Site icon nuga.co

Kayuhan “Santos” di Negeri Seribu Lembah

Tugu Khatulistiwa di Bonjol, Kabupaten Pasaman, yang dilewati oleh gowes Jelajah Sepeda Kompas-PGN, Kamis, menjelang siang.

“Bonus rakan,” teriak “Santos,” dengan suara lepas, ketika kami saling bertukar sapa di panggilan langsung jarak jauh, menjelang siang, Kamis, 12 September 2013. Banda Aceh, hari kami menerima panggilan “Santos” memang juga sedang riang. Siraman hujan menjelang dhuha sudah berganti dengan benderang panas menyengat.

Kami sedang menyetir ketika “Santos” menyapa, dan meminggirkan kendaraan untuk mendengar ocehannya yang riang. Ia memulai dengan kata “bonus” untuk menegaskan etape keduabelas, Lubuk Sikaping-Bukittinggi sepanjang 78 kilometer itu.

Peserta Jelajah Sepeda Kompas-PGN Sabang-Padang, 1.539 kilometer itu memang mendapatkan “bonus” perjalanan etape Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman menuju Kabupaten Agam dan berakhir di Kota Bukittinggi, dengan trase menurun.

Kami merasakan apa yang dikatakan “Santos” dari satu kata dalam tanda petik “bonus” itu. Ada keringanan gowes yang mereka dapatkan, dan ada panorama yang “subhanalallah” indahnya dari kelokan yang menjuntaikan jurang dan ngarai sepanjang perjalanan.

Lubuk Sikaping-Bukittinggi memang memiliki paduan gunung kecil membentuk bukit, lembah menganga dengan kelokan sungai bebatuan kerikil, udara sejuk dan juga, dikejauhan ada gunung menjualang. Ada Singgalang-Merapi.

Etape ini, seperti kata “Santos” membuat dirinya sangat “enjoy.” Dalam perjalanan peserta bisa bercengkerama menikmati “nasi padang.” Dan dengan udara sejuk membuat rasa lapar menghampiri.

Dalam cengkerama kami, saya mengingatkan nama-nama kota kecil antara Lubuk Sikaping-Bukttinggi dengan si “Santos.” Ia sempat terperanjat dan mengatakan,”ngon seorang avounturir juga rupanya.”

Saya mengatakan tidak. Sumatera Barat adalah bagian dari kehidupan saya karena sering berkunjung ketika masih “kuat” memanggul status wartawan. Lima kali, menurut hitungan sahih saya pernah melintas ke negeri seribu lembah itu.

Dan saya tahu persis kondisinya karena pernah menjelajahinya bersama seorang teman, Muchlis Sulin, dulunya koresponden majalah TEMPO sekaligus Redaktur Harian Singgalang.

Saya juga mengingatkan “Santos” untuk berkunjung ke Pasar Di Atas, memamah “lamang dengan tapai” dan mengigit pedasnya kerupuk “sanjai.” Saya juga memesan “kue talam ubi” dan memintanya melahap sebagai tanda persahabatan. Bahkan, kami secara bergurau mengungkapkan betapa nikmat “kua talam labu” yang bagian bawahnya dari beras ketan dan “kepala”nya dari polesan labu tanah yang dikukus.

Santos mengiyakan seluruhnya. Maklum saja, ia memiliki waktu luang karena jarak etape Lubuk Sikaping-Bukittingi lebih pendek dan waktu tempuhnya juga lebih cepat karena kontur jalannya menurun.

“Adios rakan,” tutup saya, yang tidak ingin mengganggu kenikmatan “Santos” bergowes ria sembari istirahat di Tugu Khatulistiwa. Setelah gowes sepanjang 25 kilometer dari Lubuk Sikaping mereka melintasi garis Khatulistiwa yang berada di Kecamatan Bonjol, Pasaman.

Peserta yang hari ini mengenakan seragam oranye berhenti di Tugu Khatulistiwa untuk mengabadikan gambar. Tugu Khatulistiwa di Bonjol ini tidak terlalu besar dibanding yang berada di Pontianak, Kalimantan Barat.
Namun, salah satu peserta dari Jakarta, Anan Priyanto mengaku sangat beruntung dapat menginjakan kaki di garis Khatulistiwa itu. Gowes dari Lubuk Sikaping ke Bonjol menurutnya juga belum terlalu berat.

“Kita dikasih bonus, jalan turunan sampai Tugu Khatulistiwa. Selepas tugu, siap nanjak 50 km tampa putus,” kata Anan saat dihubungi Kompas.com, Kamis.

Peserta yang berjumlah 46 ini juga menyempatkan diri untuk melakukan penanaman pohon, di antaranya pohon matoa, mahoni, ketapang, gaharu, dan durian

Saat ini mereka melanjutkan gowes menuju Bukit Tinggi. Jalur yang dilalui berbukit dan peserta akan lebih banyak menjajal kontur menanjak. Mereka akan mengayuh pedal-pedal sepeda mulai dari ketinggian 200 meter dari permukaan laut (mdpl) hingga 958 mdpl

Exit mobile version