Apakah gemuk asal sehat tidak berdampak buruk bagi seseorang?
Jawabnya tidak.
Dan itulah yang kembali diluruskan para pakar dari Swedia yang menganulir kesan banyak pendapat bahwa gemuk itu tidak masalah asal sehat.
Penolakan pendapat ini dimuat dalam jurnal sebuah studi yang dipublikasikan dalam International Journal of Epidemiology.
Tim peneliti mendapati, bahwa pria obesitas walau rutin berolahraga dengan intensitas tinggi masih berada dalam risiko kematian yang lebih tinggi ketimbang mereka dengan berat badan normal tetapi jarang berolahraga.
Untuk melihat hubungan antara olahraga khususnya aerobik dan risiko kematian dini, tim peneliti dari Universitas Umea Swedia melibatkan jutaan laki-laki.
Tim peneliti juga mengamati risiko kematian dini pada peserta dengan berat badan normal maupun obesitas.
Selama masa penelitian berlangsung, yaitu hingga umur peserta rata-rata dua puluh sembilan tahun, hasil penelitian menunjukkan, bahwa semakin rutin peserta melakukan aerobik, mereka memiliki risiko kematian dini empat puluh delapan persen lebih rendah ketimbang mereka yang jarang berolahraga.
Namun, bila dikaitkan dengan berat badan peserta, maka “keuntungan” ini sedikit sekali dirasakan oleh peserta yang obesitas.
Lebih rincinya, pria dengan berat badan normal memiliki risiko kematian yang lebih rendah ketimbang peserta obesitas walaupun mereka tidak rutin berolahraga.
Sebuah studi yang diterbitkan awal tahun oleh tim peneliti dari University of Cambridge juga menemukan, bahwa meskipun rutin jalan cepat setiap hari selama dua puluh menit dapat memberikan manfaat kesehatan yang cukup, manfaat ini tidak berlaku pada orang gemuk.
Selama dua belas tahun tim peneliti mengamati ratusan ribu pria dan wanita Eropa, mengaitkan antara indeks massa tubuh mereka dan aktivitas fisik.
Hasilnya, seperti yang diterbitkan dalam The American Journal of Clinical Nutrition, saat indeks massa tubuh meningkat, manfaat kesehatan dari berjalan cepat pun menjadi menurun
Khusus kegemukan pada wanita para ahli tersebut menyatakan bisa meningkatkan risiko terkena kanker payudara setelah menopause dibandingkan wanita dengan berat badan normal.
Para peneliti menemukan bahwa risiko kanker meningkat dengan berat badan yang lebih besar.
Wanita dengan obesitas mencapai delapan puluh enam persen kemungkinannya untuk mengembangkan bentuk paling umum dari kanker payudara dan didiagnosa kanker tingkat lanjut.
Semenara penelitian lain telah menunjukkan hubungan antara kelebihan berat badan dan risiko kanker payudara, penting untuk mencari tahu keterkaitannya, terutama untuk sesuatu yang bisa berubah seperti berat badan
“Karena wanita bisa melakukan sesuatu untuk itu,” ujar Marian Neuhouser dari Cancer Prevention Program at the Fred Hutchinson Cancer Research Center, Seattle.
Untuk studi baru yang telah dipublikasikan di JMA Oncology, para peneliti meganalisa data jangka panjang dari Women’s Health Initiative study.
Ketika para peneliti mengamati jenis kanker payudara lebih spesifik, mereka menemukan wanita sangat obesitas didiagnosa tumor payudara yang dipicu oleh hormon estrogen dan progesterone.
Ini dikenal juga sebagai estrogen reseptor positif dan progesterone reseptor positif, yaitu jenis yang paling umum dari penyakit ini.
Tak ada hubungan antara berat badan dan kanker payudara, jika hormon reseptornya negatif.
Para peneliti menemukan, penggunaan terapi penggantian hormon setelah menopause tidak mengubah hubungan antara kanker payudara dan berat badan.
Menurut para peneliti, wanita dengan berat badan normal yang berat badannya naik lima persen dari awal, selama masa penelitian risiko terkena kanker payudara meningkat tiga puluh lima persen.
Tapi, wanita yang sejak awal sudah dalam kondisi kegemukan dan obesitas, turunnya berat badan takkan menurunkan risiko kanker payudara.