Matahari siang di hari Minggu itu tegak lurus di ubun-ubun kami. Setengah jam lalu Si Captain menepikan perahu cepatnya di dermaga kecil di tumit tanjung Ujung Sialit, sebuah kampung plural di jepitan paha batu karang yang tertata rapi pada tatahan punggung dataran sebuah bukit batu cadas.
Ujung Sialit bukan hanya sebuah kampung di lekukan pinggang Pulau Tuanku, tapi juga sebuah komunitas unik di pelataran masyarakat gugusan pulau di samudera luas itu dan menyempal dengan kultur serta keyakinan berbeda.
Semula travelounge kami tidak menjadwalkan kunjungan ke Ujung Sialit. Desa ini, semula, alpa mengisi daftar singgahan di petualangan yang kami namai “Jelajah Seribu Pulau” di tepian Samudra Hindia. Daftar kunjungan yang kami diskusikan lewat mufakat jarak jauh atau teleconference secara terjadwal dan kami cetak dengan fancy untuk dibagikan ke rombongan kecil dalam penjelajahan itu.
Kepada Sigit, di pagi minggu itu, di pantai Pulau Baguk, tempat kami mendirikan kemah kecil untuk bermalam dan menikmati terbitnya matahari timur sembari menyanyikan secara koor sebuah lagu masa kanak-kanak “Di Timur Masih Ada Matahari”. Setengah berbisik saya katakan, “Kita harus singgah di Desa Ujung Sialit.”
Ia tampak tergagap dan sedikit bloon, sembari mengembang telapak tangannya sebagai isyarat, terserah. Kepada anggota rombongan lain saya mengedipkan mata sambil mengangkat jari telunjuk ke atas, menggelengkannya dan itu dipahami mereka sebagai upaya minta persetujuan.
“Aku sih oke”, ujar teman yang berprofesi sebagai fund manager di Bursa Efek Jakarta (BEJ) memberi pernyataan. Yang lain mengangguk tanpa keinginan untuk membantah. “Habis ini tanah air mu”, dengus salah satunya dengan ketus.
Usai sarapan dengan mi instan dan ikan bakar kakap merah yang diborong Si Captain sore kemarin di Pulau Balai, Sigit yang juga eksekutif puncak di sebuah konglomerasi media di Jakarta itu bersungut meminta kepada saya untuk membuka tabir pentingnya Ujung Sialit disinggahi.
Saya tertawa kecil dan mengibaskan dua jari, telunjuk dan jari tengah, untuk membentuk huruf “V.” Sigit tahu saya tidak akan mau menceritakan latar belakang rencana persinggahan tambahan hari itu. Ia lantas beranjak setelah saya mengatakan, “No comment”, dan setengah meradang anak Semarang alumni Undip itu mengumpatkan kemarahan yang aromanya tetap menyertai nada bersahabat, ”Curang lu!”
Sebuah isyarat, sebenarnya ia amat tahu amat, sepanjang kami bersohib dalam pergaulan yang panjang, “humbalang” laut sekalipun saya tak akan pernah mengungkapkannya sebelum tiba waktunya. Mengungkapkan alasan kenapa harus menyambangi Ujung Sialit.
Hari kedua penjelajahan kami di pecahan pulau “surga” itu adalah berlomba menghitung jumlah pulau-pulau yang kami layari, mencatat namanya atas panduan Captain dan bertos-ria dengan janji akan datang lagi untuk mencocokkan kembali apakah pulau-pulau yang tersisa masih utuh usai tetangganya di gugusan itu dipeluk lautan dan ditenggelamkan tsunami ataupun karam oleh global warming.
Atas panduan Captain, yang tidak hanya terampil berzig-zag ria menelikung pulau-pulau yang sebagiannya hanya menyisakan sejumput tanah daratan dengan hutan perdu, pandan laut, pohon kelapa menjulang dan tidak berpenghuni, kami menyimak nama-nama pulau di taman surga di sudut lautan itu.
Kami memulai petualangan di hari yang cerah bergradasi biru dan sesekali ditampar angin timur yang lembut dan menerbangkan uap asin hingga ke ujung lidah, uap asin yang meregangkan pori-pori.
Berangkat dari Pulau Baguk, Captain meluruskan haluan perahu cepat ke sabuk selatan tempat Pulau Tapus-tapus bermukim untuk kemudian menyapa Pulau Panjang, mengerdip Pulau Rangit dan mengitari Pulau Palambak Kecil yang daratannya sudah hilang setengah menjadi milik samudra dan kami meninggalkan pesan akan datang lagi menjenguk hari kematiannya.
Di Pulau Palambak Besar kami rehat usai diving melihat koral di bibir pantainya yang mulai menjalin akar untuk rumah ikan, setelah di bantai bom nelayan Sibolga. Rumah ikan yang juga compang-camping ketika sehari sebelumnya kami takziah ke dasar laut di Pulau Sikandang.
Di Palambak Besar ini kami juga menikmati makanan ringan di bungalow yang berjejer di sepanjang pantai di sisi barat lekukan teluk berpasir putih itu. Bungalow, yang seolah berada di sebuah resor, berbangunan tradisional, yang menurut pemiliknya, banyak dikunjungi bule yang terkesima menikmati sunset di ufuk baratnya ketika matahari tenggelam di kaki langit.
Jangan pernah bertanya tentang pesona siluet yang menjalar di permukaan laut dengan warna kuning kemerahan dan kegelian ditampar angin senja hingga membuat jingkrak keindahan yang binal kala hari berganti malam dan meninggalkan jejak awan bersalin warna dari kelabu menjadi hitam dengan latar langit kuning emas hingga ke ujung tumitnya.
Dalam perjalanan yang hanya Tuhan Yang Maha Tahu kenikmatannya, di pertengahan lintasan ke Pulau Samut yang terik Captain menyengatkan sepenggal kabar yang berujung tanya. Setengah berbisik dalam dialek Jamee yang sangat khas Singkil, dia mengatakan, ”Apa kawan Bapak ada yang mau beli pulau?”
Ia memulai dengan “kawan bapak” karena ia sudah terlatih untuk membedakan “kasta“ orang berkantong tebal dan yang hidup pas-pasan.
Saya melemparkan senyum kecut seperti orang tersengat. Bahkan sempat nanar, sejenak hang setelah memori saya meriang. Dalam kondisi menerawang, menganyam kabar yang selama ini beredar, saya menyodok ke sorot matanya, sembari berujar spontan, ”Memangnya ada pulau yang mau dijual?”
Ia mengangguk. Kerongkongan saya mencegat pertanyaan lanjutan yang ingin saya gelontorkan hingga mengeluarkan sebuah desis kalimat yang tercekik bunyinya oleh rasa kesal dan marah kepada penguasa negeri ini yang membiarkan isu liar itu, kalaupun ia tidak betul, menjalar dan hinggap di kepala banyak orang termasuk Captain.
Selera travel saya terkulai sesaat, dan sebagai seorang jurnalis saya tahu betul antara isu dengan fakta. Dalam hati saya berjanji, isu ini harus diselesaikan dengan laporan investigasi. Tak ada teknik lain dalam profesi saya untuk merasionalkan selain, cover both side, berimbang, komprehensif, dan ditulis dengan semangat integritas.
Dan saya tahu bagaimana membangun kerangka outline, untuk memilah tema sebagai persiapan langkah awal sebelum menuliskannya, sehingga semua orang tersumpal keinginannya untuk membantah.
Saya tak memanjang pertanyaan kepada Captain, karena tahu ia bagian dari “pemirsa” semacam program infotainment semisal Kabar-Kabari, Silet ataupun Cek & Ricek yang ditengarai dua pertiga isi tayangannya bohong. Saya mengangguk dan membungkam cakapnya dengan meminta untuk mempercepat laju perahu cepatnya.
Usai menyusuri keindahan Palambak Besar, kami kemudian mengiris pantai Pulau Tuanku untuk melewati Pulau Samut, Pulau Dua dan Pulau Lamdah, yang semuanya tak berpenghuni dan mendoakan agar mereka tidak menjadi “dunia terapung” yang hanya meninggalkan jejak, sebelum akhirnya menepi di Ujung Sialit di sebuah dermaga kecil yang dua tahun lalu jembatan penghubungnya pernah ambruk.
Saya sengaja menggamit Sigit saat memanjat jalan desa di pinggang bukit batu karang dan melangkah gontai menuju ke pangkal jalan menuju kampung. Saya berbisik dengan suara tertelan, ”Di sini penduduk desanya beragama kristen. Dan inilah satu-satunya desa nasrani di kepulauan ini.
Itu kejutan pertama yang membuat sang teman tergagap dan cuma berujar, ”Ahhh…” Saya juga ceritakan, kalau warga di sini bukan orang Aceh yang berpredikat Jamee dan bertutur dengan setengah Padang. Mereka dari suku Nias, dan desa ini pernah menjadi trending topic dengan isu besar di ujung tahun tujuhpuluhan, ”kristenisasi”. Sigit, yang saya kenal adalah seorang katolik taat tapi menempatkan pluralisme di kamus hatinya, manggut-manggut.
Saya juga mengatakan kepadanya di tahun-tahun isu kristenisasi itu, saya “berselancar” selama sepuluh hari di antara pulau-pulau di Kepulauan Banyak mencari tahu kebenaran isu tersebut. Saya sempat ke Nias mendatangi sebuah aliran Kristen di sana yang dituduh menjadi “dalang” keributan yang gerejanya dikelola oleh seorang pendeta asal Jerman.
Persoalannya, warga Jerman, yang memiliki sebuah perahu cepat mewah, sering membawa jamaah gereja dari Nias ke Ujung Sialit sembari melakukan misa dan memberikan pengobatan gratis hingga ke Haloban hingga membuat gaduh tentang “sogokan” untuk beralih agama. Sebuah kisah “klasik” yang sangat mudah tersulut, hingga hari ini, karena terhambatnya komunikasi. Lantas merebaklah “sas-sus” akan ada pemukiman baru di Ujung Sialit untuk menambah jamaah non-muslim itu di sana.
Trending topic Ujung Sialit ini menebar pesona dalam laporan utama di majalah berita mingguan Stern di Jerman, mengisi rubrik di Christian Globe, The New York Times di Amerika Serikat bahkan menjalar hingga ke suratkabar prestisius Inggris The Guardian dan The Telegraph. Bahkan suratkabar paling berwibawa di Belanda, de Telegraaf membuat laporan khusus dengan mengirim wartawan seniornya Hans Dijrk untuk melakukan investigasi.
Kami bertemu dengan Hans dan kemudian berteman dengan jurnalis Belanda itu di Haloban. Haloban sebuah desa di Pulau Tuanku, dan kini menjadi kota Kecamatan Pulau Banyak Barat setelah membelah dari induknya di Pulau Balai, ketika itu merupakan kampung persinggahan eksotik di telapak kaki Gunung Tiusa.
Sempat terlibat diskusi khas jurnalis lewat seorang penerjemah yang dibawanya dari Medan. Di ujung pertemuan kami sepakat untuk menghampiri Pulau Laureh, Pulau Laman, Pulau Matahari dan mengakhirinya di Pulau Orongan.
Lupakan isu kristenisasi itu. Ujung Sialit hari kami bertamu adalah desa damai dengan keramahan yang pantas dikagumi. Ada empat desa di Pulau Tuanku ini. Desa Haloban, Asantola dan Suka Makmur selain Ujung Sialit sendiri. Desa yang terakhir ini, Suka Makmur, juga dihuni etnis Nias tapi beragama Islam.
Senja itu, mengikuti saran Captain, kami akan mandi sunset di lekukan Teluk Haloban setelah sorenya memuaskan dahaga akan keindahan pantai berpasir putih di sebuah resor di Pulau Tailana. Resor “mewah” khas bangunan anak negeri yang menurut pemiliknya pulau ini memiliki keindahan melampaui pulau-pulau atol di gugusan pasifik sana.
Datanglah ke sini dan jangan pernah melepaskan sekejap kerdip pun untuk membasuh mata dari pulau-pulau yang berjejer, berlapis dan menyembul sepanjang gugusan dan kemudian cetak di kenangan untuk kemudian lekatkan di otak kecil untuk diingat sebelum mati: Anda telah menemukan keindahan hadiah “Tangan” Tuhan. []