Komisaris?
Ya.
Saya ingin menulis tentang posisi jabatan ini
Alasannya, karena saya sedang menuju proses untuk menjadi komisaris. Komisaris di sebuah badan usaha. Swasta.
Jadi komisaris karena diajak oleh seorang teman karib. Komisaris di perusahaan investasi.
Ketika ajakan itu datang lewat hape, tahun lalu, saya mencandai sang teman dalam bahasa proken.
“Gila apa lu. Gua jadi komisaris? Ah..nggaklah. Gua nggak punya bakat untuk jabatan itu. Udah menjelang koit,” itu jawaban saya.
Namun sang teman, dengan nada serius tak peduli dengan jawaban ngacau saya. Ia dengan intonasi rendah meneruskan ajakannya dengan mengatakan,”Ini nggak main-main ngon.”
Saya masih menggunakan bahasa preman sebagai jawaban. Tapi saya juga tahu dia serius. Serius dari panggilannya untuk saya. Panggilan ngon. Panggilan persaudaraan kami sejak puluhan tahun pertemanan.
Pertemanan hingga ia mencapai puncak karir dewan direksi disebuah grup usaha hebat di Jakarta. Karir hebat yang tak pernah meruntuhkan buhul persahabatan kami. Buhul persahabatan hingga menjadikan anak kami sebagai kakak adik.
Buhul yang ikrarkan di hari pernikahan anak saya lewat ucapannya:”katakan dengan…. ia adalah anakku sampai kapan pun.”
Buhul yang juga, ketika cucu saya lahir, ia mengatakan : Itu cucuku ya.
Entahlah. Saya nelangsa. Untuk akhirnya mengiyakan usaiia membeberkan semua skenario dari road map bisnis yang saya jadi komisaris
Jadi proses saya jadi komisaris sebuah jalan lurus. Jalan untuk kepentingan yang Anda tahu sendiri
Bukan seperti komisaris yang sedang diemban anak seorang kolega saya. Walau pun namanya sama, jalan dan lahannya beda. Dia di padang ilalang badan usaha milik negara.
Memang apa pun lahannya namanya sama.
Sama juga dengan predikat seorang teman saya yang sudah mantan komisaris. Juga di sebuah perusahaan plat merah. Dulunya
Kedua mereka menjadi komisaris dan mantan komisaris sebagai wakil pemegang saham yang dipilih sebagai hadiah lewat sebuah tawaran.
Kalau saya ditunjuk.
Anda harus mengertilah antara ditawarkan dan ditunjuk itu. Walaupun dua-duanya dipilih atas nama sebuah keputusan bernama rapat umum pemegang saham.
Kalau sana, mereka, di tunjuk oleh pemegang saham tunggal. Negara.
Kalau sini, saya, kesepatan bersama. Mewakili salah satu pemegang saham.
Tentu Anda bete ingin tahun nama yang sana itu.
Saya nggak mau menulis nama mereka. Yang sana.
Biarlah anda mencari tahu sendiri. Paling saya hanya bisa memberikan sedikit informasi. Itu pun abu-abu. Nggak terang. Apalagi terang-terangan
Keduanya anak Aceh. Aceh benaran. Malah salah satunya, yang mantan komisaris di sebuah badan usaha milik negara, baru saja ber wa ria dengan saya.
Biasalah. Kami sering saling sapa. Saling sapa karena arah mata angin negeri kami sama. Negeri yang dulunya disapa dengan aceh ketelatan. Yang juga diplesetkan sebagai “negeri di naca.” Negeri di ujong donya kalau bahasa semburannya.
Sang kawan kini sudah kembali kekhitahnya sebagai peneliti dan memberi tahu saya usai membuat sebuah podcast dengan mengambil tema yang sangat Aceh.
“Jangan lupa subcribe ya,” katanya dalam bahasa indatu.
Yang satu lagi?
Ia anak kolega saya, Masih dalam hitungan pekan “diangkat” menjadi komisaris di sebuah badan usaha milik negara.
Dan dia baru saja menulis tentang jabatan barunya itu usai bertugas sebagai anggota direksi di perusahaan milik negara juga. Perusahaan tua yang digerus zaman. Digerus oleh digitalisasi yang serba cepat.
Komisaris yang anak kolega saya ini dulunya seorang jurnalis. Ia berangkat dari aktifis kampus. Berseberangan dengan sebuah orde. Di eranya sang anak kolega itu memang kenyal.
Kenyal karena berani melawan kemapanan. Bahkan pernah berdemo dengan jargon “mogok makan.”
Pendidikannya lumayan dan memilih jurnalistik sebagai pilihan hidupnya, Sebagai jurnalis ia sempat lompat lompat dibeberapa media. Dan tulisan-tulisan, dulu, nyelekit. Terkadang tengil untuk menghardik kekuasaan.
Lantas, bagaimana setelah ia menjadi bagian dari “kekuasaan?” Ia masih tetap menulis. Aktif di facebook. Namun sudah melunak. Dan saya nggak kesemsem lagi membacanya jurnal dan repertoarnya. Seperti pemujaan terhadan rejim.
Malah salah satu tulisan terakhirnya tentang ibu kota negara bernada angkat telur. Saya hanya melihat gambar, membaca judul untuk kemudian meneruskan ke alinea pertama dan daa..daah….
Padahal, sebelumnya saya bangga dengan dia.
Sering mengabarkan kebanyak teman, yang muda dan para gaek, bahwa ia asset kita.
Bahkan ketika dia menjadi chief editor di sebuah media berbahasa inggris di kawasan Pal Merah, Jakarta, saya sering menanyakan eksistensinya kepada teman di lingkungan grupnya.
Maklum, saya kan masih punya jejak dan teman dilingkungan elite grupnya.
Grup media hebatlah.
Saat itu ia masih belum mengubah patron seorang idealisme. Namun kini sepertinya ia menepi sebagai idealis. Melupakannya ketika rejeki nomplok berada di depan mata.
Saya nggak tahu apa ia menyumpahi persetan dengan idealisme!
Entahlah!
Udahlah, Nanti bisa su-uzhon. Ghibah. Dan itu dosa. Segaek ini saya kan harus banyak ngumpul bekal akherat.
Untuk itu, tulisan ini saya kembalikan saja ke relnya. Tentang komisaris di badan usaha. Swasta atau milik negara.
Tentu yang saya bahas bukan komisaris di kepolisian. Yang bisa mendapat sebutan komisaris besar, ajun komisaris atau komisaris doang.
Tidak!
Lantas?
Bukan itu masalahnya.
Sebab jabatan komisaris di sebuah perusahaan swasta dan negara itu beda dengan deret komisaris di kepolisian, Tampilan luar dan dalamnya.
Saya sendiri sudah diberi panduan apa wewenang dan apa yang dijalan sebagai petugas komisaris. Jelas.
Tapi bagaimana komisaris di perusahaan negara?
Yang saya dengar ada beberapa jenisnya. Ada friksinya. Saling berbenturan. Dengan direksi.
Penyebabnya?
Ada komisaris yang merasa lebih penting dari direksi.
Itu karena mereka merasa punya posisi lebih tinggi dari direksi. Komisaris adalah wakil pemegang saham sehari-hari. Komisaris adalah pihak yang mengawasi direksi.
Komisaris adalah pihak yang bisa menolak rencana dan program direksi. Seluruh program direksi harus mendapat persetujuan komisaris.
Dan yang paling hebat, dewan komisaris bisa memberhentikan direksi -meski sifatnya hanya pemberhentian sementara.
Bagaimana dengan jenis lain. Yang ikut saja apa kata direksi.
Sikap ini sering dinamai dengan pragmatis. Mereka menyadari direksi-lah yang paling tahu seluk beluk perusahaan.
Apalagi mereka duduk sebagai komisaris di situ memang hanya sebagai hadiah. Yang penting mereka menerima gaji setiap bulan.
Ikut juga menerima tantiem setiap tahun –dari laba perusahaan. Mereka sebenarnya tidak punya latar belakang yang cukup mengenai kiprah perusahaan itu.
Makanya, dari pada sok tahu yang akhirnya hanya jadi penghambat, mereka lebih baik bersikap setuju saja atas rencana direksi.
Di samping mendapat gaji, mereka ini juga memperoleh kebanggaan. Kan komisaris.
Apakah masih ada jenis komisaris lain!
Ada kok. Jenis komisaris yang hobinya ingin mencampuri urusan direksi. Pun sampai hal-hal kecil. Bahkan kadang sikap mereka lebih direksi dari direksi.
Di antara jenis yang satu itu ada yang motifnya agar perusahaan lebih maju. Atau lebih bersih. Tapi ada juga yang motifnya agar ditakuti oleh direksi.
Kalau direksinya benar-benar takut, bisa ikut saja apa maunya komisaris. Tapi kalau direksinya tidak takut, bisa jadi bertengkar.
Lain lagi dengan komisaris yang tidak banyak tahu soal bisnis perusahaan itu. Jenis ini, apakah termasuk dua orang yang saya tulis di atas?
Entahlah! Anda sendiri bisa mengulitinya. Kalau saya mengatakan jenis ini termasuk hadiah.
Masak ada komisaris di badan usaha milik negara yang datang dari pemusik, buzzer, orang parpol.
Entahlah! Yang kalau dideret namanya bisa berjibun jika ditulis.
Dan berjibun pula tingkahnya yang bisa menggelitik publik.
Tak peduli kelayakannya. Sebab layak atau nggak itu urusan Erick Tohir. Menteri yang menempatkan mereka di posisi komisaris. Komisaris hadiah. Dari dari Jokowi.
Layak atau tidak juga bukan urusan kita-kita. Abis harta milik negara. Negaralah paling tahu. Kita nggak perlu tahu. Sebab antene kita nggak nyambung kesana.
Pertanyaan berikutnya jenis komisaris mana yang ideal?
Kalau saya harus menjawab: Nggak tahulah.
Sebab saya menjadi komisaris di perusahaan swasta. Aturan jelas, Wewenangnya terang. Gaji, tantiem dan bonusnya final.
Bahkan saya juga diberitahu bahwa direksilah paling tahu tentang jalan lurus, belok, berbatu dan berlumpur yang harus ia terabas. Sebab ia kan sopir.
Sopir tentu tak ingin mobilnya tergelincir.
Saya memang pernah mengajukan pertanyaan kepada korporat: dimana posisi komisaris. Benarkan lebih tinggi dari direksi?
Tahu jawabnya? Dari sisi gaji: tidak. Tantiem? juga tidak. Lantas dari sisi wewenang. Tambah tidak
Saya jadi mafhum. Pasti akan nggak akan sewot ke direksi
Untuk itu direksi bisa melangkahi komisaris.
Abis mereka bukan deretan komisaris yang polisi.
Apalagi kalau komisaris diangkat oleh pemegang saham. sama dengan direksi
Bagaimana hubungan komisaris-direksi yang ideal?
Anda sudah tahu. Yang biasa-biasa saja. Direksi menghormati komisaris dan komisaris jangan sok mencampuri direksi.
Sebaiknya di badan usaha milik negara tak ada komisaris yang menghambat direksi. Kalau ada komisaris yang tidak setuju dengan rencana direksi katakan dengan cepat.
Lengkap dengan alasannya. Agar direksi segera cari alternatif. Jangan sampai ada komisaris yang menggantung persetujuan.
Beda dengan di swasta.
Di swasta dewan komisaris itu biasanya pemilik langsung perusahaan.
Di swasta direksi memang takut dan tunduk kepada dewan komisaris. Itu bukan lantaran jabatan komisarisnya, melainkan karena imayoritas komisarisnya adalah pemiliknya.
Di perusahaan negara seluruh dewan komisaris adalah bukan pemegang saham. Ia hanya wakil. Itu pun hanya wakil sehari-hari.
Seperti mereka yang menyatakan diri wakil rakyat. Entah rakyat mana. Nggak tahulah. Dan mereka takut dengan dewan pembina di partainya.
Takut kalau dicopot. Wakil rakyat saja bisa dicopot. Apalagi wakil pemegang saham.
Entahlah bro….