Site icon nuga.co

Twitter Akui Kesulitan Perangi Berita Hoaks

Twitter seperti diakui oleh CEO-nya Jack Dersey, belum menemukan cara untuk “membunuh”  berita palsu atau  hoaks

Ia menagkui para pengguna Twitter masih saja direpotkan oleh terjadinya berita hoaks tersebut.

“Malah semakin menjadi-jadi,” kata Dersey se[arti dikutip “crash,” hari ini, Senin, 20 Agustus.

Sang pendiri sekaligus CEO, Jack Dorsey, mengaku hingga kini belum menemukan solusi terbaik untuk masalah tersebut.

“Kami belum bisa secara tuntas memecahkan masalah ini. Namun kami sangat memperhatikan isu ini dan berupaya mempertanyakan berbagai kemungkinan jalan keluar,” kata dia.

Menurut Jack Dorsey, Twitter telah banyak berbenah dari waktu ke waktu, meski dampaknya memang belum terlalu terlihat.

Ia pun tak menyangka perkembangan Twitter sangat cepat dan meluas, sehingga menimbulkan dampak-dampak negatif pula.

“Ketika kami mulai mendirikan Twitterdua belas  tahun lalu, kami tak terlalu memikirkan bagaimana dampak sebuah kicauan bisa sangat besar seperti hari ini,” ia menuturkan, dalam sebuah wawancara

Selain berita palsu, masalah lain yang terjadi di Twitter mencakup ujaran kebencian, SARA, hingga provokasi politik.

Hal ini juga diakui Jack Dorsey masih terus dipelajari polanya dan mekanisme pemecahannya.

Ia mengatakan, Twitter enggan langsung menghapus sebuah akun ketika dinilai menyebarkan kebencian.

Pasalnya, sebuah kicauan yang tak santun belum tentu mendefinisikan karakter sebuah akun sepenuhnya.

“Sulit untuk menghimpun kepercayaan pengguna jika Twitter serta-merta memblokir akun berdasarkan kondisi perasaan dan kicauan mereka dari momen ke momen,” ia menjelaskan.

Menurut dia, yang semestinya dilakukan adalah mengamati pola perilaku akun dari waktu ke waktu.

Akan tetapi, Jack Dorsey mengaku pihaknya belum memiliki sumber daya yang mumpuni untuk secara aktif melakukan tugas tersebut.

“Akan menghabiskan waktu berjam-jam melihat video, teks, dan konten secara detail untuk setiap akun yang ada di Twitter,” kata dia.

Secara keseluruhan, Jack Dorsey mengatakan pihaknya terus bekerja keras untuk memberikan pengalaman terbaik bagi seluruh pengguna.

Ia ingin platform-nya menjadi tempat untuk saling mendorong dan menginspirasi, bukan saling membenci dan menjatuhkan.

Tidak hanya Twitter. Google dan Facebook juga sibuk dengan perang melawan hoaks.

ahkan, Facebook dan Google bisa dibilang sebagai “tersangka utama” atas penyebaran berita palsu alias hoax di internet.

Dua platform maya tersebut banyak menuai kritik pada 2016 lalu saat pemilihan Presiden AS karena dinilai turut membagikan hoax yang menguntungkan Donald Trump.

Ketenaran Facebook dan Google sebagai layanan internet tak jarang dimanfaatkan beberapa oknum untuk menyebar hoax demi keuntungan politik maupun finansial.

Menyadari hal ini, Facebook dan Google tak tinggal diam. Pekan lalu, Google mengumumkan produk baru bertajuk “Fact Check” yang mulai tersedia untuk layanan Search dan News.

Cara kerjanya memanfaatkan pihak ketiga yang kompeten dan terpercaya. Dalam hal ini, Google sama sekali tak melakukan verifikasi berita sendirian.

Google mematrikan label “Fact Check” pada berita-berita yang sudah dicek kebenarannya oleh pihak ketiga, yakni media massa kawakan dan organisasi pengecekan fakta. Tak semua berita dicek kebenarannya.

Berita-berita yang viral akan lebih diprioritaskan karena dampaknya lebih besar bagi masyarakat, sebagaimana dilaporkan

Masyarakat diharapkan bisa lebih kritis dalam mengonsumsi berita dengan adanya Fact Check. Berita-berita yang sensasional dan berbentuk hoax pun dengan sendirinya akan lengser.

Mekanisme Facebook untuk memberantas hoax pun lebih kurang sama dengan Google.

Layanan jejaring sosial itu tak sendiri memerangi berita palsu, namun turut memberdayakan pengguna dan pihak ketiga.

Ada tiga area yang menjadi fokus Facebook, yakni mempersulit para kreator hoax untuk menerima insentif ekonomi di Facebook, membuat tool untuk stop penyebaran hoax, dan mengajak pengguna untuk bersama-sama menjaring berita hoax.

Tool khusus yang dimaksud Facebook bakal muncul di sisi atas linimasa pengguna dalam beberapa hari di empat belas negara pertama.

Facebook bekerja sama dengan organisasi non-profit bernama “First Draft” untuk menyusun tool tersebut.

Bentuknya berupa tips bagi pengguna Facebook untuk mengetahui berita mana yang benar dan mana yang palsu. Beberapa langkahnya termasuk pengecekan URL situs, investigasi sumber, dan pengecekan laporan lain yang bertopik sama.

Menurut Facebook, jika pengguna sudah cerdas memilik berita benar dan hoax, para penyebar hoax akan kesulitan menjaring massa.

Dengan begini, mereka juga bakal kesulitan memonetisasi berita palsu. Untuk informasi selengkapnya terkait inisiasi Google dan Facebook menghentikan hoax, Anda bisa buka situs resmi masing-masing di sini dan sini.

Exit mobile version