Lima puluh dua tahun sudah, Universitas Syiah Kuala berdiri sambil mengantarkan mimpi pendidikan yang lebih baik di Bumi Serambi. Kisahnya panjang, dengan segala suka duka. Sebuah tulisan masih terbaca pada tugu yang terpacak angkuh di tengah lapangan, “Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata, Darussalam menuju kepada pelaksanaan cita-cita.”
Penulis kami, Darmansyah mencoba memotret kisahnya, pada kampus kebanggan Aceh itu. Tulisan diturunkan dalam beberapa judul, selamat membaca.
***
Jangan pernah bertanya mahasiswa fakultas mana yang akan memimpin Dema (dewan mahasiswa) Unsyiah, di dekade “demonstran.” Sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan paling prestise, ketika itu, Ketua Dema yang memiliki “bargaining position” tinggi untuk mewakili “civita academica” dalam melancarkan arus ekstra kurikulernya dalam mendapatkan patron “kekuasaan.”
Dan Ketua Dema, sebagai CEO-nya mahasiswa di zaman demonstran itu, sepertinya, begitu yang bisa kami ingat ketika memasuki ranah aktifis kemahasiswaan, sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis untuk diberikan kepada mahasiswa “fekon,” begitu fakultas ekonomi disebut.
Tradisi ini tidak hanya berlangsung sebagai ketaatan pewarisan jabatan tapi juga mengukuhkan warisan kesejarahan ketika perguruan tinggi ini terbentuk. Banyak kalangan tak membantah eksistensi “ekonomi,” kata lain untuk menyebut fakultas ekonomi, sebagai cermin dari peran besar yang mereka kontribusikan dalam penataan kebijakan pembangunan di Aceh di pasca DI-TII, sekaligus menegaskan kemampuan mereka mencetak sumber daya intelektual di institusi itu.
Menyebut fakultas ekonomi, kala itu, sudah inklud sebagai penegasan Universitas Syiahkuala. Bahkan, sebagai pionir, penyebutan nama fakultas ekonomi identik dengan kota pelajar dan mahasiswa, Darussalam.
Sebut saja kiprah sejarah para Ketua Dema secara berurutan sejak Haji Dimoerthala, Said Zainal Abidin, Hasbi Abdullah atau Asnawi Husein. Mereka adalah anak-anak “fekon” dari generasi “persada” yang belajar organisasi kemahasiswaan secara ekstra kampus dan menanamkan pengaruhnya secara luar biasa untuk menentukan arah dan jalan lembaga ini.
Tidak hanya tumbuh sebagai tradisi di lingkungan organisasi kemahasiswaan, peran anak “ekonomi” juga merambah ke lingkar jabatan kampus, seperti rektor dan pembantu rektor usai perguruan tinggi ini mendapat status negeri dan tidak lagi berada dijepitan ketiak yayasan yang kepemimpinannya digilir secara presedium. Urut saja nama-nama yang pernah menjadi rektor di Unsyiah mulai dari Madjid Ibrahim, Ibrahim Hasan, Alibasyah Amin maupun Dayan Daud.
Memang tidak selamanya dominasi ekonomi menggenggam jabatan rektor. Ada interval perpindahan kepemimpinan yang temporar, misalnya, ketika Ibrahim Hasan di angkat menjadi Deputy Kabulog Bidang Pengadaan dan Penyaluran, dan Abdullah Ali dari fakultas kedokteran hewan, ketika itu pembantu rektor bidang akademis, mengambil tongkat estafet.
Estafet serupa berulang kala Abdi, juga pembantu rektor bidang akademis dari fakultas kedokteran hewan, melanjutkan sisa jabatan Dayan Daud yang tewas ditembak ketika amok keamanan di Aceh.
Peran anak “ekonomi “ itu tidak hanya bercokol di lingkungan kampus. Mereka bukan hanya “jago kandang.” Peran mereka juga merambah ke jalur birokrasi, terutama dalam pengisian kepemimpinan puncak di Aceh, usai pengabdian dua periode kegubernuran Muzzakir Walad.
Sebut saja nama Madjid Ibrahim yang di”panggil” pulang ke Aceh dari jabatannya sebagai Deputy Ketua Bappenas bidang Pembangunan Regional. Begitu juga Ibrahim Hasan yang mudik kembali ke Aceh dan meninggalkan jabatan Wakil Kepala Bulog Bidang Pengadaan Penyaluran. Bahkan Syamsuddin Mahmud. Yang dalam posisi Ketu Bappeda melanjutkan pewarisan jabatan gubernur ketika Ibrahim Hasan diangkat jadi Menteri Pangan dan Kabulog.
Tidak hanya di tingkat provinsi anak-anak ekonomi mengemban misi “suci” di birokrasi. Di tingkat kabupaten dan kota alumni ekonomi juga tampil cemerlang menggerakkan roda pemerintahan dan pembangunan. Catatlah bupati dan walikota yang berasal dari alumnus ekonomi. Ada Syamsunan Mahmud, Jusuf Walad, Nurdin AR, Sanusi Wahab, Zein Hasyimi, Djakfar Wahab, Karimuddin Hasybullah, Teuku Hasan.
Mereka ini berhasil menerabas kehebatan “dwi fungsi” ABRI, yang ketika itu, nyaris memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. “Mereka bisa menembus dominasi itu dengan determinasi peran yang luar biasa dalam pembangunan Aceh, sehingga jalur A, B dan C di tubuh Golkar tak bisa berkutik untuk menghempang laju mereka ke jabatan bupati,” kata pengamat politik Aceh Fachry Aly beberapa waktu lalu ketika kami mengenang kejayaan anak-anak persada..
Dan coba ikuti partisipasi alumnus ekonomi di Bappeda Aceh. Sejak masih bernama “Atjeh Development Board” atau “ADB” yang dimentori oleh Madjid Ibrahim, lulusan fakultas ekonomi mendapatkan tempat “praktek” bagaimana keilmuan harus dihadapkan pada kondisi riil masyarakat. Mereka belajar melalui penelitian, merumuskan hasilnya dan kemudian menjadikannya sebagai pola kebijakan pemerintahan dalam menggerakkan pembangunan
Kreasi hebat ADB ini,di kemudian harinya, menjadi model insitusi badan perencanaan dan pembangunan daerah di Indonesia. ADB adalah sebuah kreatifitas “gang” ekonomi yang lahir dari kecemerlangan pemikiran anak-anak “bumi persada” yang kemudiannya diadopsi oleh Bappenas dan Depdagri menjadi lembaga perencanaan dan pembangunan di daerah dengan nama Bappeda di tingkat provinsi dan kabupaten hingga sekarang.
Anak-anak “fekon,” begitu fakultas ekonomi di “sapa” kala itu, mewarisi sejarah panjang kehadirannya di lembaga ADB hingga Bappeda mulai dari Madjid Ibrahim, Ibrahim Hasan, Syamsuddin Mahmud, Dayan Daud, Rahman Lubis dan entah siapa lagi kemudiannya.
Tidak hanya di Bappeda aksi “pinjam pakai” anak ekonomi ke jalur birokrasi terjadi. Banyak eselon dua di lingkungan sekretariat provinsi, mulai dari asisten hingga kepala biro ditongkrongi alumni “fekon.” Jangan tanya bagaimana determinasi “kekuasaan” mereka dalam memonopoli proyek-proyek penelitian berskala nasional, regional dan daerah.
“Delapan puluh persen penelitian di Aceh menjadi milik ekonomi,” ujar Alfian Ibrahim, pensiunan dosen fakultas ekonomi, mempertegas eksistensi almamaternya di dekade lalu. Alfian bisa membenarkan itu karena ia sendiri pernah hijrah sebagai tenaga “pinjam pakai” ke Bappeda Aceh selama satu dasawarsa dengan jabatan kepala bidang statistik.
Dengan nada menantang, Alfian mengatakan, “Coba datang ke Bappeda Aceh dan buka arsip peneltian di perpustakaan. Teliti dengan cermat bagaimana peran yang dimainkan ekonomi terhadap kebijakan pembangunan Aceh yang dirumuskan dari hasil penelitian mereka.”
Bahkan, fakultas ekonomi pernah menjadi laboratorium penggodokan kepala Bappeda dan stafnya se Sumatera dan diakui memberi manfaatnya bagi pembangunan di banyak daerah. Mereka memiliki tenaga ahli doktoral lulusan luar negeri dengan spesialisasi ekonomi regional seperti Ali Basyah Amin, Zulkifli Husein, Nazamuddin dan sederet nama lain yang secara keilmuan tidak “complang” dengan Universitas klas atas lainnya.
Kini? “Entahlah. Cari sendiri jawabannya ke sana,” kata seorang dosen menunjuk ruang dekan ketika kami ngobrol di ruang tunggu di samping tangga gedung “megah” itu. []