Site icon nuga.co

Rigah, Very Nice

Pernah ke Subic?  Saya mengangguk. “Oo..yaa…! “ balasnya enteng.  Rigah?  Saya survive dan terperangah dalam keadaan  bingung  serta  menggumamkan tanya,”kok tahu.”  Saya terpaksa mengangguk kembali.  Dan lelaki bule  paruh baya itu tahu saya heng dan tanpa peduli mengacungkan jempol,  memonyongkan mulut,  lantas  berujar dengan nada bersahabat,  “Rigah very nice. All right.”

Itu penggalan awal  percakapan ringkas saya dengan sang bule,  Mike Rogers, consultant media asal  Los Angeles, negeri Paman Sam sana, yang pernah bekerja sebagai jurnalis di beberapa surat kabar dan jaringan televisi, ketika bertemu di Santika Royal Hotel di Medan, pekan terakhir November lalu.

Saya tidak ingat kenapa pembicaraannya  sampai  ngelantur ke Subic dan  Rigah. Yang saya tahu, ketika saling menukar kartu nama di panel  kecil yang membahas “Oligarki Pertumbuhan Media  di Indonesia” itu, ada kata Aceh yang terselip di card name kami.  Dan itu, mungkin,  yang memancing Mike mengajukan pertanyaan tentang Subic, plus Rigah ketika jam rehat pertemuan.

Dan entah kenapa pula Mike, begitu ia di sapa,  harus menyandingkan Rigah dengan Subic. Saya tak pernah bertanya untuk mengklarifikasinya hingga kami berpisah. Mungkin juga, secara intelektual, Mike mafhum saya bisa menterjemahkan latar belakang pertanyaan yang kemudian berkembang menjadi percakapan sangat mengasyikkan itu.

Kami,  di interval waktu yang  tersedia, saling menguatkan informasi  ketika  membahas kemolekan Rigah dalam konteks avounturisme wartawan. Avantourisme yang sangat khas Mike. Mencatat seluruh detil. Nama dan keindahan destinasi sepanjang lintasan yang pernah disambanginya  dua tahun lalu ketika bergabung, yang ia sebut sebagai voluntar,”  dalam tim advisor comunication USAID, lembaga bantuan pemerintah Amerika Serikat,   yang salah satu proyeknya, pasca gempa dan tsunami,  adalah  hibah pembangunan jalan interseksi Banda Aceh-Calang sepanjang 150 kilometer.

Mike menyebut kehadirannya dalam tim “tersesat” hingga membawanya   ke pantai barat Aceh itu dan mencatatkan  Rigah dalam memori dan diaiy book-nya  sebagai destinasi nomor wahid, di antara puluhan destinasi lainnya  untuk  sebuah travel story. Destinasi yang ia  bagikan eksotisme serta pesona keindahannya lewat surat elektronik, email, ke banyak komunitas  dengan menyebut kata beutyfull secara berulang-ulang.

Dan ketika dipengujung pembicaraan ia menanyakan bagaimana tentang perkembangan terakhir Lhok Kreut, Lhok Keutapang, Rigah dan  Geureute, setelah membuka dan mengeja  satu persatu nama itu dari Ipad-nya. Saya menggeleng sebagai isyarat belum  ada pembangunan  infrastruktur memadai  untuk mendukung kawasan itu  menjadi tujuan pelancong. Sedikit kesal dan muram, Mike mengumpat dengan suara pelan, stupid.

Rigah memang sebuah destinasi teluk yang  sangat eksotik dan ekslusif di kilometer 142-146 jalan Banda Aceh-Calang.  Dari Banda Aceh, dengan kondisi jalan sebagus tol itu ia bisa ditempuh dalam waktu dua jam. Waktu dua jam dengan pesona pantai sepanjang perjalanan yang bagaikan keping kecil keindahan surga  pasti tidak akan pernah membosan. Kalau dari Calang sendiri jarak waktu tempuhnya hanya lima menit.

Pesona Rigah tidak hanya ada  dalam catatan Mike atau tulisan dan cerita banyak pencandu destinasi pantai. Untuk itu  pula ia bukan tandingan bagi Teluk Subic, sebuah kawasan  bekas pangkalan angkatan laut terbesar  Amerika Serikat untuk kawasan Pasific di Pulau Luzon, Filipina

Dari sisi infrastruktur dan fasilitas, Subic sudah mengalami metamorfosa lewat pergeseran orisinalitasnya dari sebuah teluk alam menjadi sebuah pangkalan militer dengan penataan yang sangat canggih. Dan ini berbeda dengan Rigah, yang masih asri dan bertambah eksotik usai di tata kembali garis pantainya oleh tangan Tuhan lewat humbalang laut bergigi gergasi yang bernama tsunami.

Garis pantai dan lekuk daratan yang delapan tahun lalu masih di pagar oleh perkampungan, rumah-rumah nelayan dan pepohonan rindang, kini menjadi ruang terbuka dengan hamparan laut  biru bergelombang kecil yang dikurung dua ujung gunung dan dua pulau sebagai penjaga keharmonisan alamnya.

Tentu berbeda dengan Subic yang  memiliki infrastruktur yang hebat, walau pun kini sudah ditinggal pergi oleh militer Amerika Serikat,  setelah diusir oleh demokrasi revolusi kuning Corazon “Cory” Aquino. Rigah masih alami tapi  ditelantarkan oleh anak negerinya hingga terlunta-lunta dan mubazir.

Secara  kemiripan destinasi, mungkin keduanya  sama-sama menyandang katagori travel story. Baik Rigah maupun Subic,   memiliki pantai berlekuk yang bisa mengundang decak kagum setiap pelancong.

Rigah, seperti dikatakan oleh Mike, dalam emailnya kepada kami seminggu usai berpisah, dan ternyata ia  masih menyisakan nyinyir  tentang  destinasi pantai dan laut  itu mengatakan, “jangan preteli keasliannya, ya. Biarkan dia seperti apa adanya untuk dinikmati.”  Entah apa maksudnya, saya tidak tahu.

Rigah, sebenarnya,  sudah jauh berubah setelah memuai usai diayak gempa dan dimakan tanahnya oleh gigi gergasi laut,  humbalang atau tsunami, delapan tahun lalu. Perkampungannya yang dulunya berjejer di sepanjang teluk  mulai dari Lhok Buya hingga ke Gunung Padang sudah jumpalitan menjadi  kolam laut. Raib entah dimana lokasinya.  Teluk Rigah, kini,  secara postur ukurannya jauh lebih lebar dibanding ketika PT Inti Timber, HPH milik Pak Abdi  memanfaatkannya sebagai  dermaga ponton untuk mengekspor log dan kayu olahan di era kejayaan hak pengusahaan hutan.

Bahkan tapak lahan yang  dulu dijadikan Inti Timber untuk  lokasi  kilang penggergajian baloknya juga telah raib  entah kemana. Tak satu pun warga, ketika kami datang, bisa dengan pas menunjukkannya.  Rigah  sekarang, hanya menyisakan sejumput tanah di tebing gunung dan sisa rawa yang pepohonannya hutannya meranggas dan lapuk dimakan waktu.

Tapi jangan tanya pesonanya ketika sunset menari di kolam teluknya.  Cobalah takziah kesana ketika matahari menjejakkan kakinya di tepi langit.  Saksikan dengan takzim  tanpa mengedipkan mata bagaimana tebaran warna kuning kemerahan bermain di ujung tanjung dan menyemburkan warna kelabu di dua pulau yang membuat celah, bagaikan selat untuk keluar masuknya perahu, boat penangkap ikan dan kapal-kapal kecil.

Dulu, sewaktu booming ekspor kayu log, di laut dalam teluknya sering berlabuh kapal ukuran sedang untuk mengisi emas hitam itu. Kini teluk di bibir pantai samudera itu masih menjadi tempat favourit bagi kapal-kapal ukuran mini dan medium serta ponton untuk bersembunyi dari tamparan angin dan gelombang  tinggi kala musim barat yang ganas.

Tidak hanya sewaktu sunset menerpa  dan semburat cahayanya menarikan pantulan warna warni  di riak gelombang kecilnya,  Rigah mencapai puncak eksotisnya. Taqpi, cobalah takziah kala matahari timur menyembul di balik gugusan bukit  dan menyibakkan fajar yang menyentuh pucuk pepohonan yang kemudian menjalarkan uap magis  dikeheningan yang bercerita dalam diam tentang tanah daratan yang terkelupas, erang kematian mencekik, bahkan ketika semuanya jadi musnah ombak kecil di teluk Rigah itu bersahutan dalam bunyi krseekk.. kressukk.. sekan mengatakan telah terikat segepok janji keikhlasan atas kepergian semua ketika  takdir menjemput.

Rigah juga tak akan tenggelam dalam terik matahari siang. Ketika kami lewat ke sana di hari pertama bulan Desember dan memarkir mobil ke tanggul batu  penahan abrasinya di kilometer 145  serta menyantap nasi bungkus bergulai pakis, gradasi laut berwarna birunya sedang meluik ditampar angin  bersama uap asin di tabir langit teluknya.

Ketika itu kami menyaksikan telah tumbuh puluhan pondok  reot bertiang kayu bulat, beratap plastik dan  menyakitkan pemandangan karena tidak ditata secara apik. Ketika kami membeli sebotol air mineral, Khairun, sang penjualnya mengatakan sudah dua bulan terakhir ini dia membangun hidup di teluk itu. Dikala liburan akhir pekan, ia bisa menangguk rezeki ketika puluhan pasang anak muda menyambanginya.

Tak jauh dari lokasi Khairun berdagang, berhampiran dengan Gampong Lhok Buya, di pelataran tanah timbunan bekas gubuk kontraktor pembangunan jalan tol non bayar itu sedang dibangun tempat rekreasi bergaya trendi. Menurut seorang pekerjanya, bangunan itu milik Pemkab.

Rigah tentu bukan sekadar pondok jualan Khairun dan lokasi permainan milik Pemkab. Rigah, seperti di pesankan kepada kami oleh Mike Rogers harus bisa seperti Lombok atau Labuhan Bajo dengan resort lautnya yang  berjembatan papan dan wisatawan tinggal mencemplung untuk diving maupun snorkeling melihat terumbu karang yang baru tumbuh setelah hancur di gulung gelombang laut dahsyat, tsunami, delapan tahun lalu. []

Exit mobile version