Lambodong? Ya, Lambodong, pulau dengan sejumput tanah dalam gugusan kepulauan tak berpenghuni. Sejumput dataran berpasir yang terbentuk dari tatahan koral yang hari-hari kami datang sedang meregang nyawa di ujung ajal dan dihampiri maut untuk bersemayam di pelukan laut.
Pulau, yang kini tinggal seluas lapangan bola, dengan hutan perdu yang menjalar di tumit kanannya dan barisan pohon kelapa di ketiaknya, serta bukit kecil di jemarinya yang ditumbuhi pandan laut, sedang memendam keperihan setelah dalam tiga tahun terakhir pantainya digerus abrasi tanpa ada yang peduli
Lambodong, begitu peta resmi milik kabupaten mencatat namanya, tapi anak-anak pulau menyapanya dengan lidah yang ditekuk, Lambedeng. Entah Lambodong atau Lambedeng, kini pulau mini itu sedang menunggu ajal.
Menurut Captain, sepuluh tahun lalu Lambodong masih empat kali luasnya dibanding ketika hari kami datang. Pulau yang dibanggakan Captain, meniru ucapan seorang seorang bule asal Prancis yang pernah menyewa kapal kecilnya, dengan sedikit belepotan Inggrisnya mengatakan, pulau itu trending island.
Pulau yang keindahannya makin memukau ketika mendekati sakratul maut. Pulau kecil yang piatu dan sulit ditemukan bandingan keindahannya di hari kami singgah menjenguknya. Ia menjadi surga bagi penggemar olaharaga mancing yang kenikmatannya, seperti diungkapkan Captain dengan tergelak, menjalar kala seorang pemancing melakukan gerakan strike.
Lambodong, seperti dikatakan Captain memang “surga” memancing. Untuk itu, kala kami berangkat dari Haloban, di Pulau Tuanku paginya, dan mengambil jalan memutar ke sabuk barat dengan melewati Pulau Lamun yang berpantai adem, dan Pulau Ragu-ragu yang sering menyesatkan pelaut karena sering mengganggu pelayat dengan halusinasinya.
Captain membisikkan kepada saya, “Kita memancing nanti di sana ya, Pak.” Maksudnya di bibir tubir karang Lambodong. Kami di pagi itu usai berpapasan dengan Pulau Ragu-ragu, beranjak untuk menyapa di kejauhan Pulau Balong sembari menitipkan salam karena tak menyinggahinya. Ketika perahu cepat kami tancap gas dan meninggalkan jejak buih di ujung Pulau Balong, Captain pun mendendangkan lagu milik anak pulau yang baitnya mirip pantun seperti rangkaian puisi sonata.
Nyanyian yang didendangkan dengan dialek “singkili” yang alunannya meliuk dan hinggap ditelinga bernada sember atau fals, yang kemudiannya diterbangkan sepoi di selangkang dhuha untuk mengikuti jejak angin yang membuat kami tergelak.
Dalam perjalanan di pagi yang diayun angin laut yang lembut dan matahari masih temaram karena disapu awan tipis, kami sengaja mengalpakan untuk memutar ke arah di Pulau Tambarat di sabuk paling luar gugusan Kepulauan Banyak karena kejepit waktu.
Dalam selancar kami ke Lambodong, usai memunggungi Pulau Balong di buritan perahu cepat Captain kami menghampiri Pulau Asok yang pas berada di ujung haluan. Di jalan jepitan selat sempit Pulau Asok inilah muncul kesepakatan baru kami untuk mengadakan pesta siang di Lambodong.
Kesepakatan ketika kawanan ikan selayar merayap terbang rendah di permukaan laut dan kecipaknya membuat riak serta melayangkan bunyi sraaattt…sreeett…. Bunyi yang memercikkan air yang dikepakkan sayapnya dan membasuh muka kami bak siraman air peseujeuk.
”Kita akan mengadakan jamuan siang terakhir di Lambodong,” saya membuat usul yang diucapkan dengan intonasi memaksakan sehingga ia menjadi keputusan final. Usulan itu pasti tidak dengan nada mengajak. Sigit Heryanto, teman seperjalanan, mengangkat alis pertanda persetujuan. Sedang dua teman lainnya hanya melepas senyum kecil dan mengangguk tanda setuju dan dijawab, “oke.”
Mendengar celotehan kami, Captain yang sedang asyik mengulur pancing di pantat perahu cepatnya tertawa lepas dan mengomentari sedikit panjang dan kemudian tersenyum sembari mengacung ibu jari kanannya sebagai keikutsertaan dalam acara yang kami rancang, dan berkata, ”Siip.”
Pulau Lambodong memang lokasi yang pas untuk “jamuan siang terakhir” kami karena di tanah yang sejumput itu, dan nyaris menjadi monumen merupakan trayek wajib yang harus disinggihai para traveler. Coba tanyakan kepada para petualang laut yang pernah datang ke sana, dan minta kepada mereka untuk menceritakan eksotisme Lambodong.
Jawabannya pasti seragam: eksotis! Para mantan traveler itu pasti memulai kisahnya dengan tarikan napas panjang, mendeham dan membongkar jalinan memorinya untuk kemudian merangkai kata yang terkadang berlebihan untuk sebuah pujian. Mereka pasti pula akan berpanjang-panjang mengisahkan tentang sepenggal keindahan alam pulau mini dan kenikmatan tinggal di daratannya.
“Hari ini kita kenduri,” kata Captain ketika jarak Lambodong sudah mendekat. Pelaut tangguh itu mengatakan, tak pernah ada turis yang ia bawa mengadakan makan siang bersama di Lambodong.
“Ini bukan kenduri biasa. Ini kenduri laut untuk sebuah berkah agar Lambodong diselamatkan dari kematian,” saya beretorika mengusik perasaan kawan-kawan traveler. Sigit berkaca-kaca. Yang lain menunduk. Entah apa yang ada di kepala mereka masing-masing.
Pulau mini ini yang entah kapan hari maut menjemputnya, memiliki semua syarat untuk merekat emosi para traveler untuk membuhul akad menjalin ikatan batin. Ia akan lekat di mainstream pikiran pelancong dan mengembarakan kenangannya ke gugusan kepulauan di pantai barat bagian selatan Aceh itu.
Di sana ada pertemuan arus tempat kawanan ikan melintas dan camar laut meniti buih sembari bersenda gurau dan menggelitik nak leu ataupun tandeman untuk melonjak kegelian. Ada suara jerit elang di langit awan yang sesekali menyambar kawanan jinara dan anakan suree dan melarikannya lewat cengkeraman kakinya untuk diterbangkan ke atas pucuk cemara nun jauh ke Pulau Asok ataupun Pulau Sikandang..
Tidak hanya pertemuan arus yang menyebabkan Lambodong menjadi lintasan kawanan ikan, yang menurut Captain terkadang bisa berkilometer panjangnya, tapi pulau ini juga memiliki karang terbaik bak terawang yang menjadi rumah rambeu maupun kakap atau pun ikan karang lainnya.
Laut pantai Lambodong termasuk sedikit dari banyak terumbu karang yang selamat dari detonator para jahanam laut untuk memungut ikan lewat jalan pintas. Mungkin mereka kasihan dengan kondisi pulau ini.
Ikan karang yang dihela oleh Captain dan tergeletak di lantai perahu cepatnya di siang itu yang akan menjadi santapan siang kami sebelum menyampaikan salam berpisahan di sore harinya dengan gugusan “surga” itu. Sebagian dari ikan karang itu adalah hasil tangkapan dari laut Lambodong.
Dan ketika kami mendekat ke pantai dan Captain memarkir perahu cepatnya di ujung barat Lambodong yang berpasir luas dan diteduhi pohon kelapa, semua rombongan bersorak ketika mencecahkan kaki di laut dangkal yang jernih sehingga menimbulkan riak di bunga karangnya yang membuat garis berkelok bagaikan gambar sketsa.
Dan sewaktu melangkahkan kaki ke pasir gemburnya, di siang yang panas itu, kami seperti fly entah ke dunia mana. Dunia mimpi bagaikan yang pernah dialami Robinson Crusoe tentang dunia keterasingan.
Kala kami melepaskan penat di undukan tanahnya yang mulai longsor dimakan ombak, seorang kawan dari Medan nyerocos, “Coba interval sebentar, camkan apa yang sedang digeliatkan pulau ini. Ia sedang tebar pesona ke Pulau Asok untuk mengabarkan kepedihannya. Ia juga berucap dengan Pulau Biawak dan Pulau Pabisi tentang usianya sedang menghitung….”
Di kejauhan dari Lambodong terlihat pula garis pantai Pulau Laureh dan Pulau Sikandang, dua pulau yang seakan menghampiri Lambodong dan memberi pesan ”jangan pergi dulu ke pelukan laut.”
Lambodong hari kami takziah memang sedang menikmati usapan angin timur yang lembut. Perahu cepat milik Captain yang parkir di bibir pantai terjungkat jungkit kegelian digelitik alun gelombang kecil yang sedang menepi untuk menabur buih di hamparan pasir.
“Hari ini pasang purnama sudah lama pergi. Datangnya bulan sabit menjadi pertanda bagi kami anak laut bahwa pasang sedang surut yang menyebabkan pantai-pantai di gugusan pulau menjadi lebih luas. Kalau pasang purnama, laut akan menenggelamkan pantai dan air berkecipak di celah akar serabut pohon kelapa.” Itu bunyi petuah Captain kepada kami tentang cuaca dan kebiasaan laut yang diwaris secara abadi oleh nenek moyang mereka.
Kalau musim barat, ombak berjingkrak membuat gejolak dan angin liar menampar permukaan laut untuk mengangkatnya hingga tiga atau empat meter. Kita kasihan melihat pulau-pulau yang ditendang gelombang. Meruntuhkan tebing pantainya, mengikis daratan dan menjungkalkan pepohonan untuk dipersembahkan menjadi sesaji ke laut dalam.
‘Tapi itu hukum laut. Hukum yang berotasi dan kami tak bisa menolak kodratnya,” kata Captain dengan sendu, berlainan dengan kebiasaannya selama tiga hari kami bersohib, banyak cakap, periang dan menggelitik dengan pernyataan yang terkadang spontan dan mengejutkan.
Siang itu Captain bersuara serak karena begadang semalaman di Haloban dengan komunitasnya. Sebagai pelaut sejati ia bukan hanya mengikat perjanjian dengan upah yang sudah disetujui, tapi ia juga tampil sebagai narasumber paling valid bagi kami dalam menangkap makna hidup anak laut.
Sama seperti yang dilakukannya di pangkal siang itu ketika menyiapkan perangkat pancing dan peralatan renang sederhana untuk memberi kenyamanan kepada kliennya. “Hari ini kita berpesta,” katanya terbahak ketika menenteng kotak penuh ikan segala jenis dan menjepit juaran pancing di ketiaknya.
Lelaki di usia mendekat paruh baya itu menunjukkan kepada kami tempat yang “seksi” untuk mengulur tali pancing, dan menunjuk arah yang lain untuk snorkeling maupun diving.
“Ideh,” katanya tergelak kepada saya dalam tutur Aceh yang gembur sebagai isyarat “ke sana,” ketika kami salah lokasi untuk menyelam. Ia mengingatkan tentang tarikan arus ombak surut yang bisa merepotkan penyelam pemula kalau harus menyelam di tempat yang tidak tepat.
Siang itu ketika matahari berpijak di ubun-ubun dan ritual “perjamuan terakhir” mendekati lengkap semua kami melafadzkan doa berdasarkan keyakinan masing. Dan ketika matahari rebah kami akan mengucapkan, bye…byeee… ke Lambodong dan singgah di Pulau Balai untuk sebuah ritual lain di kampung yang dulunya menjadi kota kecamatan tunggal bagi Kecamatan Kepulauan Banyak sebelum berpisahnya Pulau Tuanku dengan desa Haloban-nya sebagai Kecamatan Pulau Banyak Barat. Pulau Balai merupakan kampung terpadat dengan penduduk 1,500 jiwa dari 6.000 penduduk yang menjadi penghuni di tujuh desa kepulauan itu.
Tidak hanya Pulau Balai, kami juga akan singgah di Teluk Nibung, sebuah desa lain di Pulau Ujung Batu, yang sebagian penduduknya bertutur dalam bahasa Aceh dialek jamee yang sangat “pulau” itu. Secara etnis dan bahasa, penduduk Kepulauan banyak terbelah dalam tiga kelompok. Jamee yang mendominasi hingga 70 persen, Nias dan Haloban sebagai sisanya. Mereka juga menggunakan tiga bahasa itu dalam bertutur. Untuk mengingatkan setiap pelancong, nama-nama pulau yang ada di gugusan itu juga berasal dari tiga bahasa lokal itu dan diucapkan dengan dialek masing-masing mereka. Tak ada protes atas penamaannya. Dan itu mengisyaratkan adanya dinamika kemajemukan sebagai warisan kearifan lokal yang mereka miliki.
Dan ketika matahari benar-benar sudah rebah di Senin pascazuhur itu, dan angin laut menerpa pepohonan kelapa hingga mengeluarkan suara berdesir, kami sudah berdiri di tepian laut membuhul tangan dan berjanji akan datang kembali menyusuri gugusan pulau ini hingga ke Pulau Bangkaru, nun di sabuk luar bagian paling barat yang memang tidak kami sisakan untuk sebuah masa.
Pulau Bangkaru, pulau kedua terbesar di gugusan Kepulauan Banyak, yang kabarnya, tempat penangkaran penyu dan di kelola oleh seorang lelaki Swedia bernama Mahmud Bangkaru. Pulau yang tidak berpenghuni dan sering menjadi dakwa-dakwi antara NGO Lingkungan milik Mahmud Bangkaru dengan pejabat kecamatan memperebut lahan habitat penyu terkenal menjadi surga pecandu surfing di Ujung Lakita. “Ombaknya bisa mengalahkan surfing di Nias. Dan peringkat di atas lahan selancar di Ujung Lolok di pantat Pulau Tuanku.
Memang ada tips yang diselipkan Captain ketika kami menyepakati hasrat melancong ke Pulau Bangkaru. “Jangan menjadwalkan kunjungan di musim barat.” []