Spoor Atjeh bermula dari Koetaradja. Spoor Atjeh juga bermula dari kebutuhan “perang penaklukan.” Dan spoor atjeh ini bermula dari sebuah tanah “kraton,” persisnya di enklaf penghubung antara “istana” dengan meusejid raya.
Di sinilah bermula dibangunbya jaringan rel dengan stasion kecil yang menghubungkan Koetaradja dengan “metropole” Ulee Lheue. Sebuah jaringan rel sepanjang empat kilometer melintasai “spoordex,” Lampaseh, Deah Baro-Deah Raya dan berakhir di “boom” port.
Kini, ketika kami mencari jejak heritageny, semuanya sudah raib. Sudah mati. Mampus!
Sejarah kematian stasion “spoor” kota, dulunya, pernah ditangisi komunitas generasi yang berutang pada perannya.
Prof. Ali Hasymi, seorang tokoh Aceh dan pemerhati sejarah, juga salah seorang generasi yang berutang dimasa eksistensi “spoor,” pernah meminta pemerintah kota dan provinsi membangun museum kereta api di lokasi yang sama.
Hasymi seperti ditulis dalam buku Sejarah Perkereta-apian Indonesia, mengingatkan pengabaian eksistensi kereta api negara di Aceh adalah juga pengabaian sejarah perlawanan pejuang Aceh.
Bahkan, menurut sebuah sumber, ketika itu, Hasymi telah memiliki “blue print,” atau cetak biru museum Kereta Api Negara di Aceh yang menyatu dengan monumentalnya Masjid Baiturrahman. Ide ini kandas dengan alasan di tunda dulu sampai pendanaan bisa dianggarkan.
Semenjak itu sampai stasion itu ditebas menjadi lahan kosong dan jalan berkelok janji pembangunan museum menguap hingga meninggalnya tokoh dengan banyak minat itu..
Untuk itulah raibnya stasion “staats spoor,” yang berfungsi sebagai portal distribusi logistik Koetaradja-Ulee Lheue dan Koetaradja-Lambaro, bahkan portal untuk mobilitas pasukan di seputar zona kamp konsentrasi itu, tidak hanya kesedihan bagi Hasymi tetapi juga untuk komunitas sejarah.
Sebuah pengalaman “ironis.” Ironi dari tersingkirnya kaitannya dengan kesejarahan “prang aceh.” Kesejarahan dari eksistensi monumentalnya perlawanan Aceh di awal penaklukan negeri “indatu” ini oleh Holandia.
Kesejarahan ketika gerak pasukan “infantri knil” batavia diayak pejuang Aceh sejak pendaratannya di Pantee Ceuremein, Ulee Lheue, hingga ke Koetaradja. Gerak pasukan dengan strategi menggebuk Kuta Dalam dan membuat kamp konsentrasi sembari mengepung masjid raya untuk memenangkan simbol penaklukan itu sendiri.
Strategi pertempuran sekali pukul di atas kertas rancangan departemen perang Batavia dan didoktrinkan sebagai perang sapu bersih, tak pernah terealisir di Aceh. Yang menjadi realitas justru sebuah perang yang kemudian bertahan berpuluh tahun dan nyaris membangkrutkan kas Batavia sehingga mengubah strateginya menjadi perang panjang.
Perubahan skenario ini pulalah yang melatarbelakangi keluarnya “governement besluit” atas nama departemen perang di Batavia, tahun 1874, setahun setelah penguasaan Kuta Dalam, yang memerintahkan pasukan zenie merancang pembangunan “spoor” dengan memilih rute paling aman bagi mobilitas pasukan dan logistik.
Itulah awal “spoor” Aceh. “Spoor” yang kepanitiaannya dibentuk berdasarkan besluit gubernur jenderal. Dan atas nama departemen perang pula, setahun kemudian, 1875 pasukan zenie menyiapkan “blue print,” cetak biru, sekaligus pekerjaan fisiknya, serta menyelesaikannya di tahun 1876, yang sekaligus menjadi tahun peresmian dan pengoperasiannya.
Dari sanalah cikal bakal “Acheh Staats Spoor” menurut catatan yang sahih. Dan untuk di catat, spoor ini adalah kepunyaan negara pertama di Hindia Belanda. Kereta api, yang semula hanya untuk kebutuhan perang, yang di rancang 137 tahun lalu untuk kemudian memanjang melintasi pantai timur Aceh dan bertahan hampir 100 tahun. “Spoor,” yang semula hanya melintas di atas rawa Deah Geulempang, Deah Baro, hingga Lampaseh dengan membangun “dex,” tanggul bagi bantalan rel, sepanjang lima kilometer.
“Spoor,” yang ketika itu memiliki rel standar kereta api Eropa selebar 1,067 meter. Bukan rel selebar 0,75 meter, yang kemudiannya kita kenal melintas dari Ulee Lhueue hingga ke Besitang.
Pekerjaan pembangunan rel ini, seperti dicatat oleh seorang wartawan Java Bode, yang ikut dalam ekspedisi penaklukan awal ke Aceh, mendapat kawalan siang malam dan dilakukan secara maraton oleh zenie dengan mendatang buruh kontrak dari Kwangtung, Cina, dan orang “strapaan,” hukuman dari Jawa dan Deli untuk berkubang di tengah rawa tak bertuan itu.
Lintasan ini dipilih, tulisnya, karena sulit dihadang pejuang “aceh pungo” karena medannya rawa memanjang, jauh dari perkampungan dan rutenya menyusur garis pantai.
Menurut catatan Zentgraf dalam bukunya “ Atjeh” pilihan lintasan “spoor” ini awalnya mengalami perdebatan sengit di batavia dan sempat diperbincangkan di parlemen Belanda.
Selain menyangkut anggaran tak terbatas juga pekerjaannya yang harus disegerakan. Pilihan lintasannya juga sangat sulit. Tapi para pendukung rencana ini beralasan keselamatan jiwa serdadu harus diutamakan,” tulis “de telegraff,” surat kabar prestesius di Amsterdam menyetujuiya dalam sebuah tulisan investigasinya.
Keputusannya, seperti di tulis “Java Bode” ternyata tepat. Paling tidak resiko penghadangan yang menyebabkan kematian banyak tentara bisa dikurangi. Juga jaminan pasokan logistik bisa lebih aman.
Dan itulah kerja spektakuler yang ditulis olah koran “Java Bode” sebagai awal strategi jitu guna sampai ke “kamp konsentrasi” di Kuta Dalam, kawasan Keraton, utuh seratus prosen. Strategi yang menghadirkan stasion portal distribusi logistik di depan masjid raya yang kemudian menimbunkan memori kenangan bagi ribuan orang.