Jalan Jaksa?
Ya, siapa warga “tua” Jakarta yang tak kenal jalan penuh kenangan itu.
Ya juga, kini, Jalan Jaksa, Jakarta Pusat, tampak lengang, terutama di malam hari
Tempat makan di sisi kanan dan kiri jalan yang biasanya ramai ditongkrongi turis mancanegara juga banyak yang tutup.
Bangunan yang terlihat ramai didatangi pengunjung hanya tinggal dua minimarket dan Memories Cafe.
Memories Cafe menjadi satu-satunya bar dan restoran yang hingga saat ini masih berdiri tegak menghadapi terpaan sepi pengunjung di Jalan Jaksa.
Saya terakhir kali kongko di Memories Cafe bersama teman-teman sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Harga bir yang kami sebut dengan bercanda kelewat murah–sekitar dua puluh delapan ribu rupiah per botol, membuat banyak orang sepakat memilih kawasan itu sebagai tempat pelepas lelah sepulang kerja.
Memories Cafe yang terletak sekitar dua ratus meter dari gerbang masuk dengan plang ‘Kawasan Wisata Malam Jalan Jaksa’. Ada tiga batang pohon yang dibalut dengan kain poleng–kain bermotif kotak-kotak berwana hitam putih khas Bali, sebagai penanda tempat ini.
Melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangannya membuat memori kongko bersama sahabat terulang di benak saya.
Hal itu dikarenakan dekorasinya tidak berubah sedikit pun sejak pertama kali beroperasi pada tahun delapan puluh; redup dan usang. Tapi nuansa suram tersebut hampir tak dipedulikan tamu yang datang demi bir murah.
Foto mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan mantan Presiden Indonesia Soeharto masih terpajang di dindingnya, seakan waktu di tempat ini berhenti di masa pemerintahan mereka.
Jalan Jaksa sebagai kawasan wisata malam memang berada di puncak kepopulerannya pada tahun sembilan puluhan.
Lagu ‘Red Red Wine’ milik UB40 berkumandang saat saya duduk di salah satu meja untuk berbincang dengan Helmi, sang pemilik Memories Cafe.
Helmi atau yang akrab disapa Pak Haji oleh warga sekitar, dengan panjang lebar menceritakan sejarah Jalan Jaksa hingga hari ini, khusunya Memories Cafe. Bernada sedih ia mengatakan saat ini Jalan Jaksa sudah memasuki masa kiamat.
Apanya kawasan wisata malam?
Sekarang jam sepuluh malam saja sudah kaya kuburan, kalau dulu jam tiga pagi masih ramai. Copot aja itu plang ‘Kawasan Wisata Malam Jalan Jaksa’ di depan, malu-maluin,.
Banyak faktor Jalan Jaksa menjadi sepi
Ssalah satunya ialah penertiban pedagang kaki lima saat masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang dirasa mengurangi serunya berwisata di Jalan Jaksa.
Padahal kemacetan di Jalan Jaksa bukan karena PKL, namun karena persimpangan lima di Jalan Wahid Hasyim.
Setelah PKL ditertibkan, Jalan Jaksa langsung sepi. Berimbas tutupnya banyak kafe dan hotel.
Sejarawan kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, mengatakan kalau turis mancanegara betah berada di Jalan Jaksa karena suasananya yang hangat.
“Warga di Jalan Jaksa itu ramah terhadap para pengunjung. Tahun-tahun segitu kan kalau orang liat bule masih suka nyorakin, tapi di Jalan Jaksa itu tidak,” kata Yahya saat dihubungi
Yahya lanjut mengatakan kalau Jalan Jaksa mencapai titik kepopulerannya sekitar tahun 1990-an. Hal itu bisa terlihat dari terselenggaranya Festival Jalan Jaksa yang pertama.
Festival tahunan itu awalnya berlangsung meriah, namun seperti yang diungkapkan Yahya beberapa tahun belakangan ini jadi terkesan dipaksakan.
Ia merasa kalau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Suku Dinas Pariwisata Jakarta Pusat terlalu banyak campur tangan dan meminggirkan partisipasi warga Jalan Jaksa. Padahal awalnya warga setempat yang bahu membahu mengadakan festival tersebut.
“Saya mengikuti rutin rapat-rapat itu empat sampai lima tahun yang lalu. Masyarakat ingin festival itu berjalan secara alamiah, tidak ada sekat. Selama ini kan berbaur, antara warga dan turis. Bahkan pedagang dan pengamen pun ikut membaur,” ujar Yahya, yang juga menjelaskan bahwa sekat yang dimaksud ialah keberadaan orang penting dengan agenda pribadi.
Tak hanya soal festival, pejabat-pejabat itu juga melakukan langkah penataan kawasan yang menurut Yahya meninggalkan karakter asli Jalan Jaksa.
Pedagang kaki lima ditertibkan sehingga jalanan yang bisa dilalui dua mobil itu terlihat sepi. Pengunjung tentu saja jadi berpikir dua kali untuk datang, padahal yang datang ingin merasakan keramaian.
Untuk itu ia meminta agar pemerintah bisa memberi kepercayaan kepada warga Jalan Jaksa untuk mengatur kawasannya, karena menurutnya Jalan Jaksa masih bisa dikembangkan jadi destinasi wisata yang menarik.
“Kalau terlalu banyak intervensi dari pihak-pihak tertentu, kan jadi banyak pagar yang diciptakan. Coba dihilangkan pagar-pagar itu, agar menyatu kembali,” ujar Yahya.
“Jalan Jaksa menjadi simbol bahwa Jakarta itu kota yang penuh keberagaman dan aman dikunjungi. Jalan Jaksa itu ibarat titik transit, pertemuan, perpisahan, cinta, dan cerita,” pungkasnya.