Site icon nuga.co

Awan Hitam Blang Lancang Itu Telah “Soh”

Blang Lancang.

Hari saya datang di ujung pekan kedua Juni kemarin tak lagi menerbangkan awan hitam dan lidah api dari cerobong enam kilangnya.

Awan hitam dan lidah api yang telah “soh” usai keenam kilang itu dipadamkam. Awan hitam dan lidah api yang dulu membuat liukan dan mengibaskan ujungnya hingga ke ufuk langit Blang Rancung.

Nun di Cunda sana.

Enam kilang yang diucapkan dengan fasih “aneuk aso lhok” dengan nama train.

Ya,  enam train yang selama tiga puluh tahun menyangga  pergerakan ekonomi Jepang, Korea Selatan hingga Los Angeles lewat pembangkit listrik mereka untuk memberi nafas bagi pabrik-pabrik di negera itu

Blang Lancang yang saya tulis hari ini telah bangkrut. Bangkrut setelah ladang Arun mengering.

Ladang Arun di Syamtarila yang sumur-sumurnya mengalirkan gas ke Blang Lancang untuk  dicairkan. Yang kemudian dinamai liquefied natural gas. El-en-ge.

Ladang gas di blok be north sumatera. Yang salah satu bloknya pernah menyandang predikat terbesar di donya dalam hal cadangan. Gas yang kemudiannya dialiri lewat pipa baja berdiameter besar ke Blang Lancang.

Saya tahu blok be north sumatera kini sudah tua dan mengering. Tahu juga blok ini sudah diwarehkan ke perusahaan pembangunan aceh untuk dikelola oleh sebuah anak perusahaannya.

Yang saya nggak tahu apakah anak perusahaan itu lahir premature.  Sungsang. Atau bisa juga kelahiran normal. Saya pasti tahu perusahaan itu tak kan pernah setara dengan mobil oil maupun pertamina hulu. Tak akan…

Tidak seperti yang ditulis oleh seorang rakan saya yang menamakan dirinya ekonom yang terlalu optimis dengan kinerja perusahan lokal itu lewat tulisan, akan ada Arun jilid dua.

Macam jilid buku saja.

Seperti janji pejabat tertinggi tanah “aso nanggroe”  yang mengatakan prospek pengelolaan dan hasilnya akan mampu menyejahterakan “aneuk aso lhok.”

Saya sendiri tak tahu sejahtera yang bagaimana usai ia “soh,” pekan mendatang. Sembari bergumam dalam satu kata saya menerawang: miskin saja tak mampu ia hapus.

Tentang optimisme ini saya sendiri hanya bisa menulisnya dengan adem pekan lalu di “kolom bang darman” media acehtimes.

Adem untuk menenangkan banyak syedara yang menghujat sang pejabat di status netizennya.

Saya nggak tahulah bagaimana kelanjutan dari perusahaan itu nanti.

Sebab yang saya tahu di Blang Lancang,  pernah tegak sebuah perusahaan. PT Arun berlabel en-ge-el. PT Arun yang kisahnya berpilin di memori saya.

PT Arun yang sudah tutup buku. Yang di ujung pekan pertama Juni kemarin saya datangi kembali. Datang, yang entah untuk keberapa puluh kalinya. Yang kedatangan kali ini dengan tiket dan fasilitas gratis seorang teman.

Teman, yang sehari sebelumnya, mengajak saya bertakziah ke desa Arun, Landing, Sampoinet hingga menelusuri jalan pipa sembari melambaikan tatapan ke Blang Lancang dengan janji esoknya akan kami singgahi.

Sehari sesudah itu janji itu kami penuhi. Dari wisma kuta karang jalan pang lateh. Tempat kami menginap.Yang di pagi itu kami kami datangi ewat jalan pase terus ke jalan merdeka. Keluar ke jalan Banda Aceh-Medan.

Sebelum tembak ke Blang Lancang kami singgah sejenak di keudeu kupi cut nun di jalan teuku nyak arief.

Sembari meneguk kupi dan makan beu gurih sang teman menelepon seseorang yang saya nggak tahu siapa. Yang kemudian ia menatap saya:”Kita bisa masuk.”

Saya tak tahu bisa masuk apa. Tapi ia sedikit tersenyum. “Masuk ke blang lancang.”

Ooo.. begitu.

Saya hanya senang aja. Bisa masuk ke Blang Lancang. Kan masuk ke kompleks itu tak mudah. Si Ahok yang Basuki Tjahya Purnama saja tak bisa masuk, Di hadang penduduk. Padahal si Ahok komisaris utama pertamina.

Entahlah..

Saya lebih senang menyebut Blang Lancang usai Arun dikembalikan ke nama desa di Syamtarila.

Entah juga ketika kami begadang di malam sebelum ke Blang Lancang. Duduk di kawasan terminal Lhok Seumawe.

Dan sang teman, yang tahu seluruh a-be-ce-de dan perut sumur gas Arun mengisi cas baterei saya tentang gas alam cair dari keping-keping ingatannya selama di Arun, Lhok Sukon.

Selama ia menjadi sesuatu disana.

Tentang gas yang setelah dicairkan yang di punggah ke kapal tangki melalui rumpunpipa dengan nama gas alam cair. Kapal tangki yang dirancang khusus dari kejauhan terlihat berbentuk silinder.

Kapal tangki yang memilki isi sekitar satu per enam ratus empat puluh gas alam di suhu tekanan standar

Gas alam cair yang, menurutnya, dikapalkan agar lebih hemat sampai ke negara tujuan tanpa memerlukan jalur pipa. Seperti aliran gas Rusia ke negara Eropa, Jerman maupun Perancis.

Yang kini membuat negara blok ekonomi Eropa itu kelimpungan akibat tersumbat karena Putin cemberut dampak dukungan mereka ke Ukraina.

Kapal tangki ini dulunya  sering sandar di Blang Lancang.

Jenisnya kebanyakan membran atau “moss”. Seperti tanker Gemini yang sering terlihat dari kejauhan pantai Cunda.

Gas alam cair produk Blang Lancang ini, menurut sang teman,  sudah dibuang pengotor atau impuritasnya.

Tak ada lagi hidrorkarbon fraksi beratnya. Sudah dikondensasi jadi cairan lewat tekanan atmosfer. Didinginkan diangka suhu minus seratus enam puluh derajat celcius. Dan sering juga dinamai dengan kondensat.

“Gas alam cair ini beda dengan gas minyak cair,” ujarnya menuntun otak saya agar bisa nyambung.

Gas minyak cair itu dinamai dengan el-pe-ge. Berasal dari olahan petroleum

Dan  saya hanya el-pe-ge itu dipakai mak-mak untuk menanak menggantikan kompor minyak tanah dan kayu bakar.

Disubsidi lagi.

Untuk menghindari tekanan inflasi, Sebab, kalau harga dilepas ke pasar harganya naik. Lantas menyuarakan “koor” panjang. Protes.

Untuk itu el-pe-ge  bersama bahan bakar lainnya disubsidi oleh Jokowi ditahun anggaran sekarang sebesar empat ratus triliun rupiah.

Jokowi takut inflasi tapi tak takut untuk menggelontorkan duit besar untuk subsidi.

Ditulisan ini saya sengaja tidak menuliskan tentang komposisi unsur gas ini seperti yang diceritakan sang teman.

Terlalu teknis. Bisa bikin mumet membacanya. Yang saya sendiri ketika ia cerocos berusaha menahan kantuk agar tak membuatnya kecewa. Maklum sudah dibayari.

Selain itu saya pun keras dalam prinsip. Tidak semua yang saya tahu bisa saya katakan. Dan tidak semua yang saya alami bisa saya ceritakan

Yang bisa saya katakan kilang Arun di blang lancang itu dibangun di atas areal rawa dan tambak penduduk. Luasnya dua ratus tujuh puluh satu hektar.

Memanjang satu koma tujuh kilometer dan berjarak satu koma tujuh kilometer dari bibir lalu serta dilengkapi dengan pelabuhan khusus.

Ada dua pelabuhan khusus el-en-ge dan dua lainnya sarana pemuat kondensat yang dinamai single point mooring dan multi buoy mooring.

Gas alam  yang terkumpul di bawah tanah memiliki  keragaman komposisi.  Seperti komposisi minyak bumi.

Hidrokarbonnya memiliki daya tekan tinggi dengan daya kembang besar. Berat jenis spesifiknya rendah. Dibentuk secara alamiah dalam bentuk gas.

Kilang gas arun milik pertamina pernah mumbubuhi catatan sebagai perusahaan penghasil gas alam cair terbesar

Perusahaan ini memiliki  enam unit pengolahan. Saat ini telah padam karena menipisnya cadangan gas alam di Arun yang menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Jakarta.

Sejarah penemuan ladang gas ini dimulai tahun seribu sembilan ratus enam puluh delapan. Ketika mobil oil yang berpusat di Dallas mendapat konsesi lewat kontrak bagi hasil dengan pertamina.

Jenis kontrak ini bahasa kerennya di era saya sebagai reporter bernama production sharing.

Production sharing sebagai jargon pertamina untuk pencarian sumber-sumber minyak dari perut bumi di darat maupun di lepas pantai.

Kontrak milik mobil ini sendiri awalnya kepunyaan standar oil company. Tapi perusahaan itu mundur setelah pencariannya gagal. Sejak itu mobil mengerahkan pencariannya di Aceh dengan fokus utama aceh utara

Pencarian ini awalnya fokus untuk minyak. Pencarian sumber minyak ini adalah sebuah gambling. Perjudian. Akan mengeluarkan cost besar-besaran.

Mobil bisa sebagai contoh kasus gambling ini. Sejak fokus ke Arun perusahaan minyak dunia ini sudah melewati empat belas kali pengeboran. Hasilnya apes. Kandungan dioksidanya terlalu tinggi. Sulit dikembangkan.

Anda mungkin tahu berapa biaya untuk satu pengeboran. Baru di pengeboran kelima belas di batas desa Arun mobil bisa membuat pesta kecil.

Pesta ditemukannya gas dioksida rendah . Yang cadangannya setelah diteliti, besarnya ya ampun.

Saya tak hafal hitungannya. Ada angka triliunan kubik dengan em-em-em-be-tu di belakangnya. Sulit menuliskannya karena Anda pasti tak ingin membacanya.

Penemuan ladang ini pernah ditulis majalah mingguan, the weekly news magazine, “nesweek. Membuat heboh dan  saham mobil oil di bursa new  york exchange ..”booming.” Istilah lainnya,”terbang.” Melejit. Kapitalisasi mobil byar…

Mobil memang memenangkan perjudian panjang di ladang arun. Sebab, perjudian yang sama pernah di lakukan perusahaan minyak standar oil company of new york tapi gagal.

Gagal setelah pencariannya menemukan jalan buntu. Padahal standar oil lah yang mendeteksi adanya kandungan gas besar di aceh ketika mereka menggenggam kontrak bagi hasil di sumatera.

Dalam pencariannya ini mobil oil mendapat panduan pertamina. Yang memang sudah memperkirakan cadangan besar ini.

Angka tujuh belas triliun kaki kubik lebih cadangan gas ini kemudiannya diperoleh dari hasil uji eksplorasi. Dari seorang Bob Graves. Bob yang eksplorer. Pekerja keras. di Mobil oil.

Kejadian ini terjadi di hari ke tujuh puluh tiga eksplorasi.

Hari yang menjadikan mobil oil menjadi gula yang dikerubungi semut. Semut bisnis. Yang menyebabkan exxon raksasa minyak dunia lainnya berani menggelontor duitnya membeli saham mobil oil.

Sehingga perusahaan menjadi “gajah bengkak” setelah menyatukan namanya menjadi exxenmobil.

Selain itu Chiyoda, sebuah perusahaan raksasa Jepang juga bergabung lewat Jilco.

Penemuan gas Arun inilah yang kemudian mengukuh nama perusahaan gas alam cair Blang Lancang. Itu terjadi tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh satu.

Tahun ketika Blang Lancang mundur selangkah untuk memberi nama Arun di tanah indatunya. Yang menyebabkan banyak orang pikun melupakan nama tanahnya untuk bereuforia dengan hakikahnya Arun.

PT Arun NGL yang kemudian dikukuhkan sebagai nama perusahaan di Blang Lancang itu. Yang kepemilikan sahamnya terbagi: lima puluh lima persen pertamina, tiga puluh persen exxonmobil dan lima belas persen Jilco.

Penemuan gas ini pun terus beranak pinak. Hingga ke offshore. Lepas pantai. Untuk kemudian dikenal dengan nort sumatera offshore yang jadi penambal setelah ladang arun mulai berkurang.

Atas peenemuan inilah PT Arun didirikan sebagai operator tiga tahun kemudian. Dan empat tahun berikutnya melakukan ekspor pertama kondensat ke Osaka, Jepang.

Pembangunan enam unit pengolahan atau train pencairan gas alam di kilang Arun dilakukan melalui beberapa tahapan.

Train satu, dua dan tiga dibangun awal tujuh puluh empat oleh kontraktor bechtel. Untuk kemudian empat dan lima di enam tahun kemudian oleh chiyoda.

Setelah dua tahunnya japan gas corporation mengerjakan train ke enam

Ketiga tahapan pembangunan ini dilabel dengan arun project satu, dua dan tiga.

Ketika kami datang ke Arun yang Blang Lancang itu nama en-ge-el itu telah raib. Yang tersisa hanya enam kilang tanpa deru dan awan hitam dari cerobongnya. Tak ada liukannya yang mengibas Blang Rancung hingga ke Cunda.

Kini perusahaan kilang gas alam cair itu telah bersalin hidup menjadi perusahaan regasifikasi dan el-en-ge hub. Teraafiliasi dengan subholding gas pertamina

Cerita itu saya dapatkan dari percakapan panjang sang teman ketika kami duduk di sebuah ruang bekas kantor Arun usai tiba di blang lancang.

Cerita tentang perta arun gas yang akronominnya pe-a-ge. Dan menjalin kerja sama dengan axpo singapore, Anak perusahaan dari axpo group, perusahaan energi terbesar di Swiss.

Yang kesepakatan awalnya, head of agremeent dilakukan di Baden, Swiss,  Maret lalu

Perjanjian ini akan membuktikan apakah kemampuan pe-a-ge untuk berperan aktif dalam pemenuhan kebutuhan energi.

Kerja sama di sektor el-en-ge storage tank atau hub ini tentunya mampu menambah revenue bagi perusahaan.

Lantas pertamina gas  mengklaim, kebutuhan dan ketahanan energi di Sumatera bisa dipenuhi melalui terminal regasifikasi  Arun.

Terminal el-en-ge Arun mampu mengelola dua belas juta metrik ton per tahun. Meski fasilitas di sana berusia tua, kapasitas terminal Arun masih jauh lebih besar dibandingkan dengan milik Singapura.

Tangki ini bisa menjadi tempat penghubung daerah Sumatera dua belas juta ton per tahun. Kalau dibandingkan dengan  Singapura sembilan  juta ton per tahun.

Bagi saya Arun yang en-ge-el memang tinggal kenangan. Kenangan tersisa dari aset-aset yang telah diinventarisasi berupa lokasi produksi, cluster di Matangkuli,  komplek perumahan  serta fasilitas water intake di Peusangan.

Arun yang telah decommissioning.

Yang  sisa-sisa bahan beracun maupun bahan-bahan berbahaya sudah disterilkan.

Tapi tak pernah steril dari otak banyak anak negeri ini ketika sisa kemiskinan yang ditinggalkanya masih menjadi beban sejak dari indatunya.

Exit mobile version