Site icon nuga.co

Aceh “Spoor Prang”

Ingat kereta api Aceh? Mungkin tidak bagi anak-anak kelahiran dekade enam puluhan. Tapi banyak para manula yang masih menyisakan kenangan dengan “spoor acheh” itu.

Ya, kereta api Aceh atau “Acheh Staats Spoor,” mulanya, dirancang untuk angkutan terbatas, dalam mendukung mobilitas pasukan dan logistik militer, dengan rute terbatas pula,

Rencana ini dapat dibaca dalam “ governemet besluit” departemen perang Hindia Belanda tahun 1874, yang membentuk panitia pembangunan “spoor” Koetaradja-Ulee Lheue.

Panitia ditugaskan menyelesaikan studi kelayakan, rancang bangun jalur rel, spesifikasi loko, jadwal pekerjaan dan hitungan biaya yang dibutuhkan.

Hasil studi kelayakan dari departemen perang dan “BoW ini, departemen pekerjaan umum, sempat menjadi perdebatan di lingkungan elite birokrasi Batavia.

Selain efektifitasnya proyek, persoalan dana menjadi bahan perbedaan pendapat yang tajam. “Blue print” pembangunan “spoor” ini sempat ditangguhkan selama tiga bulan menunggu jawaban Amsterdam.

Di Belanda kementerian anggaran yang seharusnya menyetujui dalam satu bulan harus menunggu jawaban parlemen untuk membuka “hearing” dengan Letnan Jenderal van Swieten, sang penakluk “kuta dalam.”

Walaupun menyetujui, setelah van Swietan memaparkan prediksinya tentang perang jangka lama di Aceh, parlemen meminta gubernur jenderal di batavia membentuk tim pengawas agar anggaran bisa dikelola secara maksimal.

Dan menurut berbagai catatan kemudian, prediksi Swieten ini ternyata benar dan Hindia Belanda pernah mendekati bangkrut untuk membiayai penaklukan Aceh.

“ Ini perang prestise. Tak ada jalan mundur untuk menaklukkan Aceh dan berapapun harga yang harus kita bayarkan,” kata van Swieten dalam rapat dengan pendapat di parlemen.

Setahun kemudian, 1875, setelah panitia menyerahkan hasil studinya ke departemen perang dan sempat jeda untuk diperdebatkan persetujuan gubernur jenderal ditandatangani.

Rancang bangun yang disetujui itu menyangkut panjang rel, lima kilometer, lebar rel, 1,067 meter, dan rute strategis di kawasan pantai, di atas rawa-rawa Deah Geuleumpang, Deah Baro, Lampaseh.

Tahun itu juga, menurut risalah yang ada di “kitlv, the royal netherland institute for southeast asian and caribbean,” Leiden, Belanda dan dikutip sepintas dalam buku “Sejarah Perkereta-apian Indonesia,” pekerjaan fisik pembangunan rel diserahkan kepada batalyon zeni sebagai penanggungjawab dan pelaksana pekerjaan.

Masih menurut catatan perang Aceh dikepustakaan Belanda, penyelesaian pekerjaan jalan rel ini sengaja dikebut dalam program khusus dengan mendatang koeli cina dari pelabuhan Kwangtung, “strappen,” orang hukuman dari Jawa, bahkan sebagian diantaranya para koeli Jawa yang ada di Deli untuk mendukung percepatan penyelesaiannya.

Percepatan ini tidak hanya dimaksudkan untuk mengamankan mobilitas pasukan dan logistik juga tapi juga untuk perluasan ofensif perang, terutama di wilayah kamp konsentrasi, lima puluh kilometer persegi dari Koetaradja.

“Ini untuk mejaga momentum proklamir ketaklukan Aceh,” kata Jenderal J.H.J. Peel, pengganti Swieten.

Sebab, setahun setelah penaklukan Aceh pasukan Belanda hanya bisa bertahan di kamp konsentrasi, Kuta Dalam, yang telah ditinggalkan pejuang Aceh, untuk memulai perang gerilya dan merusak mobilitas pasukan mulai dari Pantee Ceuremin, Uleue Lheue, hingga ke Koetaradja.

Untuk mempercepat pelaksanaannya pemerintahan di Batavia atas persetujuan parlemen dan restu kerajaan di Amsterdam menerapkan kebijakan anggaran tidak terbatas.

Kebijakan ini tercermin dari dukungan pembelian material oleh pemerintah di Batavia dengan mengimpor kayu bantalan relnya dari Malaka, Malaysia, ditahun 1875.

Bahkan ditahun 1874, sewaktu masih tahap perencanaan, Hindia Belanda sudah memesan material besi relnya dari Liverpool, Inggris, dan menggudangkannya di Singapura. Ini untuk mempermudah pengapalannya ke Aceh tinimbang dipunggah di Batavia.

Lokonya juga di pesan dari produksi “Rhein,” Jerman, bukan dari Weerkspoor, Amsterdam, untuk lebih cepat penyelesaiannya.

Tak banyak catatan suasana pengerjaan bangunan rel ketika dilaksanakan. Foto-foto dokumentasinya juga sangat sulit di dapat. Menurut sebuah risalah, kurangnya publikasi pengerjaan tanggul dan rel ini utnuk menjaga kerahasiaannya dari intaian pejuang Aceh.

Yang tercatat secara akurat adalah, 12 Agustua 1876 pekerjaan fisik selesai dan “geuritan apui” perang berderak melintasi jembatan Ulee Lheue ke “dex,” tanggul, Deah Baro menuju Lampaseh dengan pengawalan ekstra ketat dari para marsose dan diupacarai secara militer di stasion depan meuseujid raya, yang waktu diresmikan masih sebagai portal distribusi logistik militer, ketika itu, sebuah bangunan terbuka, sangat sederhana.

Waktu diresmikan rel kereta api Koetaradja-Uleue Lheue, sepaanjang lima kilometer, lebarnya 1,067 meter dan dilintasi oleh loko yang jauh lebih besar. Operasional loko dengan rel lebar, standar Eropa ini, berlangsung untuk beberapa tahun hingga perluasan lintasannya ke Lambaro.

“Saya tidak tahu dan tidak mendapatkan alasan kenapa rel ini kemudiannya diperkecil seperti yang kita kenal selama seratus tahun, 0,75 meter. Dampak dari pengecilan rel, lokonya juga diganti,” kata Ridwan Azward ketika p[engamat sejarah ini masih hidup.

Aceh memang sering apes dalam pembangunan infrastruktur. Berbagai rencana besar selalu raib. “Ini memang sudah suratan,” tutur Azwad berseloroh kala itu.

Bangunan rel kereta perang ini baru diperpanjang hingga ke Lambaro dan Sibreh setelah operasionalnya diserahkan kepada BoW, departemen pekerjaan umum, di tahun 1882, bersamaan dengan dilaksanakannya “kamp konsentrasi” beradius 50 kilometer persegi selama 12 tahun.

Semasa di bawah BoW ini pula “spoor” perang merambah Peukan Bada, Lampeureut dan Lambuek hingga Pango melewati “Demmeni, jembatan Pantee Pirak sekarang, yang pembangunannya dimulai 1874, untuk menyimbolkan penaklukan Aceh di Koetaradja.

Sebuah simbol yang oleh van Heutz, Gubernur Sipil dan Militer waktu itu, dianggap mubazir dan menggantinya dengan pendekatan ekspansi pembujukan.

Semasa van Heutz ini pula kamp konsentrasi dibubarkan dan sekaligus membongkar jalur kamp di kawasan “dalam” untuk kemudian disambungkan ke arah timur.

Sejak itu pula, secara terbatas, masyarakat diperbolehkan memanfaatkan “spoor” sebagai bagian untuk membujuk mereka meninggalkan “Atjeh moorden.”

Perjalanan “spoor” masih belum terjadwal dan sangat tergantung dengan kebutuhan mobilitas militer.

Saat itu pula, perluasan ofensif penaklukan Aceh sudah meluas hingga ke berbagai pelosok Aceh. Konsentrasi pasukan sudah dipencar hingga ke Pidie.

Operasional kereta api di tangan BoW tahap pertama ini berlangsung selama sembilan tahun, hingga tahun 1892, untuk kemudian diserahkan kembali ke departemen perang bersamaan dengan meningginya gangguan pejuang serta mulai dirintisnya pekerjaan jalur rel membelah Seulawah dengan titik utama Seulimeum, Lamtamot dan Padang Tiji.

Pekerjaan rel di lintasan rawan ini, menurut laporan Java Bode, koran terbitan Batavia waktu itu, tidak bisa dilaksanakan oleh institusi sipil.

Apalagi misi membangun jaringan rel ini masih terkait dengan ofensif militer yang membutuhkan transportasi untuk mendukung mobilitas pasukan, logistik sekaligus membangun kantong-kantong pertahanan untuk basis perluasan penaklukan.

Untuk itu, menurut artikel “de Atjeh Oorlog,” jaringan d pantai timur menyusur garis pantai dan bersisian dengan jalan raya dan banyak melintasi “blang” sebagai upaya menghindari perkampungan yang banyak “Atjeh moorden”nya.

Exit mobile version