Site icon nuga.co

Menyusuri Heritage Spoor Priangan

Stasion kereta api Bandung. Hari itu pertengahan Februari 2014. Embun pagi masih membasahi atap bangunan tua itu. Matahari kuning menjilat dinding kiri stasiun sembari mempermainkan cahayanya di balik pepohonan trambesi di timur gerbang masuk.

Sepagi ini ratusan penumpang bergegas menuju peron, menenteng barang bawaan dan menunggu dengan sabar suara teng, ketika jadwal kedatangan dan keberangkatan diumumkan.

Saya datang lagi ke stasion itu setelah dua belas tahun absen. Tak ada yang berubah secara fisik. Stasion kereta api Bandung masih seperti dulu dengan kisi-kisi bangunan dan pelintasan spoor yang ribet tapi tertib.

Dua pekan sebelumnya, saya mengabarkan kedatangan saya ke Junie Rakhmat, teman lama, yang dulu bekerja di biro iklan di Jakarta dan kemudian “pensiun” ke “kampong”nya di bandung, dengan alasan ingin membangun kemandirian lewat usaha konsultan “desain eksterior.”

Kang Junie, begitu saya menyapanya, memang anak Bandung “totok.” Logat Indonesianya meliuk, lembut dengan lidahnya sedikit cadel karena kekurangan “vitamin er.” Dan saya selalu mencandainya dengan dengan ucapan “badek kamanak, kang!”

Hari itu di pertengahan Februari itu kami memang sudah janjian. Ingin menikmati alam bumi priangan” yang eksotik dengan berkereta api sembari menjajal kembali ingatan kami dengan “heritage” sepanjang pelintasan.

Dan ketika kami bertemu di gerbang stasion, saya disergap dengan sumpeknya angkutan kota yang ngetem di terminal kecilnya, dan tambah kacau karena berbaur dengan penjaja sarapan pag, dari bubur ayam, gorengan, hingga roti kukus.

Stasion kereta api Bandung, yang kami tahu sejarahnya, ini mulai beroperasi pertengahan Mei 1884, bersamaan dengan peresmian jaringan KA Bandung-Batavia lewat Bogor.

Stasiun pada bentuknya sekarang merupakan hasil rancangan tahun 1928 oleh arsitek Belanda, EH de Roo. Dia adalah arsitek yang juga membangun Gedung Sate, gedung pusat pemerintahan kolonial Belanda di Bandung, ketika Hindia Belanda telah memutuskan pemindahan ibu kota Jakarta ke Bandung.

Hari itu, Kang Junie menawarkan kepada kami untuk menikmati Priangan sesungguhnya lewat jalur kereta api wisata yang dimulai dari Bandung melewati i Kiaracondong, Tanjungsari, Rancaekek, Cicalengka, Citiis, Lebakjero, Cimanuk, Cibatu, lalu Nagreg di titik tertingginya..

Kami juga melintasi Ciherang dan Cipendeuy yang dikenal sebagai tempat istirahat kereta setelah melintasi jalur naik turun pegunungan.

Berkereta di bumi Priangan memang menimbulkan decak kagum dari keterampilan yang mendasari pembangunan rutenya.Jelas dibutuhkan keterampilan arsitektur dan engineering yang amat tinggi untuk merencanakan dan melaksanakan pembuatan struktur transportasi dengan segala kesederhanaan teknologi zaman itu.

Stasiun Cibatu, misalnya, kini menjadi sebuah stasiun kecil dari jaringan rel KA lintas selatan Jawa yang sebuah kota kecamatan, berada di wilayah Kabupaten Garut sekarang.

Pada masa awal pembukaan jalur kereta api oleh Belanda di Jawa, kota kecil di Cibatu ini ditetapkan sebagai pusat bengkel lokomotif uap masa kolonial. Salah satu dokumen yang menyebut bengkel lokomotif yang disebut ”depo” ini pernah mempekerjakan ratusan orang. Pastilah mereka pekerja lokal pribumi.

Saat ditutup, depo ini masih mempekerjakan empat ratusan pekerja. Sebuah jumlah yang besar. Maka, dengan segera muncul tanda tanya tentang hidup dan sejarah mereka, para buruh kereta api ini, untuk dilihat sebagai kesatuan dari kekayaan warisan.

Buruh kereta api merupakan pecahan fragmen sejarah kereta yang nyaris tak tercatat, padahal kehadirannya jelas pasti hidup bersama para kolonialis. Tahun 1920-an, apabila tulisan ini menengok sejarah sosial para buruh kereta api ini, bisa disebut inilah periode awal kelembagaan sosial modern bagi pribumi Jawa di tengah kemunculan modernisasi di tanah jajahan Hindia Belanda ini.
Yakni, para pekerja buruh kereta api.

Sebab, di lingkungan industri transportasi kereta api inilah, di antara komunitas pribumi yang sudah berhasil membentuk organisasi serikat pekerja permanen. Kelak, ini merupakan yang pertama dalam sejarah lembaga sosial modern di tanah Jawa di luar birokrasi.

Pada tahun 1948, dalam buku sejarah tentang gerakan militer di Madiun, ada catatan yang menyebutkan para anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di Madiun bisa mengirimkan delegasinya dalam konferensi di Yogyakarta.

Inilah serikat buruh yang amat berdaya, bahkan di masa penjajahan, karena SBKA pada masa itu bisa mengirim delegasi untuk konferensi di luar kota. Peristiwa yang bahkan tak akan terjadi di masa kini.

Saya di hari wisata itu membawa buku kecil Railway Heritage Trail: Bandung-Pangandaran. Anehnya, saya tak menemukan sepotong pun soal heritage tentang kepesertaan kaum pribumi..

Padahal, di kota sekecil Cibatu ini pernah ada hampir seribuan buruh kereta api yang memberikan dampak ekonomi tidak sepele.

Cibatu masa kini seperti sebuah desa kecil. Blog pribadi ada yang membahas tentang Stasiun Cibatu. Blog di Kompasiana pernah menyebutkan, pada tahun 1980-an, saat penulis blog masih remaja, Stasiun Cibatu seperti sebuah pasar rakyat.

Pada saat itu, stasiun berperan ganda dalam komunitasnya. Tidak sekadar titik jumpa dalam jalur transportasi. Stasiun bukan sekadar moda transportasi belaka, melainkan juga berkembang sebagai pusat peradaban, khususnya ekonomi, pastilah juga titik pertemuan antarkerabat jauh yang kini bertemu.

”Suasana malam di Stasiun Cibatu waktu itu sungguh hidup. Bajigur hangat, bandrek panas dan pedas, ketimus, leupeut, dan tahu merupakan menu yang menemani mereka yang menunggu si Gombar, kereta api lokomotif uap Bandung-Cibatu, menjelang subuh.

Di stasiun Cibatu kami menyaksikan sisa depo perawatan lokomotif uap dan ada sebuah loko yang menganggur. Di sebuah ruangan tampak sejumlah peralatan bubut untuk membuat baut, drat, dan aneka komponen mesin kereta api. Masih tampak jelas pada salah satu mesin ada label berukir logam tertulis angka tahun 1931.

Stasiun lama dan tua, dalam perjalan kami, sebagian sudah tak dioperasikan. Dan kami mengenang kembali pengorbanan dan derita pribumi, buruh kereta api.

Sebab, mustahil tidak ada pribumi yang telah ikut menggerakkan industri kereta api sebagai ”sejarah sosial” yang nyata ada, meski catatannya mungkin tak ada, tersingkirkan, dibuang, atau diabaikan. Sebab, merekalah para kakek nenek generasi masa kini pewaris republik yang sebenarnya.

Exit mobile version