Google baru saja mengembangkan kecerdasan buatan yang dapat mendeteksi kanker.
Inovasi ini menunjukkan kalau kecerdasan buatan dapat mendeteksi tanda-tanda awal kanker.
Manajer Produk Google, Lily Peng, mengklaim, teknologi ini dapat menangkap hal-hal detail yang terlewatkan ahli. Salah satu jenis kanker yang mampu dideteksi yaitu kanker paru-paru.
Kanker paru-paru menyebabkan lebih banyak kematian daripada kanker lainnya.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, kanker ini juga salah satu jenis kanker yang paling umum, dengan lebih dari dua juta kasus.
“Kita tahu bahwa ketika kasus didiagnosis dini, pasien memiliki peluang lebih tinggi untuk bertahan hidup,” kata Peng, sebagaimana dikutip dari CNET.
“Tapi sayangnya, lebih dari delapan puluh persen kanker paru-paru tidak diketahui lebih awal,” tambah dia.
Kanker tahap ini kerap sulit dilihat melalui CT Scan dan pasien dengan kanker stadium akhir sering menunjukkan tanda-tanda halus pada pemindaian awal.
“Menggunakan pemindaian kanker paru-paru dari National Cancer Institute dan Northwestern University, Google melatih jaringan AI untuk mendeteksi keganasan kanker pada tingkat yang sama dengan atau di atas kemampuan seorang ahli radiologi yang terlatih,” pungkas Peng.
Teknologi pencarian bintang yang hadir di observatorium, dipercaya bisa diolah untuk mendeteksi penyakit kanker. Nantinya, ia akan hadir dalam bentuk mesin rontgen portabel.
Menurut studi yang dimuat laman Mirror,, Badan Antariksa Inggris menjadi yang pertama untuk mendanai proyek terobosan teknologi ini.
Bahkan, mereka sudah menyiapkan dana sebanyak delapan belas mikliar rupiar untuk mengembangkan mesin rontgen portabel berbasis dari teknologi pencarian bintang.
Ilmuwan berharap kalau mesin ini akan membantu dokter mengetahui lebih detail terkait area di mana tumor tumbuh, sehingga mereka bisa memberikan diagnosis lebih mudah dan perawatan lebih efektif.
Tony Young, direktur klinik nasional NHS Inggris, mengakui kalau pihaknya sudah lama menginginkan teknologi astronomi bisa diimplementasikan ke ranah kesehatan, khususnya penanganan dan diagnosis kanker.
“Menggunakan teknologi pencarian bintang untuk mendeteksi keberadaan kanker adalah inovasi terbaru yang membantu kami untuk mendiagnosis lebih cepat dan menyiapkan rencana jangka panjang yang bisa membantu setengah juta populasi,” kata Young.
Mesin rontgen berbasis teknologi pencarian bintang tersebut, merupakan salah satu dari empat proyek besar yang didanai Badan Antariksa Inggris.
Adapun sisa proyeknya, akan diumumkan pada beberapa minggu ke depan.
Perkembangan pemanfaatan teknologi Virtual Reality di ranah kesehatan mulai terlihat. Baru-baru ini, ilmuwan saraf dari Massachussets Institute of Technology (MIT), Ed Boyden, memanfaatkan VR untuk meneliti kanker dan tumor.
Dilansir dari Digital Trends,, penelitian tersebut dilakukan Boyden dengan cara menciptakan tumor buatan yang nantinya dieksplorasi kembali dengan VR Headset.
Proyek tersebut juga telah didukung sejumlah lembaga, termasuk dari lembaga Cancer Research di Inggris.
Boyden menjelaskan, VR Headset akan digunakan untuk mengambil biopsi dari kanker atau tumor dengan sodium polyacrylate, yang ukurannya akan ditingkatkan sekitar seratus kali.
Setelahnya, tim bedah akan menganalisisnya dari luar dan dalam, mereka tak hanya akan melihat dari apa tumor itu bisa terbuat, tetapi juga membuat gambar berdasarkan jaringan biopsi yang disaksikan dokter di aplikasi VR.
Dengan begitu, gambar tumor yang bisa dilihat di aplikasi VR juga bisa menampilkan sejumlah data tentang fungsi dan sel tumor, bagaimana mereka bisa berinteraksi, hingga seperti apa tata letaknya.
Boyden tidak mengungkap jenis VR Headset apa yang ia gunakan. Namun diprediksi, VR Headset serta aplikasi yang dipakai adalah jenis yang sudah dijual di pasaran saat ini.
“Kami bertujuan untuk membantu pasien memahami kondisi mereka. Kami juga ingin membantu para dokter untuk mengetahui subtipe kanker atau tumor pasien lebih mudah dengan data yang disajikan di VR, ketimbang melakukan metode manual atau pengujian kimia,” tutur Boyden menjelaskan.
Ini memang bukan pertama kalinya VR diadaptasi oleh dokter untuk meneliti sebuah penyakit dalam. Sebelumnya, seorang dokter asal Inggris, Shafi Ahmed, mengadakan bedah pertamanya dengan menggunakan teknologi VR.
Ahmed memperlihatkan operasi kanker usus yang tengah berlangsung, yang mana ia menggunakan perangkat VR headset.
Bedah ini berlangsung kurang lebih tiga jam, dan disiarkan secara terbatas lewat situs Medical Realities agar para penonton bisa menyaksikan suasana membedah pasien dengan VR Headset.