Indonesia akan memasuki pergerakan internet cepat 4G LTE bersamaan dengan peningkatan teknologinya, seperti yang akan dipagelarkan oleh Google 14 Mei mendatang.
Kini sebagian besar pengguna mobile di Indonesia sebenarnya masih harus mengandalkan jaringan 2G dengan kecepatan terbatas sehingga terkendala dalam hal mengakses situs-situs internet.
Pengguna di jaringan 2G yang proporsinya sekarang masih mencapai kisaran tujuh puluh persen dari jumlah pelanggan keseluruhan operator-operator seluler ini pun butuh waktu lama untuk sekadar membuka laman web.
Tetapi, pada 14 Mei mendatang bakal ada sebuah perubahan.
Pada tanggal tersebut Google berniat mulai menggelar teknologi internet yang sanggup memberikan akses berkecepatan tinggi, khusus untuk para pengguna gadget mobile yang masih menggunakan koneksi lambat di Indonesia.
Teknologi berbasis transcoding untuk menyederhanakan tampilan situs web dengan elemen-elemen yang lebih hemat bandwidth ini nantinya dijanjikan bakal mempercepat koneksi internet hingga empat kali lebih kencang.
Optimalisasi atau pengurangan ukuran yang dilakukan terhadap konten-konten yang kurang signifikan untuk pengguna mobile, misalnya gambar, turut diklaim bisa menghemat penggunaan data mobile hingga 80 persen.
Penggelaran teknologi optimalisasi akses internet mobile 2G dari Google ini untuk sementara masih bersifat uji coba untuk mengumpulkan data dan umpan balik dari pelanggan.
Indonesia terpilih sebagai lokasi perdana lantaran pelanggan 2G masih lebih banyak dibandingkan pengguna jaringan berkecepatan tinggi 3G dan 4G.
“Indonesia adalah negara yang menarik. Pengguna mobile di sana sangat aktif, pola penggunaan internetnya pun berbeda dari negara lain, dalam hal pemakaian untuk keperluan sosial atau messaging. Tapi koneksi mobile kondisinya kurang ideal,” kata Hiroto Tokusei, Product Manager Google Search.
Teknologi optimalisasi akses internet 2G ala Google memang berada di bawah payung Google Search.
Mesin pencari itu digunakan oleh Google untuk mendeteksi kecepatan koneksi internet pengguna. Informasi connection speed tersebut kemudian dipakai menentukan, apakah teknologi percepatan akses perlu dinyalakan atau tidak.
“Jadi, pengalaman pengguna dalam hal ini berawal dari search. Kami memonitor koneksi Anda saat melakukan search,” jelas Tokusei.
“Apabila koneksi terdeteksi lambat, maka fitur percepatan akan dinyalakan.” Maka, teknologi internet cepat Google pun baru akan berjalan manakala pengguna mengeklik salah satu link yang muncul dari hasil pencarian memakai search engine tersebut.
Seberapa rendah kecepatan koneksi internet yang menjadi patokan Google?
Tokusei mengaku belum bisa menyebutkan angka pasti karena tengah didiskusikan oleh pihak internal Google dan masih bisa berubah-ubah. “Secara umum, saya bisa sebut bahwa angkanya setara dengan kecepatan koneksi 2G,” katanya.
Transcoding yang dlakukan Google terhadap situs web untuk mengirit bandwidth sedikit banyak bakal mengubah tampilan laman internet yang bersangkutan.
Ketika Tokusei mendemonstrasikan perbandingan kecepatan loading sebelum dan sesudah penerapan transcoding
Karena itulah, dalam menerapkan teknologi internet cepat hemat bandwidth ini,
Tokousei menerangkan, pihaknya bakal berkomunikasi dengan para webmaster yang bertanggung jawab mengelola situs-situs web di Indonesia untuk diajak bekerja sama menyediakan laman hasil transcode.
Sang empunya situs bisa dan boleh-boleh saja menolak memakai teknologi itu, misalnya karena tak ingin tampilan situs jadi berubah. Perubahan tampilan web setelah optimalisasi bisa dilihat melalui tautan ini untuk para pemilik akun Google.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa akses internet cepat yang disediakan teknologi Google bisa mendatangkan trafik lebih banyak lantaran pengunjung situs jadi tak lekas bosan menunggu loading.
Selain webmaster, pilihan pun diserahkan ke pengguna, apakah ingin mengakses laman versi transcode atau tidak.
Tiap kali teknologi ini aktif, pengguna akan diberitahu lewat popup berisi notifikasi yang muncul di window browser. Pilihan untuk kembali menggunakan koneksi reguler pun disediakan di bagian atas jendela peramban.
Transcoding laman web sebenarnya sama sekali bukan barang baru. Peramban Opera Mini besutan Opera, misalnya, telah menerapkan teknologi tersebut selama bertahun-tahun. Bedanya, teknologi yang ditawarkan Google kali ini bakal bisa dipakai oleh pengguna browser mana pun.
“Untuk saat ini memang baru bisa digunakan di browser native Android dan Chrome, tapi rencananya nanti akan tersedia bagi pengguna browser mobile apa pun, termasuk misalnya Safari,” ungkap Tokusei sambil menyebut nama browser di sistem operasi iOS tersebut.
Kendati terdengar menggiurkan dengan potensi penghematan data hingga 80 persen, Tokusei menerangkan bahwa tak semua situs bisa “dilangsingkan” melalui transcoding.
“Demikian pula dengan situs-situs layanan Google yang tidak mengalami optimalisasi transcoding karena kebanyakan memang disesuaikan untuk masing-masing pribadi pengguna,” lanjut
Situs-situs yang tak dioptimalkan melalui transcoding ini nantinya akan ditampilkan dengan label khusus di hasil pencarian Google untuk memberi tahu pengguna.