Kelebat gelap disubuh itu menjalar bersama azan dari masjid besar Stabat ketika mobil kami menginjak tapak jembatan Sungei Wampu. Hentakan pedal gas dari sopir yang menahan kantuk membangunkan seorang kawan seperjalanan, yang dengan suara malas, sedikit serak, menguapkan bisikkan tanya, ”kita jadi makan pagi di Soto Sungei Deli?”
Saya yang sedang menjadi driver mengangguk di antara dua derita perjalanan, gangguan kantung dan gerogotan lapar. Sang kawan itu sengaja menggoda karena ia tahu betul ritual rutin saya di Medan yang tidak pernah alpa berkunjung ke warung Soto Sungei Deli. Tidak hanya rutinitas, tapi sudah semacam rukun wajib untuk membayar fidiyah selera.
Bagi saya, Soto Sungai Deli, baik ketika holiday maupun ketika bermukim, bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan rasa lapar, tapi sudah menjelma sebagai pemuas dahaga. Tiga dekade lalu saya pernah menetap di Medan sebagai penulis di sebuah media dan menikmati kuliner Medan yang mempersandingkan masakan Melayu, Padang, Aceh dalam satu citarasa dan memadukannya dengan bumbu India yang menguapkan sensasi di setiap kali sendawa.
Soto Sungei Deli adalah perpaduan itu. Ada gelitik Padang yang pedas. Ada unsur Melayu yang kuahnya bersantan encer sedikit asin dan rasakan dengan ujung lidah, tusukan hangat merica yang menjalar di langit-langit setelah singgah di ujung lidah.
Wangi santan yang menyatu dengan tumis bawang merah dan bawang putih ditambah lagi suir ayam yang digoreng setelah dibumbui di mangkok sajian, menggelitik tetesan air hidung. Jangan lupa sebagai pamungkas nikmat, siramkan sambal kecap yang diaduk dengan bawang goreng bercampur cuka ke dalam adukan kuah. Dan inilah kuliner Medan Bang!
Rasa dari adukan bumbu itulah yang beriringan di pikiran kami ketika melewati Binjai yang sudah terang tanah dan mengusir sisa kantuk. Masih ada satu halangan lagi yang mengulur waktu kami sampai ke Soto Sungei Deli. Kesemrautan pasar pagi Kampung Lalang di Km 9. Saya selalu bergumam gemas kalau melintas di sini di waktu pagi. Kusut yang tak pernah terurai selama puluhan tahun dan, sepertinya disengaja oleh otoritas pemerintahan kedua kota, Binjai dan Medan.
Soto Sungei Deli beraktifitas sejak pagi hingga tutup pasca zuhur. Puncak keramaiannya di warung sederhana itu akan terjadi antara pukul 08.00 hingga 11.00 WIB. Itu kalau hari biasa. Kalau di ujung pekan, Sabtu dan Minggu, kalau ingin berkunjung datang agak pagi, sekitar pukul 07.00 WIB. Lewat jam itu Anda pasti tidak nyaman. Kerumunan pengunjung akan membuat Anda antri dan berebut tempat duduk dan meja dengan pengunjung lain.
Padahal di toko dua pintu milik seorang perempuan cina itu, yang ketika kami datang di pagi Sabtu usai lebaran, baru saja dipugar. Tumpukan meja dan kursi juga kelihatan lebih banyak untuk menampung tamu. Tapi pengunjung masih tetap bergegas mencari posisi.
Kadangkala, ketika berebutan tempat tak jarang kami kepergok dengan teman dari Banda Aceh atau Tapaktuan. Biasanya kami saling tergelak dan mengeluarkan sapa, “peu haba.”
Kami yang baru saja memarkir mobil di depan sebuah toko di ujung jalan Gatot Subroto setelah memutar dari Jalan Iskandar Muda, Jalan Gajah Mada dan Jalan Supratman. Kalau dari arah kota tempat ini lebih mudah dijangkat lewat Jalan Guru Patimpus dan sesampai di jembatan masjid Sungei Deli belok kiri dan di ujungnya nanti akan ketemu dengan warung soto ini.
Pagi itu kami dari arah Binjai dan itulah jalan pintas yang kami senangi. Bisa juga dari Glugur, itu buka favourit lintasan pendatang dari Aceh. Untuk menguji enaknya soto favorit saya ini, kami pernah membawa seorang teman Sigit, namanya, sekarang petinggi di Grup Kompas Gramedia Jakarta, ke jalan Sungei Deli itu. Ketika kami tanya apakah memenuhi seleranya, ia hanya mengerdip dan tersenyum penuh rahasia. Kami penasaran dan enggan bersinyinyir. Ketika besoknya kami singgah lagi seusai dhuha, ia sudah berada di sana dengan seorang stafnya yang bertugas di Medan.
Ia hanya tergelak dan mendekati saya dengan rasa malu sembari berkata, ”memang eeeu..nnaaakk… Bang.” Kemudian ia menceritakan bagaimana ia mencari tempat ini dengan jalan memutar. “Maaf ya,” katanya membayari kami.
Dulu sebelum kesemsem dengan Soto Sungei Deli, kami penikmat soto Jalan Riau. Beda dengan yang di Sungei Deli, soto Jalan Riau kuahnya berwarna kuning karena santannya agak “tebal.” Sedangkan di Sungei Deli kuah “tipis” atau jalang istilah di negeri saya.
Kedua jenis kuliner soto itu punya pelanggan favorit. Kalau sedang ketemu dengan Sjamsul Kahar, “Bang Sjamsul” begitu ia akrab disapa, Pemimpin Umum Harian Serambi, coba gelitik dengan pertanyaan di mana letak Soto Sungei Deli dan bagaimana mulanya ia berkenalan dengan rasanya yang memikat itu. Pasti ia tergelak, dan kalau lagi mood akan menyambar isu kuliner ini sembari mengakui dia “pecandu” berat makanan berkuah itu, selama beberapa dekade.
Di waktu zaman susah untuk menerbitkan koran dulu, sekitar tiga puluh tahun lalu, baik saya maupun Sjamsul sudah penggemar berat soto Medan. Sjamsul kala itu masih bolak balik Banda Aceh – Medan untuk menerbit setiap edisi sebuah koran lokal terbitan Koetaradja, tempatnya bekerja.
Maklum di Banda Aceh hanya ada satu percetakan milik negara yang masih mencetak dengan sistem baheula memakai mesin intertype berbahan timah dan diproof untuk mengeditnya hingga tangan berlepotan tinta.
“Apa nggak kena penyakit tebese kita dulu,” kata Sjamsul bila kami ketemu dan mengenang zaman sulit menjadi wartawan. Sedangkan di Medan sudah ada percetakan offsheet, yang kala itu dipuja sebagai sebuah kemajuan yang luar biasa.
Ketika harus berhari-hari menetap di kamar apak di Jalan Sisingamangaraja itulah para pekerja pers, bahasa kerennya, mencicipi makan mewah soto Medan baik yang ada di Jalan Riau maupun Jalan Sungei Deli yang kemudiannya terkenal Soto Sungei Deli. []