SEBUAH hari di awal Januari. Untuk kesekian puluh kalinya, selama dua tahun terakhir, kami menjalani secara khusuk ritual perjalanan Banda Aceh-Calang, 150 kilometer, yang usai tsunami enam tahun lalu lintasannya raib menjadi lautan, dan kini bereinkarnasi sebagai jalan raya terbaik di Indonesia, sekelas jalan bebas hambatan tidak berbayar, berkat bantuan Us-Aid, lembaga donor Pemerintah Amerika Serikat.
Jalan mulus itu, di hari perjalanan terakhir kami itu , sudah menyelesaikan tahap terakhir kontrak pemeliharannya dan kini tersambung dengan jalan “berdurasi” bantuan lainnya, dari sisa dana bantuan yang dihimpun “multi fund,” Teunom – Meulaboh. Ruas terakhir ini selesai dikerjakan akhir Desember lalu dengan sebuah karya “spektakuler,” bentangan jembatan terpanjang di daerah ini yang berada di atas tanah rawa Kuala Bubon.
Di hari itu tak ada lagi, sensasi rakit Lambeusoi, Babahnipah ataupun Kuala Unga, yang sering mengubur hari kepastian tiba dan menjadi buah bibir dari kumpulan kisah klasik dari romantisme perjalanan anak-anak negeri pantai barat ini telah dijemput kematian. Juga sudah tutup buku rakit Kuala Bubon yang menjadi alternatif perjalanan ke Meulaboh.
Kisah sedih dan duka dari eksistensi rakit-rakit itu selama enam tahun merampas kepastian tiba para penumpang, berakhir “happy ending” di jembatan kerangka baja jenis hamilton sepanjang pelintasan itu.
Bersama jembatan baja itu telah menguap sensasi “rambate rata.” Sensasi hempasan balok “tim” di langit malam Lambeusoi, Kuala Unga maupun Babahnipah. Hilang pula nyanyian hikayat “Malem Dewa” yang sering disenandungkan mandor rakit di ujung perahunya. Dan telah raib dengung halakah erangan mesin Yanmar pendorong rakit menuju penyeberangan.
Bersama itu tak ada lagi koor, satoo…. duaaaa… tigaaa… bersama dentum hempasan jembatan penghubung rakit Semuanya telah hilang ditelan awan langit bersama tabik salam lembaran Rp 20 ribu untuk pembayar ongkos penyeberangan sekali jalan. Ongkos pengganti biaya perawatan perahu, walau pun pekerja dan rakitnya milik dinas pekerjaan umum.
Begitu pula dengan eksistensi jembatan “kartika,” sebuah jembatan “perang” dari rangka baja milik zeni tentara yang dibangun usai bencana, di Krueng Jangko, yang selama enamtahun baktinya rutin menjadi “news,” tanpa di reportase dengan utuh, di koran-koran lokal, karena sering “amblas” dan membuat antrian kendaraan berbaris berkilometer, telah tutup buku.
Jembatan yang dikenang penumpang dengan “erotis” karena ulah “kenakalan”nya menyebabkan para pemudik sering “membangun” tenda dapur umum di sepanjang pinggir jalan sembari membagi sebungkus mi instan untuk dimakan satu keluarga.
Ulah jembatan ini pula yang memaksa truk sering berenang di alur sungai untuk kemudian kandas dan berdampak pada melambungnya harga sembako, seperti telur, gula sampai minyak goreng di pantai barat itu.
Juga tak ada lagi badan jalan berlumpur melumeri “body” mobil yang beringsut dengan pantat melenggang karena gigitan bannya tak mencengkeram permukaan jalan yang bagaikan bubur “kanji rumbi” itu, licin.
Kenangan kepedihan perjalanan itu, seperti dikomentari seorang kawan, anak Calang yang malang melintang jadi pejabat di level provinsi, “telah menjadi masa yang pahit.” Masa itu telah tamat atau tutup buku.
“Kini,” katanya, “muncul babak baru dari reinkarnasi jalan projabam versi baru.” Sang mantan pejabat itu ingin mengenang masa sebelum tsunami ketika jalan lintas Banda Aceh-Meulaboh, yang dulunya diberi nama “Projabam” (Proyek Jalan Banda Aceh-Meulaboh), program bantuan “grant” pemerintah Kanada, CIDA, pernah menjadi ruas terbaik saat itu dan menghapus sebuah istilah “ketidakpastian sampai.”
“Kalau jalan sekarang sudah bisa dikatakan jalan luxury,” katanya menerawang membayangkan bagaimana sulitnya dia sampai ke Calang pasca tsunami untuk mencari jejak sanak saudaranya yang raib.
Lintasan jalan ini pula yang, di awal pembangunannya, pernah menuai perdebatan dalam menentukan opsi trasenya. Ada dua opsi, kala itu, diperdebatkan. Kembali menyusur pantai atau menyingkir ke bukit-bukit pengunungan. Sebuah perdebatan kotroversial, yang kedua kubu punya argumentasi kuat untuk memenangkan pendapatnya. Pilihan ke pedalaman didukung pertimbangan “keamanan” jangka panjang, tsunami baru atau abrasi, serta murahnya biaya pembebasn lahan karena menyusur bukit.
Sedangkan argumentasi lain menyatakan tetap dipesisir dengan alasan, tsunami tak akan berulang dalam waktu dekat, tapi bermasalah dengan ganti rugi lahan. Dan persoalan ganti rugi memang menghadap sepanjang pembangunannya hingga kini, ke tahap finishing.
Akhirnya diputuskan, setelah sebuah “consultan” independen yang ditugasi US-Aid melakukan kajian mendalam dikaitkan dengan komitmen pembiayaan yang menjadi tanggungan lembaga donor itu. Keputusannya, “wobaksot,” kembali ke asal. Menyusur pantai. Final.
Usai keputusan final itu seorang staf Us-Aid, pihak penyandang dana, bercerita kepada kami, kala menyertai perjalanannya ke Calang awal pembukaan trase, “tidak ada pilihan lain selain lintasan pantai.”
Dia bahkan menyerang kami dengan sebuah pertanyaan khas bule,. “Anda pernah ke California?” Kami menggeleng. “Terlalu bodoh kalau ruas ini dipindahkan. Jauh lebih indah dari pantai di California,” katanya dengan senyum dikulum, sembari menambahkan, “California Beach tidak seindah Rigah dan Kuala Unga.” Ia menyebut dua kawasan pantai sepanjang perjalanan itu. Jadi tidak ada pilihan. “No independent,” katanya terbahak. Ini jalan “United State.”
Itulah pilihan “bijak” setelah hitungan dollar bantuan lembaga Paman Sam itu bisa menggelembung berlipat-lipat, kalau trasenya diubah. “Yang pasti tidak akan sanggup membayar harga jalan “standar” Texas itu sekiranya menghindar garis pantai,” tutur seorang teman yang terpaku dengan hitungan harga satuan perkilometernya tanpa pernah mengetahui hasil keputusan tim consultan yang tidak independen itu.
Ini juga, bagi kami, sebuah pilihan “kemenangan.” Kemenangan atas dipertahankannya eksistensi eksotisnya perjalanan “trade mark,” belahan Geureute. Sebuah kawasan yang berkontur pantai, bentangan laut samudera, pulau-pulau kecil, pendakian menanjak bergunung batu dan melintasi 76 perkampungan di lekuk teluk dan kaki bukit.
Ini juga yang membedakannya secara ekstrim dengan perjalanan lembah Seulawah, Pidie hingga Aceh Tamiang, dengan kontur rata, petak sawah, rawa bangka dan “neuhun,” tambak-tambak, berair payau dan berbau lagang.
Perjalanan Lembah Geureute adalah sebuah “traveling” dari eksotisnya birahi samudera, nyanyian laut, ombak berderai dan bisikkan angin tentang sebuah tragedi pedih yang pernah datang. “Tak pernah akan saya maafkan bila trase ini mengalami perubahan,” kata Ashari, anak Krueng Sabe, yang mengikhlaskan keluarga besarnya bersemayam di laut lepas dan rawa gambut tanpa pernah dikafankan dan kini lelaki itu “wobaksot,” kembali ke asal, membuka bengkel sembari membangun kebersamaan dengan sisa anak “aso lhok.”
Sepanjang perjalanan kami mengalami ekstase ketika kilas balik menyergap kenangan ke-enam tahun silam. Kenangan, ketika ayak gempa dan auman “hantu” laut, tsunami, berlarian membentuk bah untuk kemudian mencabik pantai, memorak-porandakan setiap halangan dan mengepit pesan maut diketiaknya untuk menjemput kematian ratusan ribu penduduk sepanjang pantai ini . Kematian dengan ”jirat,” berkubur, lautan ataupun rawa-rawa “bakdah” tanpa bisa dipungut jenazahnya. Jenazah, yang direlakan oleh setiap kepala keluarga fardhu kifayahnya kepada Illahi, setelah hukum darurat atas nama kehendak-Nya diterima secara ikhlas.
Tidak hanya anak cucu penduduknya bersemayam tanpa kuburan. Ribuan kilometer tanahnya juga musnah dipeluk laut dan meninggalkan monumen keajaiaban berupa keindahan baru yang menakjub sepanjang garis pantai. Keindahan dari abrasi yang membentuk pulau-pulau kecil di laut lepas. Bahkan dibeberapa lokasi menyembul pulau beton, dari kerangka besi jembatan, yang diterjang tsunami hingga nun jauh di ujung tubir membuat “karang” baru dan hari itu sedang digelitik gelombang sebagai “gosong” baru tempat ombak berkecipak.
Itulah sebuah “footnote,” catatan kaki perjalanan sesnsasi kami. Catatann yang memadukan keindahan “sepotong surga” yang dicampakkan langit ke bumi dengan rasa nyeri sebuah tragedi yang tidak pernah diumpatkan sebagai kutukan “aneuk nanggroe. Tragedi bermaklumatkan syahid dan syahidah. Tragedi yang dikhotbahkan sebagai kehendak alam untuk mengambil persembahannya atas nama Tuhan.