Hari itu, di akhir pekan ke dua bulan Maret. Hujan renyai baru saja membasuh “hutan” kecil, di pangkal Jalan Cik Ditiro itu.
Akar pohon yang menyembul di lahan seluas hampir seribu meter persegi itu menyatu dengan tanah gembur bercampur pasir mememunculkan tiga onggokan tiang beton bekas pondasi “stasion spoor koetaradja.”
Tiga onggokan itu n mencairkan seluruh kebekuan ingatan kami dan terhubung dengan sejarah panjang lintasan kereta api Aceh. Kami bisa mengenang sejarah awal kejayaan portal “acheh staats spoor” itu.
Kenangan ketika di sana masih berdiri sebuah bangunan setengah terbuka. Bertiang penyangga baja disertai nyanyian loko lansir dan derit gesekan roda besi bergemericncng di atas rel.
Bergemerincingnya kenangan dari percikan bunga api kayu bakar penggerak mesin “spoor” yang bertebaran memanggang baju dan celana penumpang.
Sebuah kenangan, ya masya Allah, menempel dibanyak kepala banyak orang, terutama para manula. Kenangan di sebuah stasiun kota, yang menghubungkan Ulee Lhueue-Koetaraja hingga ke Besitang.
Juga kenangan ketika anak-anak Lambaro, Sibreh, Montasik, Indrapuri maupun Seulimeum, bersekolah ke Koetaradja. Kenangan nyak-nyak dan abu-abu di pelosok “gampong” ber”tamasya” ke Koetaradja.
Stasiun, yang pada waktu itu, menjadi “ikon” kota. Stasion tempat berotasi dan adaptasinya kultur komunitas masyarakatnya. Stasiun yang juga menjadi cerita oleh-oleh bagi pelayat untuk dibawa pulang ke udik-udik Aceh.
Kini stasion itu telah raib.
Dia tak meninggalkan jejak fisik yang utuh untuk mengantar ingatan masyarakat akan kemegahannya. Tak ada lagi bangunan kantor stasion dengan loket penjualan karcis, yang telah dirubuhkan, dan kini menjadi Kantor Laka Polisi.
Dan di ujung usianya, masih bisa dikenang Ismail M Syah, wartawan sebuah koran lokal, di akhir tahun tujuhpuluhan. Kenangan terhadap seorang penjual soto, Pak Bambang dengan gadis kecilnya si Neng, centil dan cerewet.
Siapa tak kenal Anton Sitorus, jago catur, yang ramah dan selalu menyapa setiap orang dengan kata “horas”
Anton yang malang melintang di stasion itu sejak akhir lima puluhan dengan mulut berbusa menjelang tengah malam karena “tenggen” meniup arak lokal.
Aksen bataknya yang kental sering mencerocos sebelum membentang karton sebagai “kasur” di pojok loket dan paginya menantang siapapun di meja catur di samping kantor stasion dengan taruhan bayar makan siang.
Bahkan Kak Nur, pemilik warung Inti di Penayong, bisa dengan manis mengenang awal usahanya di stasion depan masjid itu dengan berjualan “bue gurih,” di depan loket penjualan karcis ketika portal itu di ujung maut.
“Saya ingat betul ketika stasion itu mulai semraut dan saya diajak jualan di sebuah petak persis di depan loket. Stasion waktu itu masih ramai,” kata perempuan asal Bambie, Pidie, yang berjualan di pertengahan tujupuluhan itu.
Juga tak ada lagi deretan rumah papan milik para masinis, porter dan karyawan lainnya di selatan stasion, dan kini menjadi bangunan swalayan Barata.
Juga tak ada hiruk pikuk gemerincing roda yang memilin rel ketika kereta lansir dengan suara klakson angin bersuara tuuuutttt…..tuuuuut… yang memekakkan telinga..
Tak tak ada lagi percikan api yang disapu angin dan hinggap di kemeja penumpang hingga bolong dari uap kayu bakar penggerak mesin.
Semuanya memang telah raib.
Raib bersama timbunan ingatan Harun Ali, sebagai anak generasi sebelum perang yang menjalani ritual bersama “Acheh Spoor,” ketika moda angkutan itu berada di puncak kejayaannya, di pertengahan tigapuluhan.
Anak Montasik, mantan pejabat di Pemda Aceh itu, menjadi komunitas “geuritan apui” sejak ia masih murid di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP dan hanya ada di Koetaradja.
“Sebelum subuh saya sudah berangkat dari rumah. Kadang shalat subuh di Sibreh,” ujarnya mengenang masa itu.
Di dalam gerbong Harun remaja berpilin dengan penumpang lain dan selalu merapat ke jendela untuk menebarkan pandangannya ke persawahan dengan kebun sayur di sepanjang pinggiran rel.
“Saya masih merindukan dentuman dan gesekan rel yang suaranya berciut-ciut. Indahnya. Nikmat,” ujar Harun dengan mata berkaca dan kata-kata tersekat dikerongkongan menahan haru.
Tidak hanya Harun. Razali Tjoet Lani, anak Lubuk yang lebih muda, bisa mengelupaskan kenangan berlapis-lapisnya untuk menyibak utang budinya kepada “spoor” yang telah mengantarkannya menjadi “orang.”
Secara emosional bekas guru yang kemudian sukses sebagai kepala SMS 2 dan pejabat di Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Aceh itu, bisa mengembalikan ingatannya dengan sempurna bagaimana ia selalu duduk di pojok sempit usai “memanjat” gerbong di stasion kecil Lambareih, di tahun limapuluhan.
Razali berkereta api ke Koetaradja ketika ia menjadi murid Sekolah Guru Bawah (SGB) setelah terlebih dahulu berperahu menyeberangi Krueng Aceh dari desanya, di Lubuk.
“Waktu belum ada jembatan. Kalau saya jalan kaki ke stasion Lambaro jaraknya bisa tiga kilometer,” katanya.
Guru sukses yang dikenang banyak muridnya ini sebagai pendidik terbaik, dua kali menyeka lelehan airmatanya, ketika bertabrakan dengan kenangan manisnya selama menjalani masa panjang di atas “spoor.”
“Indah sekali,” katanya dalam bahasa Aceh,”sulit melupakannya dan saya tidak perlu untuk merangkainya untuk diceritakan.”
Tidak hanya anak-anak sebelum merdeka yang ikut mengenang stasion dan kereta api di Koetaradja, anak-anak generasi lima puluhan, juga mewarisi “utang budi” walaupun “spoor” Aceh telah bersalin nama menjadi DKA
Kemudiannya PNKA,. Lanjut untuk episode berikutnta PJKA dan “innalillahi” di awal tujuhpuluhan. Mereka masih bisa berkisah tentang kuda besi itu.
Kamarullah, bekas syahbandar, anak Jalan Diponegoro, menyimpan kisah panjang tentang geuritan apui.
Kenangan di hari Minggu pagi ketika ia memanjat gerbong di kawasan “Spoordex” untuk “muge” ikan ke Ulee Lheue tanpa membayar karcis sering di ceritakannya dengan senyum kegembiraan.
Anak, asal Beureuneun, Pidie, yang merantau ikut ayahnya berjualan ke Koetaradja itu bisa dengan sangat sempurna menghamburkan seluruh tabungan memorinya tentang “spoor” ke Ulee Lheue
Ataupun harus pulang kampung dan berbaur dengan penumpang di stasion Koetaradja serta menikmati perjalanan memanjat Seulawah
Menikmati pemberhentian di stasion-stasion kecil mulai dari Lambaro hingga Keumireu dan dari Lamtamot hingga Padang Tiji.
Ia juga bisa dengan sangat runut mengisahkan naik kereta api di zaman pemberontakan DI dengan membayar “infak” sesukarela.
Kamarullah memang segelintir orang yang bisa mengisahkan stasion kota dan keberadaan “geuritan apui Aceh.” Sama seperti Syamsuddin, anak petani di Sibreh, yang menyimpan memori stasion dan berkereta api sebagai kenangan sakralnya.
“Spoor” dan stasion kota adalah hari-harinya tatkala usai shalat subuh, dengan ransum “beulekat,” ia harus bergegas menuju pinggiran rel, empat ratus meter dari rumahnya, untuk menjalani ritual rutin berkereta api ke sekolahnya di SMP Negeri 1.
Sebuah rutinitas yang ketika tiba di stasion Koetaradja ia menyaksikan kesibukan bak pasar besar.
Rutinitas ini dijalaninya bertahun-tahun pergi dan pulang. “Sebuah kenangan yang selalu dan selalu saya ceritakan kepada setiap murid betapa manisnya kehidupan saat itu,” ujar pensiunan Kepala SD itu dengan gairah.
Tidak hanya Syamsuddin ataupun Kamarullah yang mampu merangkai kisah tentang utang budinya terhadap “geuritan apui” Aceh itu.
Tapi ratusan bahkan ribuan anak zaman itu masih meninggalkan lapisan nostalgia yang tebal bagaimana ketika hari-hari menyenangkan harus antri di stasion Seulimeum, Keumireu, Indrapuri, Sibreh dan Lambaro
Terus hingga ke Padang Tiji, Idi ataupun Kuala Simpang menunggu tibanya rangkaian gerbong di tarik loko bertut…tut…tut…, dan bersedia berhimpitan dengan pedagang sayur di lorong-lorong gerbong kumuh “staats spoor.”
Kita bisa mengingat bagaimana sumpah serapah ketika percikan api kayu penggerak mesin beterbangan melobangi baju dan celana mereka.
Ataupun ketika mereka berkerumun di stasion-stasion lansir untuk jeda dan berpindah gerbong untuk meneruskan perjalanan.
Perjalanan, yang diceritakan dengan amat manis oleh Razali Tjoet Lani, ketika di suatu masa berkereta api ke Medan dengan ayahnya.
Cerita manis ketika menyinggahi stasion demi stasion dan memunggah kenangan itu ke dalam memorinya hingga tersimpan puluhan tahun secara utuh.
Sebuah nostalgia yang tak pernah mati, seperti diakui Razali Tjoet Lani ataupun Harun Ali yang meneteskan airmatanya ketika mengelupaskan lapisan kenangan mereka bagaimana “spoor” negara itu telah mengantarkannya menjadi “orang.”