close
RemasterDirector_1a5c03258

Sudah lama hilang cerocok yang dulu menusuk tubir laut itu. Gak ada lagi jejak jembatan panjang yang selangkangnya di topang besi baja bersilang berlantai balok papan tim

Jembatan itu dulunya, seingat saya, dipasang rel ganda trek untuk digilas roda besi roli yang digulam buruh kapal guna menaik turunkan  barang ekspor impor milik toke cina dan melayu.

Barang ekspor impor seperti bal karet tim, goni fuli, bungong lawang hingga sabun lux atau pun gula, tepung kanji serta mentega merek plambon.

Bersamaan dengan hilangnya jembatan roli itu raib pula dermaga berlantai kayu seumantok di ujung jembatan.

Dermaga beratap seng yang tiang penyangga rangkanya dari besi baja setengah berkarat yang kala saya kanak-kanak sudah mulai lapuk di rajang usia.

Tentang dermaga itu, hingga hari saya menulis, ini masih segar diingatan. Dermaga tempat anak-anak muda mengeram malam dalam gulungan tikar pandan dan bantal kapas peak berbau apak.

Bersamaan dengan itu hilang pula sebuah pos jaga di pintu masuk  dengan tulisan usang dari plat seng  “verboden tugang” warisan kolonial di era jayanya aether oli minyak atsiri…

“Verboden tugang,” dilarang masuk.  yang supak itu digantung jika kapal koneklijke paketvaart maatschapaj singgah melayari rute laut teluk nauli, teluk bayur,gunung sitoli.sampai bengkulen

Selain itu sudah hilang bangunan gudang  permanen yang dinamai “gudang batu “ di kawasan “boom”  tempat barang milik toke cong lim dan asan pancing di tera.

Ya… itu petak kenangan paling tak terlupakan ketika saya pulang di hari semburat matahari pagi malu-malu keluar dari selaput awan nun di celah puncak gunung tuan arah  timur cerocok itu.

Bahkan di pagi itu sapuan pandangan saya tergagap ketika menatap kawasan belakang tokoh.

Belakang tokoh yang dulu menjadi tempat saya jumpalitan berenang dengan terjun kepala sembari berhahah ria…dan bersorak bila pancing mak kayak berhasil menyeret ikan bona.

Belakang tokoh itu legendaris. Sama dengan legendnya anak-anak yang lahir dan dibesarkan di sana.

Belakang tokoh itu merupakan punggung dari barisan pertokoan di utara kota yang mencercah laut tempat biduk dan pancalang dari barus, singkil hingga sibolga berlabuh.

Belakang tokoh itu, sering saya katakan kepada banyak teman seumuran yang masih mendedah donya, sebagai batas dari pagar gunung di sejumput tanah daratan yang bernama taluak.

Taluak yang berpagar gunung melingkar dari timur-barat dan selatan untuk kemudiannya menyediakan pintu masuk bagi kapal, boat, biduk dan pancalang untuk masuk ke pelabuhan.

Taluak, nama lain dari tapaktuan, sebuah anugerah alam. Bukit biasanya jauh dari pantai. Ini yang membedakan taluak. Saya tahu bukit yang dekat laut biasanya menghasilkan cliff. Tebing.

Tapi tidak dengan taluak. Di sana tidak ada yang namanya cliff

Taluak memadu ketiga-tiganya. Bukitnya di bibir pantai. Pantainya di pangkuan bukit. Di dekat paha bukit itu lebat pohonnya.

Itu sekadar gambaran tentang taluak yang bercerocok.

Bagi saya cerocok itu ikonik. Gak pernah menguap dari memori usai kapal kenekljke paketvaart maatschapaj enyah dan digantikan oleh kapal woyla dan woyli milik orang kaya oesman adamy.

Cerocok itu pula kala saya beranjak  remaja  jadi tempat penantian menunggu sampan bercadik milik mak buntu, mak jinak, si baju basi dan mak wowod pulang melaut dengan seikat ikan jinara.

Saya kehilangan itu semua ketika cerocok di hari saya pulang sudah berganti dengan dermaga beton yang polos. Dermaga yang haw… Gak membuat saya terpesona karena post modern-nya.

Saya tahu dalam perjalanan waktu selalu ada yang hilang. Yang hilang itu sebenarnya adalah momen biasa yang tak istimewa.

Saya ingin mengutip satu paragraph sebuah tulisan tentang yang hilang ini, Ia seorang penyair. Hidup di negeri empat musim.

Tulisnya: hidup hanya ‘terentang sepanjang bekas cakar kita pada pasir.’ Di ujung bekas cakar itu ada garis yang putus. Tentang hilangnya sambungan yang tak bisa diubah

Lanjutnya,  alam selalu memberikan pemandangan berbeda setiap detik. Seribu kali kita mengarungi alam seribu kali kita mendapati pengalaman berbeda

Di dermaga beton itulah saya tergagap di pagi pekan lalu. Ada sepi. Sepertinya saya tak punya apa-apa lagi  Ingatan saya tentang dermaga beton itu menjadi lusuh

Saya duduk di sebuah bangku pada pagi yang lambat itu. Ada yang hilang hingga  membuat saya hidup seperti tak bertempat tinggal.

Di sepagi ini saya terasing, seolah bukan bagian dari mereka.

Disaat itulah saya terkesima ketika seorang kawan lama menyapa Saya tersentak memandangnya  Apa arti “seorang teman”, pada saat seperti ini?

Apa arti teman ketika waktu berjalan tertatih-tatih. Waktu seakan-akan tak ada. Tapi betapa penuh paradoks semua itu

Maaf saya nelangsa. Keluar alur dari pangkal cerita tentang cerocok.

Bagi mereka yang pernah bertumbuh di kota ini dan telah gaek sekarang, kawasan tersebut dikenang sebagai tempat yang sulit untuk dienyahkan.

Banyak cerita yang saling adu sewot untuk mengisahkan. Bagaimana  besarnya ukuran ikan yang nyangkut dikail mak kakek. Atau berapa ember ikan tamban dan sisik kareh di jala mak sidik.

Kadang ada yang menambah-nambah cerita dengan pengalaman ajaib, ada yang ngaku ketemu makhluk hitam tinggi besar; awan putih menyerupai pocong melayang di atas laut.

Atau  harimau muncul bermain petak umpet untuk menangkap ambai-ambai di pantau kuala sarulah

Untuk itu saya gak ingin berimajinasi tentang tapaktuan ini. Ingin menulis apa adanya.

Seperti yang saya kutip dari catatan panjang controlir van de tar yang mengunjungi tapaktuan di tahun seribu sembilan ratus dua puluh dua. Lebih se abad silam.

Jabatan kontrolir pada masa itu setingkat dengan kepala kewedanaan atau kepala onderafdeling.

Kontrolir bertanggung jawab atas pemerintahan dan pengawasan di wilayah kewedanaan atau onderafdeling tersebut. Jabatan ini lebih rendah dari asisten residen yang memimpin afdeling

Tar menulis seperti yang diterjemahkan seorang bupati bernama kamarusyid di tahun lima puluhan.

Ia menulis laporan perjalanannya dari nias hingga sibolga, singkil dan tapaktuan

Dalam catatan yang gak diberi judul sepesifik itu tar bercerita tentang tapaktuan di selatan koetaradja. Ia membandingkan kota ini dengan kota-kota lain yang dikunjunginya.

“Tapi kalau menilik kepada pelabuhan saja, tapaktuan sangat bagus. Lebih bagus dari sibolga atau singkil maupun bayur.. Hanya perkara letaknya saja kurang baik. Sangat ke selatan.”

“Penduduk tapaktuan hanya dalam hitungan ribu. Sangat majemuk dengan bahasa minang pesisir berdialek barus -singkil.  Mereka hidup terutama sekali karena pelabuhan itu

Kampung-kampungnya seperti puak-puak. Bangunan tokonya hanya sebaris jalan lintasan. Ada beberapa keluarga cina sebagai pedagang.

Apa yang diungkap dalam tulisan itu adalah tentang negeri itu menghasilkan minyak atsiri. Pabrik minyak atsiri dengan desain modern berdiri di sebuah gak jauh dari cerocok.

Dicatatnya, inilah pabrik minyak atsiri termodern yang ada di hindia belanda dengan ketel-ketel uap dari baja yang di rancang  secara khusus di nederland.

Gak banyak yang ia tulis tentang tapaktuan selain keindahannya teluknya yang alami.

Tags : slide