Site icon nuga.co

Digoda Nostalgia

Greget  investasi Murban Energy LLC ke Pulau Banyak masih saja menjadi “trending topic” media hingga pekan ini.

Tidak hanya media lokal dan nasional, online, televisi dan koran,. Media ukuran asia today, cnn inetrnational, strait time dan south cina  morning post juga kepincut menulisnya.

Nggak percaya?

Aktifkan perangkat teknologi informasi Anda. Telusuri lewat google  search dengan menuliskan kata  murban energi lcc.

Pasti Anda akan menemukan  sederet judul berita yang isinya tentang  rencana  investasi konglemerasi milik Mohamad Thani Al Rumalthi itu

Konglemerasi yang menjanjikan akan membangun  resort prestiseus di kepulauan belahan barat selatan Aceh itu.

Saya sendiri yang semula adem dengan kabar itu sempat menudingnya sebagai  berita  “bombas.”

Bahkan, disebuah pagi, saat ngopi bareng  saya pernah memonyongkan  dengan ekspresi  nyeleneh kearah  seorang mantan pejabat senior Aceh  yang menginformasikan kabar ini

Lewat sebuah desahan “ah,” saya menggelengkan kepala sebagai isyarat nggak percaya.

Untuk Anda tahu, kata “ah”  itu  di kalangan kaum jurnalis diartikan sebagai “cet langet.”

Sikap saya yang nyeleneh ini punya alasan kuat. Sebagai wartawan, yang  sekaligus pengamat Pulau Banyak, saya telah muak dengan kabar rencana investasi resort di pulau Banyak.

Sejak dua puluh tahun terakhir, seperti yang saya ingat, ada delapan investor yang jadi berita ingin menanam modal di sana.

Tahu  apa “ending”nya?

“Soh.”

“Soh” itu sebuah kata  dalam bahasa Aceh.

Artinya bohong.

Kini, usai saya  mencibir dan kemudiannya  mendapat potongan informasi dari Abu Dhabi tentang eksistensi Murban Energy LLC,  lewat seorang “stringer,” yang berstatus ponakan,  perdamaian setengah hati pun saya kibarkan.

Perdamaian itu bukan berarti saya percaya utuh. Masih fifty-fifty. Setengah percaya setengah tidak.

Sebagai jurnalis yang “never die” disatu sumber, saya terus melakukan perburuan. Kalau bisa ke lumbungnya. Ke lumbung Murban itu sendiri.

Berburu  untuk  mendapat  kebenarannya. Sehingga bisa menaikkan kepercayaan saya lebih dari lima puluh persen.

Untuk sampai ke lumbung Murban itu sendiri saya pasti tak mampu. Namun begitu,  saya punya “orang.”  Saya memanggilnya dengan sapaan “bro.”

Ia orang beken. Sobat lama. Juga telah menjanjikan akan membuka  akses hingga ke pejabat di Abu Dhabi.

Untuk itulah,, disebuah pagi,  awal pekan ini, ketika hand phone saya berdenyit dengan nada “kring”  antusias saya membuncah ketika membaca nama  sang pengirim pesan .

Dugaan saya  tak meleset  Bunyi “kring” itu memang datang dari  “si bro.”

Yang meleset hanya harapan besarnya.

Ternyata sang teman hanya menyemat sebuah pesan dalam kalimat pendek.

“Sabar Bung. Saya kenal dengan menteri investasimua  bernama Suhail. Namun tak mudah untuk berkomunikasi dengan beliau. ”

Pesannya ini  membuat kebuncahan saya melelleh. Dalam gumam panjang saya hanya bisa menarik napas sembari melepaskannya dengan desahan aahhh…

Pesan itu saya balas dengan satu kata, “thanks….”

Untuk sementara harapan saya pupus.

Ya, sudah!

Saya sendiri, kini,  nggak ngotot amat  mendapatkan”clearance.”

Mendamaikan hati lewat sikap nrimo saya berbisik kearah  layar laptop  untuk sbersabar.

Sabar dalam mendapat  klarifikasi dan informasi  guna akurasi sebuah tulisan.

Akurasi  untuk  balances,  sebuah berita atau reportase.

Sementara, menunggu kabar lanjutan tentang Murban LLC dari “si bro”  saya mencoba menghadirkan tayang ulang  tentang kedekatan saya dengan Pulau Banyak.

Saya menyapa memori lama dengan mencongkel kepingan kenangan tentang Pulau Balai, Pulau Panjang, Pulau Bangkara plus Ujung Sialit.

Ternyata menyenangkan.

Ya, dari pada bete kan lebih baik berselancar dengan  historica diri sendiri.

Historica awal  saya  berrtravele ke Pulau Banyak. Yang kemudian berulang dan berulang. Hingga bertengger di angka  empat belas

Pengalaman travelege saya  ke Pulau Banyak sejak masih menjadi wartawan “remaja” di sebuah harian regional bernama “Analisa.”

Sebuah surat kabar yang terbitan Medan, yang awalnya berkantor di Jalan Kumango,  untuk kemudian pindah ke Jalan Kesawan, yang kini bernama Jalan A Yani.

Surat kabar  milik dua orang China, Harta Susanto dan Supandi Kesuma. Yang “goal kiper”nya, sang pemimpin redaksi, bernama Sofyan.

Pemimpin redaksi ini masih bagian dari trah saya. Aslinya Barus. Lahir di Sinabang. Dan melewati masa remajanya  di rumah keluarga kami di Tapaktuan.

Istrinya juga trah kami. Kak Inong.  Adik Lian Sahar. Seorang pelukis, kenamaan di Yogyakarta, yang pernah merancang panggung MTQ nasional di Blang Padang

Panggung yang  kemudian, oleh Haji Dimoerthala, bukan Dimurthala seperti yang ditulis sekarang, di “rampas” untuk dipindahkan ke Lampineung.

Kemudiannya  bernama Stadion Dimurthala.

Di harian Analisa inilah, untuk pertama kalinya, saya menulis sebuah reportase travelege ke Pulau Banyak. Reportase yang  menjadi “the reprtoar the number one,” untuk klas Sumatera

Reportoar yang mengalahkan  jurnalis Waspada, Mimbar Umum dan Medan Pos.

Bahkan mengalahkan reporter hebat milik Singgalang, bernama Muchlis Sulin.  Seorang reporter beken sebuah surat kabar  beroplag besar dan  prestise  di Padang.

Penghargaan reportase Pulau Banyak inilah yang mengantarkan saya sebagai wartawan majalah berita mingguan TEMPO lewat rekomendasi kepala bironya di Medan, Zakaria M.Pase.

Anda pasti tahu TEMPO. Sebuah media yang tajir. Sangat  “hebat” waktu itu.

Sebuah media yang mendoktrini  para wartawannya dengan egaliterisme. Wartawan dengan harga diri selangit   dengan kecerdasan diatas rata-rata.

Media yang berani mengatakan “no” untuk sebuah  amplop

Media yang penulisannya mengutamakan narasi.

Penulisan yang mengutamakan permainan kata  bak cerpen atau pun puisi.

Dan jangan lupa,  pasti enak dibaca plus perlu.

Saya sengaja mendekatkan pengalaman jurnalistik “junior”  di tulisan ini untuk  sahihnya  bahwa  pulau Banyak  memang telah menjadi  “sahabat”  saya

Sahabat, yang bermula  dari godaan Drs Teuku Husen Alamsyah. Pejabat dari sebuah  perwakilan kabupaten Aceh Selatan di Singkil. Pejabat dengan sebutan keren Pembantu Bupati yang membawahi kecamatan Pulau Banyak.

Husein Alamsyah ini diangkat sebagai  kepala perwakilan kabupaten di Singkil dalam status dikaryakan.  Sebelumnya ia adalah dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Syah Kuala

Hirarkis perwakilan kabupaten ini dalam struktur pemerintahan kala itu  adalah setingkat di bawah kabupaten .Di atas kecamatan.

Sebelum dibaptis  dengan nama  perwakilan kabupaten, atau singkatannya perwakab, wilayah Singkil, plus Pulau Banyak, berada di bawah kuasa kewedanaan yang pejabatnya dinamakan wedana.

Di Aceh, yang menyandang predikat perwakab ini, selain Singkil,  adalah, Simeulue, Bireuen, Gayo Lues dan Calang. Kini. semua wilayah perwakab itu sudah menyandang status kabupaten penuh.

Godaan Husein Alamsyah untuk bertravel ke Pulau Banyak datang ketika kami ketemu di warung soto Kampung Baru di Medan. Nada bicaranya setengah mwmaksa ketimbang mengajak.

Saya tertantang.

“Oke bang. Kapan kita berangkat.”

Ia langsung membalas,”besok.”

“Anda datang ke Polonia besok pagi. Ke area parkir pesawat Socfindo. Dan  kita akan  akan langsung terbang dan mendarat di Rimo,”

Socfindo itu, supaya Anda tahu,  adalah pemilik kebun sawit di Lae Butar,  Singkil. Dan Rimo adalah lokasi pabriknya yang punya landasan pacu beralaskan cangkang sawit.

Perkebunan ini sudah ada  sejak zaman hindia belanda. Pemiliknya konglomerasi Belgia

Ketika membangun perkebunan  itu mereka   mendatangkan pekerja berlabel  “koeli kontrak” dari Jawa. “Koeli kontrak” ini  sering digradasikan sebagai kasta rendahan

Selain di Rimo Socfindo juga  punya kebun serupa di Seumayam dan Seunagan dengan pekerja yang sama.

Tentang “koeli kontrak” itu sendiri kini “joke”nya sudah pupus. Anak, cucu dan cicit mereka sudah  sudah jadi “orang.”

Ada pengusaha, pejabat atau pun teknokrat dan mereka sendiri sudah berhasil menyembuhkan trauma rendah diri karena tak pernah tahu akar tombonya di Jawa sana.

Pagi itu, di awal Desember tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh dua, saya sudah ada di Polonia. Dari  kejauhan saya melambaikan tangan  ke arah parkir pesawat Socfindo.

Husein Alamsyah sudah berada di sana  Ia membalas dan mengangkat tangan sembari memberi  isyarat untuk mendekat yang kemudian secara bersama kami merunduk masuk ke pesawat berbadan kecil bertuliskan Socfindo di badannya

Pesawat berbadan imut,  berbaling-baling dua dengan delapan seat.

Pesawat itu dipiloti seorang bule yang kemudian saya diberitahu namanya Basten. Bukan van Basten si legenda sepakbola Belanda itu.

Butuh waktu satu  setengah jam untuk landing di Rimo.

Saya mencatat, penerbangan ini penuh sensasi karena terbang rendah. Di bawah awan. Menerabas celah Sinabung dan gunung Sidikalang. Untuk kemudian, dengan lincah, landing secara mulus di Rimo

Di Rimo kami istirahat dua jenak. Dan usai rehat langsung menuju pinggiran sungai Simpang Kanan untuk berspeed boat ria ke Singkil.

Butuh satu jam dari Rimo untuk sampai ke Singkil lewat celah hutan nipah yang penghuninya buaya pemangsa terkenal ganas

Dari Singkil inilah untuk kemudiannya saya bertualang ke Pulau Banyak.

Petualangan indah yang tak pernah lekang di memori saya hingga datangnya kabar Murban Energy LCC ingin berinvestasi resort mewah di sana.

Exit mobile version