Weh atau lebih dikenal dengan Sabang, bukan hanya Iboh, Rubiah dan Gapang. Atau pun Kilometer Nol serta Pantai Kasih. Sabang adalah pulau isitmewa dengan tiga undang-undang yang dilekatkan republik terhadap eksistensinya sebagai daerah terluar.
Pertama undang-undang tentang kotapraja yang menetapkan statusnya sebagai daerah otonom. Kedua dan ketiga adalah undang-undang perdagangan bebas dan undang-undang pelabuhan bebas, yang menyebabkan Sabang tidak mengutip bea masuk terhadap barang-barang impor.
Selebihnya Sabang tak ada bedanya dengan negeri lain, yang kalah bersaing meningkatkan pertumbuhan dan terhambat oleh kemiskinan infrastruktur dasar untuk bisa mensejajarkan diri dengan Batam, misalnya.
Ketiga undang-undang itu, ternyata tak mampu menebas hambatan Sabang untuk melambungkannya menjadi “zona buffer stock” perdagangan, walau pun letaknya berada di lintasan laut terpadat di dunia.
Sudahlah masalah perdagangan, dengan dua undang-undang pelabuhan bebas dan undang-undang perdagangan bebas, Sabang tak mampu berkembang, yang anehnyanya lagi, Weh tak mampu memacu jumlah wisatawan. Padahal, siapa pun tahu Sabang punya Iboh yang mengundang decak kagum untuk snorkeling dan diving karena alam bawah laut. Rubiah punya terumbu karang yang menyimpang ikan hias terbaik di dunia.
Bahkan Gapang, dengan pantai berlekuk dan pasir putih nan elok hanya dikunjungi rombongan turis lokal diwaktu liburan panjang. Selebihnya Sabang hanya sebuah decak kagum pendatang yang kesulitan mencari hotel kelas premium atau tidak tahu harus kemana mengisi perut untuk sarapan.
Sabang memang sebuah dilemma ketika, penegembangan pariwisatanya terhambat aturan syariat yang tak mampu mencarikan solusi untuk eksploitasi keindahan alamnya. Sabang, seperti seorang teman kami dari Singapura, hanya pulau keindahan yang dipalang dengan tulisan “verboeden toegang.” Pulau dengan banyak larangan masuk.
Sabang memang Pulau “Larangan Masuk” ketika turis tak bisa menikmai kebebasan destinasinya dengan hokum global. Sabang masih berkutat dengan turis kunjungan jam-jaman kapal pesiar yang disambut dengan tarian “ranup lampuan” dan kalungan bunga untuk diberitakan sekejap, lantas menguap.
Sabang masih belum menuntaskan “master plan” untuk apa keindahan Iboh, Rubiah dan Gapang didedikasikan. Sabang masih terjebak pada pelabuhan bebas dan perdagangan bebas yang kepalanya di lepas dan ekornya digenggam Jakarta. Sehingga pembangunannya, hanya berpusar pada dermaga dan gudang-gudang yang kapal besar tak ada yang singgah dan bangunan lapuk karena tak ada barang yang disimpan.
Datanglah ke Sabang yang warganya merasa “mbong” karena memiliki ribuan mobil “second” eks Singapura dengan BMW dan Ferrari, motor-motor Harley, seliweran di pulau ini yang garasinya tanah kosong dicelah-celah pohon kelapa.
Mobil-mobil mewah itu boleh berseliweran di Pulau Weh. Saat kapal ferry menepi ke Pelabuhan Sabang, ada mobil Mercedez-Benz S Class yang parkir di pelabuhan. Mentereng sekali bersanding dengan kapal-kapal penumpang dan muatan.
Setelah itu, mobil-mobil mewah lain tampak bertebaran di seluruh penjuru Pulau Weh. Di pemukiman penduduk, di pusat kota kecil Sabang, di pantai-pantai, di depan masjid dan warung kopi. Ada BMW, Mercedez-Benz, Ford, Jaguar, bahkan Ferrari!
Simaklah para “bloger” yang datang sebagai turis “backpacker” dan menuliskan mobil-mobil mewah yang berseliweran di berbagai penjuru Pulau Weh. Bacalah salah satu komentar salah satu di antaranya,”Pertama pas nyampe pelabuhan, di pinggir jalan ada Ferrari putih berdebu. Saya nanya ke supir kok bisa ada mobil mewah begitu”
Si supir hanya bisa bercerita, . Sabang adalah zona ekonomi bebas Indonesia. Tak ada pajak di sini. Mobil-mobil mewah itu datang dari Singapura dan Malaysia. Malah sii supir juga punya Land Cruiser tahun 2008. Harganya Rp 35 juta.
Ya, sebagai zona ekonomi bebas, tak ada pajak yang berlaku di Pulau Weh. Tulisan besar di pelabuhannya pun bertuliskan ‘Pelabuhan Bebas Sabang’. Terlebih lagi di pulau ini, harga mobil-mobil itu sangatlah murah dan pasti membuat mulut kita menganga.
Harga Rp 35 juta dari Land Cruiser punya si supir itu, harga aslinya Rp 5 juta saja. Rp 30 jutanya buat ongkos bawa mobil dari Singapura ke Sabang Harga mobil di Pulau Weh bisa sampai seperempat harga di pasaran. Rp 40-100 juta saja. Tak berbeda jauh dengan harga mobil Mercedez-Benz S Class.
Menggiurkan? Nggaklah. Tak ada kuota untuk membawa kendaraan itu ke luar Pulau Weh. Anda harus membayar bea cukai mobil mewah sebesar 40% dari harga asli plus pajak, itu pun kalau ada persetujuan Menteri Perdagangan. Dan izin atau persetujuan ini hanya pernah diperoleh sebanyak dua kali selama Sabang diberikan undang-undang perdagangan bebas.
Pertama ketika masa konflik, dengan kouta sekitar enam ribuan dan pemiliknya di daratan Aceh diberi tanda NA. Kedua pasca tsunami, yang jumlahnya sekitar dua ribu lima ratus dan di ujung plat nomornya ditandai deng X.
Lupakan saja impor mobil mewah itu. Kalau Anda ke Sabang di waktu liburan di pulau ini, nikmatilah fasilitas mobil-mobil mewah ini. Tak jarang penduduk setempat menyewakan mobilnya, atau mejadi supir mobil carteran bagi wisatawan. Anda bisa mengelilingi Pulau Weh naik BMW, Ferrari, atau Jaguar!
“Harga sewanya sehari Rp 200.000-an. Bisa pakai supir juga, tinggal tambah harga sesuai kesepakatan,” tambah Roma