkan mengurangi makanan kalori tinggi.
Memang, secara menyeluruh, jumlah sperma yang diproduksi pria saat ini disinyalir semakin menurun.
Dan tidak tidak tanggung-tanggung, penurunannya hingga 5lima puluh dua Kondisi ini dipicu oleh perpaduan gaya hidup buruk dan faktor lingkungan.
Seperti juga ditulis laman Medical Daily, sejak tahun empat puluh tahun silam hingga enam tahun lalu, jumlah kadar sperma di dalam tubuh pria di berbagai negara semakin berkurang. Secara spesifik, sebuah studi terbaru menemukan kekurangannya untuk jumlah total sperma pria di Amerika Utara, Eropa, Australia dan Selandia Baru
Para peneliti memperkirakan, kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor. Perubahan pada jumlah sperma serta masalah kesuburan pria diyakini karena adanya paparan bahan kimia dari lingkungan.
Ditambah, buruknya pola makan dan gaya hidup membuat jumlah sperma semakin menurun tiap tahunnya.
Paparan bahan kimia, biasanya hadir dari produk rumah tangga dengan kandungan bernama endocrine disruptor.
Menurut National Institutes of Health, kandungan bahan kimia itu berkaitan dengan sistem hormon dan menurunkan kesuburan pada pria maupun wanita.
Beberapa bahan kimia yang mengandung endocrine disruptor mencakup botol plastik, detergen, beberapa kosmetik dan beberapa makanan.
Selain itu, gaya hidup yang cenderung buruk membuat hormon kesuburan semakin menurun.
“Jika kita tidak mengubah cara kita hidup dan lingkungan sekitar serta bahan kimia yang terpapar di sekitar kita, kekhawatiran mengenai kondisi ini akan semakin meningkat di masa depan,” ujar dr. Hagai Levine, salah satu peneliti.
Peneliti mengumumkan temuan yang cukup mengkhawatirkan atas masa depan eksistensi manusia.
Dalam analisisnya pada hampir dua ratus studi soal sperma peneliti menemukan jumlah sperma dari pria telah menurun setengah dalam kurun kurang dari emp[at puluh tahun.
Dalam analisisnya, dikutip dari BBC, peneliti dalam studi itu mengindikasikan, adanya tingkat penurunan kualitas hidup para kaum adam di ketiga area tersebut, bahkan tren itu bakal terus berlanjut dan malah makin meningkat jumlahnya.
Temuan ini membuat peneliti khawatir, manusia bakal menghadapi kepunahan.
Untungnya, tren penurunan jumlah sperma itu tak melanda kaum adam di belahan dunia lain. Studi menyebutkan, tidak ada penurunan jumlah sperma yang signifikan di Amerika Selatan, Asia dan Afrika.
Tapi peneliti menekankan, pada ketiga daerah terakhir itu belum banyak data riset yang diambilnya. Dengan demikian, ada kemungkinan Amerika Selatan, Asia dan Afrika juga dilanda penurunan jumlah sperma.
Pemimpin studi tersebut, Hagai Levine sangat khawatir tentang kemungkinan dampak buruk manusia di depan, yakni kepunahan manusia.
“Jika kita tak melakukan perubahan cara hidup dan bagaimana kita terpapar lingkungan dan kimia, saya sangat khawatir apa yang akan terjadi di masa depan, yakni punahnya spesies manusia,” ujar Levine, yang merupakan ahli epidemiologi.
Peneliti lain di luar studi itu, Allan Pacey mengakui dia tak sepenuhnya yakin dengan hasil kesimpulan studi itu. Tapi peneliti dari Universitas Sheffield, Inggris menghargai upaya riset tersebut.
Menurut Pacey, penurunan jumlah sperma bisa saja terkait dengan gaya hidup misalnya bahan kimia dalam pestisida dan plastik, obesitas, merokok, stres, diet dan menonton televisi terlalu banyak.
Studi peneliti ini menguatkan temuan studi sebelumnya yang mengindikasikan temuan penurunan jumlah sperma di beberapa negara berkembang.
Temuan dalam studi itu memang direspons beragam. Ada sekelompok yang skeptis dengan temuan itu dan menilai studi masih prematur untuk menyimpulkan dampak di masa depan.
Kemudian para skeptis menyoroti soal proporsi data dalam riset itu yang tergolong ‘cacat’, misalnya jumlah sampel pria yang kecil, hanya pria yang mendatangi klinik kesuburan saja yang masuk dalam data.
Belum lagi soal metode perhitungan jumlah sperma yang diduga telah dilebih-lebihkan dari jumlah yang sebenarnya. Dengan data yang ‘cacat’ itu maka wajar kesimpulannya jumlah sperma menurun.