Keluhan penyakit yang kita rasakan tak selalu merupakan penyakit itu sendiri.
Seringkali obat-obatan yang diminum hanya menghilangkan gejalanya saja tapi akar penyakitnya tak ditemukan.
Belakangan paradigma “satu obat untuk semua” atau “satu obat untuk satu gejala” mulai ditinggalkan karena dianggap kurang efektif.
Banyak pasien tak menerima manfaat dari obat yang dikonsumsi, bahkan mengalami efek samping padahal penyakitnya tidak sembuh.
Pendekatan baru dalam dunia kedokteran adalah personalisasi perawatan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah kedokteran fungsional (functional medicine).
Menurut penjelasan Dr.Worawit Kitisakronnakorn, direktur Being Better Hospital , rumah sakit kedokteran fungsional pertama di Thailand, kedokteran fungsional lebih menitikberatkan pada mencari akar masalah suatu penyakit agar kesehatan dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
“Kedokteran fungsional bertujuan untuk mencari penyakit tersembunyi atau akarnya, dan menyembuhkannya. Ini akan menjadi model pengobatan untuk penyakit kronik di masa depan,” kata Worawit
Kedokteran fungsional melihat tubuh sebagai satu kesatuan, bukan organ yang berfungsi sendiri-sendiri.
Ia menjelaskan, seringkali pencetus sebuah penyakit kronik seperti diabetes, kanker, dan penyakit autoimun, adalah ketidakseimbangan dalam fungsi dasar fisiologis.
“Dokter akan mencari apa yang dibutuhkan tubuh tetapi kurang dan apa yang kelebihan sehingga harus dikurangi agar keseimbangan terjadi,” ujarnya.
Kedokteran fungsional sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ini merupakan teknik pengobatan holistik yang sudah dikenal sejak berabad-abad silam, namun ditinggalkan.
“Dalam konsep ini, dokter akan melihat tubuh seperti pohon. Fungsi dokter harus mencari akar pohon.”
“ Daun yang jatuh mungkin hanya gejala dari masalah yang ada di batang atau akar pohon besar ini,” kata dokter yang pakar di bidang pencegahan penyakit, pengobatan tradisional Tiongkok, dan akupuntur ini.
Tujuan dari kedokteran fungsional, menurut Worawit, adalah untuk menunda perburukan penyakit dan mengobati sampai ke akarnya.
Untuk mencari akar masalah sebuah penyakit, dokter akan melakukan serangkaian tes modern, mulai dari anamnesis, pemeriksaan darah, urine, hingga cek DNA jika diperlukan. “Dokter harus bekerja seperti detektif,” ujar Warowit.
Ia memberi contoh penerapan kedokteran fungsional pada kasus seorang pasien anak perempuan berusia sembilan tahun dari Jerman yang datang berobat dengan keluhan rambut rontok dan hampir botak.
Ia didiagnosis mengalami alopecia autoimun.
Pengobatan steroid memang bisa menghentikan kerontokan rambut, namun memberi efek samping sehingga pengobatan dihentikan.
“Setelah kami melakukan pemeriksaan, ternyata gadis kecil itu sangat sensitif pada makanan tertentu sehingga ada gangguan pencernaan dan ketidakseimbangan bakteri baik dan jahat,” katanya.
Dokter lalu memberikan modifikasi pola makan dengan menghindari makanan yang bisa mencetuskan alergi dan juga suplementasi.
“Ia diberi asam amino dan beberapa vitamin. Pola dietnya juga diubah menjadi tinggi protein dan rendah gula,” kata Warowit.
Setelah tiga bulan, hampir semua keluhan pasien menghilang, termasuk rambutnya yang kembali lebat.
Untuk mencari penyebab sebuah penyakit memang tidak selalu mudah, terkadang diperlukan pemeriksaan yang lengkap.
Dokter pun harus menyediakan waktu untuk berkomunikasi cukup dalam dengan pasien demi menggali latar belakang psikis yang dimiliki pasien.
“Setiap dokter juga harus menjadi psikolog bagi pasiennya,” kata Dr.Kusuma Kunovongkrit yang memiliki spesialisasi bidang kedokteran rehabilitasi di BBH ini.
Terapi pengobatan kemudian disesuaikan dengan kondisi setiap pasien sehingga lebih tepat sasaran.
Perubahan gaya hidup di bawah supervisi dokter juga mutlak dilakukan untuk mengobati akar dari sebuah penyakit kronis.
Pasien pun akan diajak untuk mulai meninggalkan gaya hidupnya yang tidak sehat dan memahami bahwa sehat bukan hanya tidak adanya penyakit.