Suak Puntong, kini, bukan lagi kampung terasing. Ia bukan lagi tanah rawa dan pantai sunyi yang dialpakan dalam perjalanan ke Koetaradja atau ke Tapaktuan oleh dua gampong (desa-red) tetangganya, yang lebih dahulu terkenal, Alue Penjaring dan Kuala Tadu.
Suak Puntong hari-hari ini sedang melambung namanya untuk menjadi desa terkenal. Di sana, kini, telah berdiri sebuah bangunan megah di kiri kanan jalan negara. Bercat biru, bercerobong asap menjangkau awan dan penuh dengan silangan kerangka baja sebagai pengukuh sebutan untuk sebuah pabrik, pabrik “stroom” Suak Puntong harus dilihat dengan tengadah.
Memang, sebuah pabrik yang memproduksi listrik milik PLN telah berdiri di sana. Pabrik “stroom” model Suak Puntong dengan nama keren Pambangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara akan mengaum Januari mendatang, setelah lelet dari jadwal karena alasan teknis.
Pembangkit ini, nantinya, akan memensiunkan puluhan mesin pembangkit berbahan bakar solar yang tidak hanya membengkakkan angka subsidi yang selama ini beroperasi, sejak dari Banda Aceh hingga ke Kuta Fajar di Aceh Selatan, tetapi juga merepotkan operasional, pemeliharaann dan kontrak jual beli dayanya, bila harus menyewa kepada swasta..
Dengan daya pembangkit tahap pertama 110 Megawatt, dari rencana 2 x 110 Megawatt, pembangkit itu akan melayani seluruh kebutuhan listrik pantai barat Aceh dan mengirim kelebihan dayanya ke interkoneksi listrik Aceh – Sumut melalui jaringan transmisi Meulaboh – Tutut-Geumpang dan bersambung ke Beureunun.
Menurut hitungan awal, PLTU Nagan Suak Puntong yang nilai investasinya sebesar Rp 2 trilyun, akan menghemat Rp 250 milyar pertahun dari pemakaian bahan bakar minyak yang selama ini menjadi daya pembangkitnya.
Pembangkit ini bagian dari proyek fast track program, percepatan pembangunan pembangkit tahap pertama 10.000 megawaat yang dicanangkan pemerintah untuk memenuhi pertumbuhan lsitrik secara nasional.
Dikerjakan mulai 2008 dari dana pinjaman sindikasi luar negeri, semula PLTU ini dijadwalkan sudah bisa masuk dalam interkoneksi listrik Sumatera bagian Utara Juni lalu setelah pekerjaan fisiknya rampung bulan Mei.
Sampai dengan jadwal itu masih terjadi kendala di pembangkit, pembangungan jaringan transmisi dan pembangunan gardu induk sebagai penyulang. Pembangunan pembangkit sendiri sempat terulur akibat seretnya pembebasan tanah akibat ketidakcocokan harga dengan pemilik. Kawasan seluas 67 hektar itu yang tidak tepat waktu pembebasan tanah menjadi penyebab awl kontraktor mengulur jadwal pembangunannya.
Masih ada kendala lain yang mengganggu. Negosiasi peluncuran dana pinjaman akibat tidak dipenuhinya persyaratan finansial lainnya juga menyebabkan material pembangkit tertunda pengerjaannya. Apalagi dalam rekayasa pabrik yang berasal dari Cina memerlukan pengawasan yang ketat dari PLN, yang biasanya memakai standar Eropa.
Apalagi untuk rekayasa rancang bangun pabrik yang dikerjakan oleh kontraktor Sinohydro Corporation Limeted dari Cina, harus melakukan kaji ulang spesifikasinya karena menyesuaikan dengan jenis batubara pembangkitnya.
Menurut sebuah sumber, batubara yang menjadi bahan baku pembangkit PLTU Nagan, yang akan dipasok, termasuk kelas medium bawah. Bukan batubara terbaik semacam Kaltim Prima Coal, misalnya. Untuk itu rekayasa rancang bangunnya harus disesuaikan dengan bahan bakar yang ada.
Masih menurut sumber yang sama, untuk membangun gardu induk juga ada kendala lokasi dikaitkan dengan lahan yang tersedia. Beberapa pilihan untuk gardu induk sempat mengalami kendala, terutama untuk pembebasan tanah. Sehingga PLN memilih lokasi yang aman dan menghindarkan sesedikit mungkin friksi dengan masyarakat.
Menurut rencana yang sudah direvisi PLTU Nagan 1×110 megawaat baru bisa beroparasi Januari tahun depan. “Itu kalau semuanya sudah siip,” kata seorang pejabat PLN Aceh yang tidak mau namanya disebut karena tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan posisi PLTU Nagan secara teknis. Sedangkan pembangkit kedua yang dayanya sama besar akan bisa dioperasikan pertengahan tahun depan.
Dengan beroperasinya PLTU Nagan secara penuh, 2×110 megawaat, kebutuhan pelistrikan di Aceh akan bisa memenuhi kebutuhan 70 persen dari daya terpasang yang mencapai 300 megawaat lebih dan akan menurunkan biaya subsidi yang selama ini mencapai angka trilyunan rupiah pertahun.
“Yang paling monumental bukan berkurangnya angka subsidi, tapi untuk pertama kalinya Aceh mengurangi ketergantungannya yang sangat besar dari interkoneksi listrik dari PLTU Pulau Sicanang. Kita akan merdeka dari kergantungan secara menyeluruh nantinya setelah Pembangkit Tenaga Air Peusangan dan Turbin di PT Arun bisa masuk dalam interkoneksi Aceh,” katanya dengan nada gembira.
Dengan beroperasinya secara full PLTU Nagan kelak, persoalan dukungan energi yang selama ini menjadi kendala investasi industri di Aceh akan terselesaikan. Paling tidak masalah kebutuhan listrik yang menjadi alasan investor untuk membangun industri hilir akan menguap. []