Tengah hari kemarin, Senin, 9 September 2013, kami di sapa lagi oleh “Santos,” teman asal Bekasi yang ikut Jelajah Sepeda Kompas. Kali ini “Santos” memuji infrastruktur jalan di Aceh. “Jalanan yang kami lewati dietape Aceh paten “ngon,” ujarnya di “hand phone.”
Saya hanya mendeham. Ia maklum, sembari memberitahu sedang rehat di sebuah warung di Pahae, Simangumban, antara Tarutung-Padasidempuan. “Payah rakan,” katanya dengan suara terengah. Ia mengatakan, sejak dari Samosir ke Tarutung, dan dari Tarutung ke Sidempuan Tim Jelajah Sepeda Sabang-Padang di “hayak” jalan yang rusak parah.
“Pada etape hari ini kondisi jalan sangat jelek,. Delapan puluh persennya hancur,” ujarnya Kerusakan jalan yang mereka lewati berlubang, bergelombang dan digenangi air. Ada lubang berdiameter satu sampai dua meter bak kubangan,” ujarnya.
Tidak hanya masalah jalan die tape sembilan itu yang menjadi buah cerita “Santos,” soal kuliner juga diangkat sebagai “trending topic.” Ia dengan setengah bercanda mengabarkan, tak ada lagi makanan seenak “mie kocok” Blang Pidie dan nikmatnya kopi Aleu Bili.
“Kami hanya menikmati teh hangat untuk aman,” lanjutnya.
“Santos” memang tak salah untuk berkeluh-kesah tentang jalanan di provinsi “semua urusan harus uang tunai,” atau “sumut.” Saya juga sering melewati lintasan itu dan sangat berbeda dengan jalan-jalan di Aceh yang seperti kata “Santos,” paten.
Jalan di Sumut, terutama dibagian tengah, tak pernah disentuh uang “dollar” dan “euro.” Beda dengan jalan Aceh, terutama pesisir barat-selatan yang menjadi etape dua, tiga, empat, lima dan enam dari Jelajah Sepeda Kompas.
Lintasan tengah Sumatera Utara hingga perbatasan Sumatera Barat sejak lama memang terbengkalai dari peningkatan. Kondisinya labil. Kalau pun ada perbaikan biasanya tambal sulam.
Jalan ini, yang sering di sapa dengan “jalan sutra” sering dihimpit oleh truk-truk angkutan batubara, sawit dan barang kebutuhan pokok yang melintas di bagian tengah sumatera.
Berlainan dengan etape-etape Aceh yang merupakan jalan dengan gemerincing dollar dan euro. Jalan hibah, grant atau bantuan lunak merupakan potret jalan pantai barat-selatan sejak tiga dekade lalu. Ambil saja conton untuk lintasan Banda Aceh-Calang, 150 kilometer, yang merupakan “hibah” US-Aid. Jalan “gratis” dari kemurahan hati Paman Sam akibat “humbalang” tsunami yang gigi gergasinya melumatkan trase Banda Aceh—Calang, seratus persen di danai AS, dengan nilai perkilometernya lebih dari Rp 10 miliar.
Jalan itu merupakan agreement Amerika Serikat untuk membiayai restrukturisasi Aceh pasca gempa dan tsunami yang nilai keseluruhannya 285 juta dollar dan seluruhnya hanya untuk pembangunan jalan 150 kilometer. Bayangkan, jalan negara dengan dana hampir Rp 3 triliun, hanya untuk konstruksi tanpa ganti rugi tanah.
Mungkin “Santos” lupa, karena ia bukan ahli konstruksi jalan, lintasan Banda Aceh-Calang adalah jalan tol non bayar pertama di Indonesia. Jalan ini, secara kualitas dan “safety” dirancang dengan standar “interseksi.”
Jalan dengan kualifikasi pada tingkatan standar “nyaman.” Jalan dengang kemiringan dan derajat belokan yang hitungannya disesuai dengan jalan yang ada di Amerika. Makanya, ketika kami suatu hari bertemu dengan “project officier”nya, Mark Antony, ia bercanda bahwa lintasan Banda Aceh-Calang adalah jalan “California Beach.”
Tidak hanya jalan Banda Aceh –Calang, jalan Calang-Meulaboh yang dibengkalaikan oleh dana APBN diambil alih Multi Dana Fund, sebuah otoritas yang dibentuk untuk mengelola dana bantuan negara Barat untuk rekonstruksi Aceh.
Jalan sepanjang 90 kilometer ini dipuncaki oleh pembangunan sebuah jembatan di bentangan rawa di lintasan Kuala Bubon. Jalan ini menjadi ruas terbaik setelah disambungkan dengan seksi Banda Aceh-Calang.
Tidak hanya rekonstruksi akibat hantaman tsnumani. Dulunya, diawal delapan puluhan lintasan Banda – Meulaboh 243 km sudah pernah didanai dari duit Kanada dan dinamai dengan “projabam.” Proyek Jalan Banda Aceh-Meulaboh. Dan jalan projabam inilah yang dilumatkan tsunami.
Selain projabam, pada era delapan puluhan pemerintah Jerman juga memberi pinjaman kredit tanpa bunga khusus untuk membangun kembali jalan Meulaboh-Tapaktuan 205 kilometer.
Lintasan ini terkenal dengan jalan “Bilfinger & Berger,” sesuai dengan nama kontraktornya yang juga berasal dari Jerman. Sebelum ada jalan Amerika di lintasan Banda Aceh-Calang, pantai barat-selatan telah memiliki jalan “Kanada” dan jalan “Jerman.”
Jalan Jerman, yang dikerjakan oleh Bilfinger, pada saat itu merupakan jalan terbaik yang pernah ada di Indonesia. Hingga kini konstruksinya masih stabil, Kalau pun ada perbaikan itu terjadi pada pelapisan aspalnya.
Salah satu seksi jalan “Jerman” ini ada di “Gunung Tran” yang menjadi gowes, sekaligus “rolling para pesepada Jelajah Kompas.
Terakhir jalan dollar ini ada pada lintasan Tapaktuan-Sidikalang yang melewati Subulussalam. Jalan bantuan kredit lunak, yang sebagiannya hibah ini, dibangun pada pertengahan tahun 1980-an.
Kondisinya sampai kini masih “top cer.” Ini diakui oleh para gowes Jelajah Sepeda Kompas-PGN.
Maka, ketika Ketua Panitia Jelajah Sepeda Sabang-Padang, Jannes Eudes Wawa memberikan komentar tentang kerusakan jalan di jalur sutra, Tartutung-Sidimpuan, kami bisa amat maklum. Ia pantas untuk mengatakan dan meminta peserta harus ekstra hati-hati ketika melintas.
“Kondisi ini tak hanya di jalan yang landai, tetapi juga pada tanjakan dan turunan, sehingga sangat mengganggu perjalanan,” kata Jannes.
Selama perjalanan, banyak truk bermuatan berat yang melintas. Truk-truk tersebut mengangkut barang yang melebihi kapasitas. “Hal ini diduga memicu kerusakan jalan raya di lintas tengah Sumatera tersebut,” lanjut Jannes.
Salah satu peserta yakni Diana Astati, mengaku tidak terlalu kesulitan untuk menjajal jalur dengan kondisi rusak parah. Namun, memang perlu hati-hati agar tidak terjatuh. Perjalanan pun tak senyaman saat melewati jalan mulus di lintasan pesisisr barat-selatan Aceh..
“Kondisi jalan naik turun dari 900 mdpl sampai 1000 mdpl. Kemudian ke 500 mdpl dan naik lagi. Dengan kondisi jalan itu, saya tidak mengalami kesulitan yang berarti, tapi perlu hati-hati,” kata Diana.
Setelah menempuh perjalanan sepanjang 50 kilometer peserta beristirahat di Pahae, Simangumban, Kabupaten Tapanuli Utara. Mereka juga melepas lelah dengan makan durian. Adapun etape kali ini akan menempuh jarak sepanjang 111 Km.
Saat memasuki wilayah Sumatera Utara, peserta memang mulai menemui beberapa jalan rusak. Tepatnya ketika memasuki Kabupaten Pak Pak Barat, Sumatera Utara yang berbatasan dengan Kota Subulussalam, Aceh Selatan.