Site icon nuga.co

Mencari Jejak Awal “ Spoor” Aceh

Inilah bangunan stasion dan jaringan rel kereta api Aceh pertama di kawasan Keraton, Kuta Dalam, Banda Aceh, yang kini persis di depan Masjid Raya Baiturrahman. Stasion ini dibongkar di awal tahun delapan puluhan tanpa meninggalkan secuil pertanda

Tugu kecil dengan lempengan prasasti tembaga dalam tiga bahasa, di bekas tapak stasion “staats spoor” itu, tak pernah menyodok perhatian.

Tersuruk di bawah pepohonan hutan kota, di pinggir tuas jalan Chik Di Tiro, persis di seberang pagar timur Masjid Raya Baiturrahman, ia diacuhkan karena bentuknya yang mini dan tak ada secuilpun papan petunjuk keberadaannya.

Tugu stasion “staats spoor”itu memang mini dalam ukuran.

Tegak setinggi dua meter dan lebar satu meter, beton yang dilapisi semen hitam berkerikil kecil, dengan bentuk setengah lingkaran dipuncaknya, menyendiri dari hiruk pikuknya arus lalulintas kota.

Tulisan dalam tiga bahasa di lempengan tembaganya, Aceh, Indonesia dan Inggris, sama sekali tak mengesankan. Bahkan, seperti dipertanyakan oleh Ridwan Azwad, pemerhati sejarah di Banda Aceh, tulisan di lempengan itu, selain tidak informatif dan lugas, juga tidak etis.

“Saya tidak tahu inisiatif pembangunannya. Kenapa tidak dicantumkan tulisan dalam bahasa Belanda. Siapapun tahu yang membangun stasion “geuritan apui” itu Hindia Belanda,” katanya dengan nada menggugat.

Bahkan tulisan di lempengan tembaga itu, dibuka dengan kalimat, “Ini adalah bangunan stasion kereta api yang pernah dibangun Belanda pada tahun 1874……..”

Sebuah kesalahkaprahan etika. Sama dengan kesalahkaprahan keputusan penggusuran areal lokasinya dari tata ruang kota, di tahun 1981, yang meratakan lahan lansirnya, serta menjadikan bekas lokasinya sebagai pindahan belokan memutar masjid yang meliuk ke arah Jalan Diponegoro.

Langkah penggusuran ini dilabeli atas nama kepentingan perluasan dan keindahan pekarangan mesjid raya.

Kepentingan yang dipakai untuk membujuk komunitas pemerotes agar menerima stempel keabsahan “pembunuhan” jejak stasion paling bersejarah itu setelah di ujung usianya, stasion portal distribusi logistik militer diawal pembangunannya ini, 107 sebelumnya, sempat menjadi terminal angkutan kota yang kumuh dan anyir.

Walaupun kumuh dan anyir selama dua tahun menjadi stasion angkutan kota ia masih menggoda komunitas pencinta “Acheh Spoor” untuk melampiaskan tumpukan kenangannya dengan tetirah ke stasion portal itu.

Mereka bisa bernostalgia di depan loket berjeriji besi sembari mengagumi siku-siku baja penyangga atap dibanyak sudut bangunan. “Masih ada sisa keramaian dan denyut kehidupan malam ketika itu,” kenang Abdullah, 73 tahun, kepala stasion kereta api Banda Aceh terakhir, mengingat kenangan indah di ujung usia stasion itu dengan nada getir.

Abdullah sendiri, di usia senjanya, masih sering nelangsa ketika harus melewati tapak lokasi stasion yang raib itu dari Seulimeum, tempat tinggal terakhirnya sejak pensiun. Ia memang hengkang dan pulang kampung usai stasion itu menemui ajalnya.

“Saya sedih, kenapa stasion yang sehebat ini sejarahnya tidak dijadikan museum seperti banyak stasion besar lainnya. Padahal latar belakang pembangunannya unik dan spesifik. Entahlah. Di sini lokasinya saja tak ada bekasnya,” ujarnya sentimentil.

Sentimentilnya Abdullah tidak seluruhnya benar. Tidak semua jejak sejarah stasion itu dipunahkan penguasa kota, ketika itu. Masih, ada pertanda “kecil,” untuk sekadar mengingatkan lanskap itu sebagai stasion “spoor.”

Di sisi selatan tugu, ada sebuah loko tua, yang disangga beton setinggi dua meter menjulang sendirian dalam pagar bangunan swalayan Barata dan dipunggungi kantor Kodim dengan pembatas jalan pintas dari Taman Sari yang permukaan aspalnya telah mengelupas.

Loko “baheula” bercat hitam dengan nomor registrasi di ketiaknya, BB 84 bewarna putih, produksi Weerkspoor, Belanda, itu menyepi sendirian dikegersangan petunjuk dan tak punya aura pikat. Tidak ada taman untuk membujuk orang menolehnya.

Menyedihkan. Bahkan tampilan loko tua itu jauh dari berkilau. Kumuh. Cat hitamnya mulai bersalin warna jadi kelabu. Bahkan cantelan gerbong ukuran mini dengan cat perak yang membingungkan banyak orang tentang kegunaan dan fungsinya mulai kumal diluberi lelehan karat.

Memang ada sebuah plang plat bertuliskan informasi ringkas tentang keberadaan lokasi stasion sekaligus perjalanan pembangunan moda angkutan itu diawal kehadirannya. Tapi urutan tulisannya tidak lagi utuh, bahkan bagian terbesar sulit dibaca karena kalimatnya sudah raib disapu lelehan karat dari lepuhan seng plat yang memenggal cat hitam di atas seng warna putih itu.

“Petunjuk yang semraut dan tidak informatif,” keluh seorang tua yang coba merangkai kalimat di plat itu, ketika penulis bertamu ke sana beberapa waktu lalu.

Padahal, sebagai loko, dimasa jayanya “staats spoor,” ia pernah menjalani ritual perjalanan Banda Aceh – Besitang pulang pergi dalam masa panjang. Dan secara keseluruhan monumen loko ini pantas iri dengan tugu Adipura, tetangganya di areal yang sama, tapi tampil lebih apik dengan taman bunga warna warni terpelihara mengelilingi telapak tempat berdirinya.

Sejarah stasion “spoor” ini tidaklah terlalu menterang. Pembangunannya, semula hanya diperuntukkan bagi portal distribusi logistik dan menunjang mobilitas pasukan, terutama pengamanan dan perluasan penaklukan di wilayah “kamp konsentrasi” melalui pendekatan agresif

Untuk itu rancang bangun bangunannya tidak “mewah.” Sebagai portal ia hanya ruang terbuka, gersang dengan sebuah bangunan berbentuk kantor yang menempel di sisi timurnya. Belum ada pepohonan. Jika dibanding dengan stasion Ulee Lheue, stasion Koetaradja masih kalah keren.

Namun begitu, setelah van Heutz menjabat gubernur sipil militer, kamp konsentrasi dihapus dan pendekatan terhadap terhadap pejuang tidak lewat gebuk dan hancurkan, stasion ini lebih difungsikan untuk kegiatan sipil.

Gerbong “spoor” jurusan Ulee Lheue dan Lambaro lebih banyak dimanfaatkan bagi penduduk sipil sebagai moda angkutan publik. Stasion Koetaradja juga di poles untuk lebih mengakrabkannya dengan suasana sipil.

Dan menurut Ridwan Azwad, ketika pengamat sejarah itu masih hidup, van Heutz lah yang menjalankan otoritas dengan kebijakan terobosannya memperluas jaringan rel melintasi perkampungan dan membujuk masyarakat mempergunakan kereta api untuk moda transportasi. Itulah sejarah kereta api dipublikkan dengan keramaian stasion hingga kematiannya.

Sejarah kematian stasion “spoor” kota itu pernah ditangisi komunitas generasi yang berutang pada perannya. Prof. Ali Hasymi, seorang tokoh Aceh dan pemerhati sejarah, juga salah seorang generasi yang berutang dimasa eksistensi “spoor,” ketika mengusulkan perluasan pekarangan masjid raya, waktu itu, pernah meminta pemerintah kota dan provinsi membangun museum kereta api di lokasi stasion.

“Ini untuk mengingatkan bahwa kereta api Aceh adalah kereta api negara pertama di Hindia Belanda. Bukan seperti kereta api di Sumatera Utara atau pun kebanyakan kereta api di Jawa yang dioperasionalkan swasta.

Deli Spoor Maatschappij (DSM) di Medan, Nederlandsch-Indisch Spoorweg Maatschappij (NISM) di Semarang ataupun Bataviasche Ooster-Spoorweg Maatschappij (BOS) di Jakarta dan Buitenzorg, semuanya milik swasta bukan milik ‘staats’ (kerajaan),” alasannya ketika itu.

Dan menurut catatan pula, kereta api Aceh di bangun bersamaan dengan pembuatan rel Jakarta-Bogor.

Exit mobile version